KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja perusahaan konstruksi diprediksi melambat pada tahun ini. Arus kas emiten konstruksi bakal lebih banyak didorong oleh divestasi aset. Rencana pemerintah yang akan lebih fokus ke dana sosial tahun ini dibandingkan belanja infrastruktur juga dapat mempengaruhi kinerja emiten konstruksi.
Dalam risetnya, Rabu (17/7), Analis UOB Kay Hian Arandi Ariantara mengatakan, pertumbuhan rata-rata laba industri konstruksi diperkirakan hanya sebesar 3% tahun ini. Emiten plat merah seperti PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT PP Tbk (PTPP), masing-masing akan tumbuh kurang dari 15% year on year (yoy) dan diharapkan bisa tumbuh lebih baik pada tahun depan.
Arandi menjelaskan, arus kas dan laba bersih emiten konstruksi lebih banyak didorong oleh aksi divestasi aset. Di bulan Mei misalnya, WIKA berhasil menjual 20% saham jalan tol Surabaya-Mojokerto ke Astra Infra sebesar Rp 700 miliar. Sehingga, WIKA bakal memperoleh keuntungan sekitar Rp 350 miliar di kuartal kedua tahun ini.
Baru-baru ini, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) juga disebut bisa memperoleh Rp 7,1 triliun dari divestasi aset dan membukukan keuntungan Rp 3,6 triliun. Sementara itu, PTPP juga berencana melakukan divestasi tiga proyek infrastruktur yang diharapkan bisa mengantongi dana hingga Rp 500 miliar.
Pada bulan Mei, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) menerima pembayaran Light Rail Transit (LRT) ketiga sebesar Rp 1,2 triliun. Pembayaran ini membuat aliran kas ADHI kembali positif, dibandingkan kuartal I 2019 lalu yang masih negatif Rp 997 miliar. Pembayaran keempat Rp 2,8 triliun telah dikirim ke pemilik proyek dan diharapkan bisa direalisasikan pada kuartal II 2019 mendatang.
Arandi menilai, perusahaan konstruksi masih punya banyak ruang untuk membiayai kontrak baru ataupun kontrak carry over. Misalnya dengan pinjaman bank dan penerbitan obligasi. Namun, peluang itu tak berlaku untuk WSKT.
Pasalnya, perusahaan tersebut masih menghadapi masalah solvabilitas. Berdasarkan laporan keuangan kuartal I 2019, debt to equity ratio (DER) WSKT sudah mencapai 3,7 kali, atau berada di negative covenant DER sebesar 3 kali. Di sisi lain, WIKA masih memiliki banyak ruang untuk mendorong proyek-proyeknya. Utang terhadap ekuitas WIKA masih sebesar 1 kali pada kuartal I 2019.
Total target kontrak baru untuk emiten-emiten yang dicover UOB mencapai Rp 194 triliun pada tahun ini atau naik 33% yoy. Sementara itu, pendapatan industri diprediksi tumbuh 3% yoy pada 2019 dan 15,8% pada 2020.
Sementara itu, emiten swasta seperti PT Acset Indonusa Tbk (ACST) diprediksi akan memiliki pendapatan terbesar karena penyelesaian Jalan tol Jakarta-Cikampek Elevated II, yang seharusnya mengurangi beban sebesar 17% yoy dan memperluas margin bersih menjadi 1,6%. Namun, dari segi stabilitas pertumbuhan dan margin, UOB lebih memilih PTPP yang diperkirakan akan tumbuh 12% dengan margin bersih 6%.
Kinerja sektor properti di kuartal II 2019 pun dinilai bakal mengecewakan lantaran aktivitas konstruksi yang lebih lambat akibat liburan Lebaran dan pemilihan umum. Tapi, hal ini tak berlaku bagi WIKA yang mencatat potensi keuntungan dari penjualan hingga Rp 350 miliar.
UOB pun menurunkan rekomendasi sektor konstruksi menjadi market weight. Rekomendasi ini juga memperhitungkan pada rencana pemerintah yang mengalihkan fokus ke pengembangan sumber daya manusia pada tahun 2019.
Tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan hanya 1% yoy peningkatan anggaran infrastruktur, sementara anggaran pendidikan dan kesehatan masing-masing naik 10% yoy, dan transfer daerah naik 8% yoy. Hal ini akan memengaruhi piutang usaha atau account receivables (AR) emiten konstruksi.
Industri konstruksi diharapkan bakal lebih bullish pada 2020 mendatang, sejalan dengan yang disebutkan Presiden Jokowi dalam pidato baru-baru ini bahwa pembangunan infrastruktur Indonesia akan terus berlanjut. "Jadi seharusnya menghasilkan pengeluaran infrastruktur yang lebih tinggi dalam APBN 2020," ujarnya.
Saham pilihan UOB untuk sektor ini adalah ADHI dan ACST dengan target harga masing-masing Rp 2.800 dan Rp 2.580 per saham.