Utang Luar Negeri Indonesia per Maret Meningkat 7,9%

Senin, 20 Mei 2019 | 08:48 WIB
Utang Luar Negeri Indonesia per Maret Meningkat 7,9%
[]
Reporter: Adinda Ade Mustami, Grace Olivia | Editor: Thomas Hadiwinata

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Beban utang Indonesia kian berat seiring dengan kenaikan dengan kenaikan utang luar negeri (ULN), baik pemerintah maupun swasta. Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi ULN Indonesia pada akhir Maret 2019 meningkat 7,9% year-on-year (yoy) menjadi US$ 387,6 miliar.

ULN pemerintah dan bank sentral pada akhir kuartal I-2019 mencapai US$ 190,5 miliar. Dari jumlah itu, utang pemerintah sebesar US$ 187,7 miliar. Angka ini tumbuh 3,6% yoy. Kenaikan ULN pemerintah dipengaruhi oleh kenaikan arus masuk dana investor asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) di pasar domestik. Tak hanya itu, kenaikan tersebut juga didorong oleh penurunan outstanding SBN valas, sejalan dengan pelunasan global bonds yang jatuh tempo pada bulan Maret 2019.

Sementara ULN swasta sebesar US$ 197,1 miliar. Angka itu juga naik, bahkan lebih tinggi lagi, mencapai 12,8% dibanding dengan periode yang sama 2018. Kenaikan berasal dari sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, pengadaan listrik, gas, uap/air panas (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian. Porsi ULN dari keempat sektor ini terhadap total utang luar negeri swasta mencapai 75,2%.

Utang di sektor pertambangan dan penggalian melonjak paling tinggi, yaitu 31,18% yoy menjadi US$ 30,96 miliar. Industri pengadaan LGA yang tumbuh 27,5% yoy menjadi US$ 32,04 miliar menyusul di belakangnya. Utang industri jasa keuangan dan asuransi tumbuh 13% menjadi US$ 48,96 miliar. Sementara, industri pengolahan turun tipis 0,13% menjadi US$ 36,24 miliar.

Ditinjau dari tujuan penggunaannya, ULN swasta untuk modal kerja meningkat 9,3% ketimbang Maret 2018. Begitu juga ULN swasta untuk investasi naik 17,9%.

Sayangnya, kenaikan utang tak dibarengi dengan kenaikan ekspor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor Indonesia sepanjang kuartal I-2019 hanya sebesar US$ 40,51 miliar. Angka ini turun 8,5% yoy dari tahun lalu.

Alhasil, kemampuan membayar ULN yang dilihat dari debt to service ratio (DSR) tier-1 kuartalan, yakni mencakup pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan bunga atas utang jangka pendek, per Maret 2019 sebesar 27,96%. Angka ini naik dibanding akhir tahun 2018 yang sebesar 25,41%.

Semakin besar DSR menunjukkan beban utang yang ditanggung semakin besar. Padahal, batas aman DSR bagi negara berkembang menurut ukuran International Monetary Fund (IMF) adalah 25%.

Tak hanya itu, rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga naik, meski tidak terlalu besar. BI mencatat, rasio ULN terhadap PDB per Maret 2019 mencapai 36,9%. Sedangkan pada akhir tahun lalu, rasio ULN terhadap PDB masih di level 36%.

Namun BI menilai ULN Indonesia tetap sehat. Sebab, struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN jangka panjang dengan porsi mencapai 86,1% dari total ULN. Jadi meski ULN naik, kenaikannya masih terkendali dengan struktur yang tetap sehat.

Dorong FDI

Senada dengan BI, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai kenaikan DSR Indonesia merupakan hal yang biasa. DSR Indonesia pernah mengalami tren kenaikan sejak tahun 2010 hingga 2015 lalu hingga menyentuh level 35,35%.

Setelah itu, DSR berangsur turun hingga pada kuartal I-2017 tercatat sebesar 25,93%. Dan meningkat lagi hingga akhir kuartal I-2019.

Menurut Piter, sepanjang pergerakan DSR, pemerintah tidak pernah mengalami kesulitan pembayaran kewajiban baik pokok maupun bunga ULN. Artinya, pemerintah punya sumber lain untuk membayar kewajibannya. Meski begitu, Piter mewaspadai tingkat kemampuan membayar utang pihak swasta.  Sebab, "Biasanya yang memicu krisis utamanya adalah utang swasta," kata Piter kepada KONTAN. Selain itu, Indonesia harus bisa memacu pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, rasio dan pertumbuhan ULN Indonesia masih wajar. Hanya saja, pemerintah perlu lebih waspada kenaikan DSR di tengah lesunya ekspor. "Ekspor kita masih sangat bergantung pada komoditas, sedangkan komoditas semakin turun volume dan harganya. DSR perlu diwaspadai karena ini terkait kemampuan kita membayar utang," katanya kepada KONTAN, (19/5).

Volume ekspor komoditas semakin turun karena permintaan global melemah seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Sementara, tren harga komoditas memang juga melemah beberapa tahun terakhir. Misalnya harga batubara dan kelapa sawit yang selama ini jadi komoditas ekspor andalan Indonesia.

Sebab itu, pemerintah harus serius melakukan diversifikasi ekspor agar tak hanya bergantung pada ekspor komoditas sumber daya alam saja. Untuk itu perlu mendorong masuknya investasi asing langsung alias foreign direct investment (FDI) ke dalam negeri, agar bisa menjadi sumber devisa yang besar. "Selama ini, kebutuhan devisa untuk menutupi ULN lebih banyak mengandalkan portofolio inflow saja. Ini harus diubah karena cukup berisiko," tandasnya.

Bagikan

Berita Terbaru

Dari Kamar Murah ke Pemberdayaan Komunitas
| Minggu, 08 Juni 2025 | 06:35 WIB

Dari Kamar Murah ke Pemberdayaan Komunitas

Di balik reputasinya sebagai penyedia kamar murah dan layanan check-in kilat, OYO punya ambisi lebih besar. Apa itu?

 
Tak Sekadar Batal Haji, Layanan Furoda Berbuntut Panjang
| Minggu, 08 Juni 2025 | 06:20 WIB

Tak Sekadar Batal Haji, Layanan Furoda Berbuntut Panjang

Ribuan calon jemaah haji furoda gagal berangkat ke Tanah Suci. Tak hanya calon jemaah yang gundah gulana, agen travel juga pusing alang kepalang. 

 
Yuk, Menikmati Cuan dari Permainan untuk Mantan Anak Kecil
| Minggu, 08 Juni 2025 | 05:50 WIB

Yuk, Menikmati Cuan dari Permainan untuk Mantan Anak Kecil

Bermain kini bukan hanya urusan anak-anak. Playground kini menjadi ruang pelepas penat bagi orang dewasa. Apa peluang bisnisnya?

 
Kopdes Melaju Buat Siapa?
| Minggu, 08 Juni 2025 | 05:10 WIB

Kopdes Melaju Buat Siapa?

​Hingga awal Juni, sebanyak 78.000 lembaga Kopdes Merah Putih sudah terbentuk melalui musyawarah desa khusus.

Menadah Peluang dari Aksi Jual Asing
| Sabtu, 07 Juni 2025 | 09:32 WIB

Menadah Peluang dari Aksi Jual Asing

Beberapa saham yang terkena aksi jual asing dalam sepekan terakhir ini, masih dapat dicermati untuk trading jangka pendek

Emiten Memperluas Diversifikasi Bisnis
| Sabtu, 07 Juni 2025 | 09:25 WIB

Emiten Memperluas Diversifikasi Bisnis

 Sejumlah emiten mulai dari sektor teknologi, kesehatan, hingga energi, memperluas bisnis dengan membentuk anak usaha baru.

Prospek Saham DSNG yang Siap  Menebar Dividen Rp 24 Per Saham
| Sabtu, 07 Juni 2025 | 09:23 WIB

Prospek Saham DSNG yang Siap Menebar Dividen Rp 24 Per Saham

PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) akan membagikan dividen tunai sebesar Rp 254,39 miliar dari buku tahun 2024.

Strategi Mega Perintis (ZONE) Bertahan di Bisnis Fesyen
| Sabtu, 07 Juni 2025 | 09:19 WIB

Strategi Mega Perintis (ZONE) Bertahan di Bisnis Fesyen

Mengupas rencana bisnis perusahaan ritel fesyen, PT Mega Perintis Tbk (ZONE) di tengah persaingan industri yang ketat

PMI yang Terkontraksi Tampaknya Tak Berpengaruh ke Emiten-Emiten Ini
| Sabtu, 07 Juni 2025 | 09:00 WIB

PMI yang Terkontraksi Tampaknya Tak Berpengaruh ke Emiten-Emiten Ini

Potensi kontraksi PMI masih dapat berlanjut, terlebih jika pasca negosiasi tarif dalam 90 hari tidak mendapatkan keputusan win-win.

Profit 27,96% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Anjlok (7 Juni 2025)
| Sabtu, 07 Juni 2025 | 08:26 WIB

Profit 27,96% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Anjlok (7 Juni 2025)

Harga emas Antam hari ini (7 Juni 2025) Rp 1.904.000 per gram. Di atas kertas pembeli setahun lalu bisa untung 27,96% jika menjual hari ini.

INDEKS BERITA

Terpopuler