KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keunggulan Donald J Trump pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2024 mengejutkan banyak pihak. Setelah empat tahun di bawah pemerintahan Joe Biden yang fokus pada stabilitas ekonomi global dan diplomasi multilateral, potensi besar kembalinya Trump sebagai Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) akan membawa gelombang ketidakpastian baru.
Trump dikenal dengan pandangan ekonominya yang berpusat pada kepentingan domestik AS, termasuk mendorong manufaktur kembali ke tanah Amerika, menekan impor melalui tarif tinggi, dan mengurangi keterlibatan dalam perjanjian dagang multilateral. Di sisi fiskal, pengurangan pajak korporasi menjadi prioritas utamanya, dengan tujuan meningkatkan daya saing perusahaan Amerika Serikat di pasar global.
Baca Juga: BPK Soroti Proyek Tol Layang Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) Emiten Jusuf Hamka
Namun, kebijakan seperti ini berpotensi memperbesar defisit anggaran AS, yang dapat memaksa pemerintahnya untuk meningkatkan utang atau mendorong Federal Reserve memperketat kebijakan moneternya. Pelajaran dari masa lalu memperlihatkan bagaimana kebijakan Trump menciptakan volatilitas ekonomi global. Selama masa jabatan pertamanya, tarif tinggi terhadap Tiongkok memicu perang dagang yang mengguncang pasar.
Selain itu, pengurangan pajak korporasi pada 2017 menyebabkan aliran modal global lebih condong ke Amerika Serikat, yang memperkuat dolar AS dan menekan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Tekanan ini diperparah oleh kritik Trump terhadap Federal Reserve, yang memaksanya melonggarkan kebijakan moneter.
Baca Juga: Investor Asing Koleksi Saham GOTO, Terbaru Ada Nomura Holdings dan Franklin Resources
Kondisi tersebut membawa tantangan baru bagi ekonomi Indonesia jika Trump kembali menghidupkan kebijakan serupa. Untuk kasus perang dagang misalnya, eskalasi proteksionisme antara AS dan Tiongkok dapat memengaruhi ekspor Indonesia, mengingat Tiongkok adalah mitra dagang utama. Studi dari Purwono dkk (2021) pada skenario ‘perang dagang’ sebelumnya menunjukkan Ekspor tidak langsung dari Indonesia diperkirakan akan turun sebesar US$ 300 juta karena tarif AS terhadap barang-barang China dan US$ 36 juta karena tarif China terhadap produk-produk Amerikat Serikat.
Selain itu, penguatan dolar AS akibat keluarnya aliran modal dari Indonesia dapat mendorong depresiasi nilai tukar rupiah. Pada 2019, ketidakpastian yang timbul dari "perang dagang" memberikan efek pada capital outflow hingga Rp 11,3 triliun.
Baca Juga: Dapat Fasilitas Pinjaman US$ 600 juta, BNI Akan Perluas Kapasitas Pendanaan
Pada saat yang sama, ketidakpastian ini menciptakan tekanan tambahan pada stabilitas keuangan domestik dan daya tarik investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) ke Indonesia, yang sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Dampak tersebut memberikan tantangan langsung bagi perumusan kebijakan termasuk di dalamnya kebijakan moneter. Saat ini, arah kebijakan Bank Indonesia sebenarnya sudah kembali pada dukung stabilisasi dan pertumbuhan.
Baca Juga: Harga Emas Anjlok 5,25% dalam Sepekan, Investor Wait And See Kebijakan Trump
Setelah mempertahankan suku bunga di level 6,00% pada awal tahun untuk menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar, BI menaikkan suku bunga menjadi 6,25% pada April sebagai langkah pre-emptive menghadapi tekanan eksternal, termasuk ketidakpastian global dan kebijakan The Fed.
Memasuki pengujung tahun, BI mulai mengadopsi kebijakan pro-growth dengan menurunkan suku bunga kembali ke 6,00% pada September-Oktober. Dari sisi makroprudensial, Bank Indonesia melakukan pelonggaran yang komprehensif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan sekaligus mendukung pemulihan ekonomi.
Baca Juga: Mengupas IPO Adaro Andalan Indonesia (AADI), Prospek hingga Kasus Hukum yang Dihadapi
Kebijakan akomodatif seperti kelonggaran rasio loan to value/financing to value (LTV/FTV) hingga 100% hingga kebijakan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) untuk mendorong pertumbuhan kredit dan pembiayaan telah dikeluarkan.
Mitigasi kebijakan moneter
Namun, dua kebijakan akan mendapatkan tantangan implementasi jika trump langsung "tancap gas" menjalankan kebijakan unpopular. Penguatan dolar AS akibat aliran modal keluar atau kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dapat menekan nilai tukar rupiah.
Baca Juga: Kinerja Emiten Kertas Grup Sinarmas Masih Belum Bernas
Jika tekanan ini signifikan, Bank Indonesia mungkin harus lebih sering melakukan intervensi di pasar valuta asing atau bahkan menaikkan kembali suku bunga acuan, langkah yang dapat mengurangi efektivitas pelonggaran moneter yang telah dilakukan.
Selain itu, proteksionisme Trump dapat memengaruhi harga komoditas global, seperti minyak dan pangan, yang berpotensi memicu inflasi impor di Indonesia. Dalam situasi ini, Bank Indonesia menghadapi dilema antara menjaga inflasi terkendali atau melanjutkan kebijakan ekspansif untuk mendorong pertumbuhan.
Baca Juga: Pekerjaan Berat Pemerintah Genjot Penerimaan Pajak di Saat Dana Belanja Menanjak
Ruang gerak kebijakan moneter akan menyempit, terutama jika inflasi mulai mendekati batas atas target. Tentu, dalam konteks konsolidasi kebijakan, terbatasnya ruang gerak kebijakan moneter akan menjadi tantangan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di tahun ini tapi juga dalam beberapa tahun ke depan.
Ketegangan dagang dan gangguan pada arus perdagangan serta investasi regional juga dapat memengaruhi likuiditas dan stabilitas sektor keuangan domestik. Oleh karena itu, menghadapi tantangan ini, kebijakan moneter Indonesia perlu tetap adaptif. Bank Indonesia dapat mengoptimalkan instrumen BI Rate sebagai reference rate dengan melakukan fine-tuning terhadap koridor suku bunga operasional. Dengan ini, Bank Indonesia dapat mempersempit spread koridor suku bunga untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter.
Baca Juga: Jaminan Prabowo untuk Investasi ke Indonesia
Penguatan transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit juga perlu menjadi prioritas dengan mendorong intermediasi perbankan yang efektif. Bank Indonesia dapat terus meningkatkan implementasi kebijakan makroprudensial untuk mendukung penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif, melalui tidak hanya berdasarkan skema reward, namun juga punishment dari sebuah kebijakan.
Dalam konteks jalur nilai tukar, Bank Indonesia perlu memperkuat strategi stabilisasi nilai tukar rupiah melalui intervensi di pasar valas dan pengelolaan cadangan devisa yang optimal. Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan implementasi kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA). Jangka waktu yang efektif untuk penempatan DHE SDA di dalam negeri perlu disesuaikan kembali, disesuaikan dengan skema insentif seperti suku bunga premium, atau kemudahan dalam akses pembiayaan ekspor.
Baca Juga: Modal Pemerintah Cekak untuk Menggenjot Target Pertumbuhan Ekonomi Jumbo
Terakhir yang tidak kalah penting, penguatan komunikasi kebijakan moneter menjadi krusial untuk mengelola ekspektasi pasar dan menjaga kepercayaan investor. Bank Indonesia perlu mengkomunikasikan strategi dan langkah-langkah kebijakan secara jelas dan terukur untuk meminimalkan ketidakpastian pasar akibat kebijakan Trump yang dapat mempengaruhi sentimen investor global terhadap emerging markets, termasuk Indonesia.