Berita *Regulasi

Cuma Bisa Menahan Bengkak Tak Membesar

Kamis, 14 Maret 2019 | 21:47 WIB
Cuma Bisa Menahan Bengkak Tak Membesar

Reporter: Havid Vebri, Nina Dwiantika | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bukan cuma pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang protes pencoretan Bevacizumab dan Cetuximab dari daftar obat tanggungan lembaga itu. Para dokter pun ikut menentang.

Protes itu datang dari Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (Ikabdi). Mereka menolak penghapusan kedua obat kanker usus besar atawa kolorektal itu. Menurut Abdul Hamid Rochanan, Sekretaris Jenderal Ikabdi, Bevacizumab dan Cetuximab sebelumnya ada di Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) 2017. Kementerian Kesehatan membuat PNPK yang di dalamnya ada obat itu. Tapi, mengapa sekarang dilanggar sendiri, kata Hamid.

Penghapusan kedua obat tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018 tentang Formularium Nasional yang terbit pertengahan Desember lalu. Beleid ini berlaku resmi mulai 1 Maret 2019.

Dan, penolakan atas keputusan yang merugikan peserta BPJS Kesehatan bukan baru kali ini terjadi. Sebelumnya, tak sedikit keluar kebijakan serupa yang berujung protes bahkan gugatan ke meja hijau.

Tak bisa dipungkiri, yang memicu kebijakan tidak populer itu adalah keuangan bpjs Kesehatan yang terus mengalami defisit. Malahan, kondisi ini sudah terjadi sejak lembaga jelmaan PT Askes ini beroperasi pada Januari 2014 lalu.

Angka defisit selalu naik, seiring jumlah peserta bpjs Kesehatan yang terus bertambah setiap tahun. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan, defisit BPJS tahun lalu mencapai Rp 16,58 triliun.

Gara-gara kinerja keuangan terus tekor, pemerintah dan bpjs Kesehatan bersiasat, mencari cara untuk menekan defisit. Salah satunya, itu tadi, mengurangi manfaat layanan kesehatan bagi peserta.

Kali ini, giliran obat kanker usus besar yang keluar dari daftar tanggungan. Harga Bevacizumab dan Cetuximab memang terbilang mahal, mencapai Rp 5 jutaRp 6 juta per vial. Dosisnya tentu tergantung pasien penderita kanker usus besar. Jika pasien butuh 10 vial, maka dalam satu kali terapi mengeluarkan minimal Rp 50 juta.

Tak heran, dari data yang KONTAN dekap, kedua obat tersebut masuk dalam daftar 10 obat kanker dengan biaya terbesar yang BPJS Kesehatan jamin. Contoh, pada 2015, bpjs merogoh kocek hingga Rp 120 miliar untuk mengaver Bevacizumab dan Cetuximab. Sementara di 2106, nilainya tercatat Rp 115,3 miliar dan pada 2017 sebesar Rp 67,8 miliar.

Meski begitu, M. Iqbal Anas Maruf, Kepala Humas BPJS Kesehatan, menegaskan, penghapusan dua obat kanker usus besar itu bukan untuk menekan defisit keuangan lembaganya. Nilainya masih kecil dibandingkan dengan defisit bpjs Kesehatan, terangnya.

Berikutnya, yang cukup banyak menyedot anggaran BPJS Kesehatan: obat kanker payudara Trastuzumab. Untuk sekali pengobatan, pasien kanker payudara harus membayar hingga Rp 25 juta. Sementara penderita kanker payudara memerlukan 16 kali Trastuzumab.

Sebagai gambaran, biaya pengadaan Trastuzumab oleh bpjs Kesehatan tercatat sebesar Rp 96,7 miliar pada 2015, Rp 74,3 miliar di 2016, dan Rp 43 miliar pada 2017. Atas dasar itu pula, April 2018, BPJS menghapus Trastuzumab dari daftar obat yang mereka jamin.

Protes pun langsung bermunculan, tak lama setelah ketuk palu atas keputusan tersebut. Bahkan, seorang pasien kanker payudara melayangkan gugatan kepada Presiden Joko Widodo, bpjs Kesehatan, Menteri Kesehatan, dan Dewan Pertimbangan Klinis. Setelah melalui beberapa kali mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, akhirnya bpjs Kesehatan tetap menjamin obat tersebut.

Bagi BPJS Kesehatan, obat-obatan bagi pasien kanker memang cukup mencekik. Di 2017 saja, klaim obat-obatan kanker mencapai Rp 2,49 triliun atau 36,61% dari total klaim. Sedang selama JanuariAgustus 2018, klaimnya sudah menyentuh angka Rp 2,11 triliun.

Memangkas layanan

Upaya lain untuk menekan defisit anggaran bpjs Kesehatan adalah, dengan mengurangi manfaat dalam penjaminan pelayanan katarak, persalinan caesar, dan rehabilitasi medis. Kebijakan itu termaktub dalam Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018 yang terbit pada pertengahan tahun lalu.

Dalam aturan tersebut, peserta BPJS Kesehatan yang ingin melakukan operasi katarak dibatasi, dengan volume pelayanan maksimal per departemen wilayah dan standardisasi visus preoperatif. Kemudian, paket pelayanan bayi baru lahir dipisahkan dengan pelayanan bayi dengan sumber daya khusus (SDK). Ini membuat sebagian rumahsakit enggan memberikan layanan dengan SDK kepada bayi yang baru lahir.

Lalu, bpjs Kesehatan mengurangi pelayanan rehabilitasi medis, maksimal delapan kali per bulan dan selebihnya peserta mesti membayar sendiri. Selain itu, pemberian pelayanan tersebut harus sesuai penilaian dari dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi.

Ketiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan tersebut keluar gara-gara pengeluaran bpjs Kesehatan untuk pelayanan itu begitu besar. Berdasarkan catatan BPJS klaim bayi baru lahir sehat selama 2017 sebesar Rp 1,17 triliun. Untuk klaim operasi katarak sepanjang 2017, nilainya mencapai Rp 2,65 triliun. Sedangkan untuk klaim rehabilitasi medis dan fisioterapi di 2017 sebanyak Rp 965 miliar.

Fahmi Idris, Direktur Utama BPJS Kesehatan, mengakui, langkah itu lembaganya ambil dalam rangka memperkecil defisit keuangan. Potensi penghematannya sekitar Rp 360 miliar. Kami terus melakukan langkah-langkah internal untuk menekan defisit, katanya.

Mengalihkan layanan

Efisiensi juga pemerintah dan BPJS Kesehatan jalankan dengan mengalihkan beberapa layanan kesehatan ke lembaga lainnya. Contohnya, layanan kesehatan untuk kasus kecelakaan lalu lintas berpindah ke tangan PT Jasa Raharja.

Aturan mainnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.02/2018 tentang Koordinasi AntarPenyelenggara Jaminan dalam Pemberian Manfaat Pelayanan kesehatan. Beleid ini merupakan turunan Peraturan Presiden (Perpres) No. 82/2018 tentang Jaminan kesehatan.

Bukan cuma kecelakaan lalu lintas, beberapa manfaat pelayanan kesehatan untuk kasus lain juga tidak lagi masuk jaminan BPJS kesehatan. Yakni, kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja, bencana pada masa tanggap darurat, dan kejadian luar biasa atau wabah. Kemudian, penyakit akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, terorisme, serta perdagangan manusia.

Untuk kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, pemberian manfaat layanan kesehatannya adalah bpjs Ketenagakerjaan atau PT Taspen. Penyakit akibat kerja masuk dalam skema yang iurannya diterima BPJS Ketenagakerjaan dan Taspen, ujar Iqbal.

Selama ini, penyakit akibat kerja cukup membebani BPJS Kesehatan. Selama empat tahun terakhir, total klaim terhadap kasus penyakit akibat kerja mencapai Rp 1,2 triliun.

Perhitungan ini baru berdasarkan lima diagnosa penyakit yang sering disebabkan oleh aktivitas kerja, yaitu penyakit kulit, kelainan pendengaran akibat kebisingan, asma, kesemutan, dan nyeri pinggang. Padahal di luar itu, penyakit akibat kerja masih banyak lagi.

Maka itu, menurut Iqbal, ketentuan yang termaktub, baik dalam Perpres No. 82/2018 maupun PMK No. 141/2018, penting sebagai penegasan atas tanggungjawab pembiayaan oleh instansi pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN) lainnya. Ujungnya, bisa membantu menekan biaya operasional BPJS Kesehatan. Dari kebijakan ini, BPJS bisa melakukan efisiensi minimal Rp 300 miliar per tahun.

Kalsum Komaryani, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan, membenarkan, sinergi antar-penyelenggara jaminan tersebut memang bertujuan untuk membantu mengurangi beban bpjs Kesehatan.

Tidak berhenti di situ, upaya penghematan juga BPJS Kesehatan lakukan dengan mengoptimalkan lagi manajemen klaim fasilitas kesehatan (faskes) demi memitigasi potensi fraud. Dari cara ini, harapannya ada penghematan Rp 750 miliar.

BPJS Kesehatan juga fokus memperbaiki sistem rujukan dan rujuk balik, dengan target penghematan Rp 500 miliar setahun. Saat ini, mereka tengah mengembangkan sistem rujukan online untuk memperbaiki sistem rujukan. Hanya, Iqbal menegaskan, efisiensi tersebut bukan bertujuan mengurangi manfaat layanan kesehatan, lebih kepada memaksimalkan pelayanan di faskes.

Selain itu, Iqbal menambahkan, bpjs Kesehatan menerapkan strategic purchasing dalam pembayaran lain fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumahsakit rujukan. Lalu, memperbaiki manajemen kapitasi faskes primer yang bisa menghemat Rp 1,74 triliun.

Iqbal menjamin, setiap penghematan dan pengalihan dana dari penghapusan biaya obat dan layanan akan bpjs Kesehatan manfaatkan untuk pelayanan kesehatan lainnya.

Cuma, menurut Timboel Siregar, Koordinator Advokasi bpjs Watch, defisit keuangan bpjs Kesehatan hanya bisa diatasi dengan mengerek iuran peserta. Kalau tidak, berbagai upaya mengurangi layanan manfaat kesehatan bagi peserta tidak akan efektif menyelamatkan keuangan bpjs. Berbagai kebijakan itu justru sangat merugikan peserta karena manfaat layanan yang mereka terima terus dikurangi, tegasnya.

Yang tidak kalah penting, Timboel mengatakan, bpjs harus terus menagih piutang iuran yang menumpuk dan tidak ada kejelasan sampai saat ini. bpjs Watch mencatat, nilai piutang iuran peserta mandiri, korporasi swasta juga badan usaha milik negara (BUMN) saat ini total mencapai Rp 3,4 triliun.

Dengan menaikkan iuran peserta dan aktif melakukan penagihan, terbuka peluang defisit akan mengempis. Bila tidak, defisit bakal terus membengkak hingga Rp 30 triliun di 2019. Ada carry over dari tahun lalu, tambah Timboel.

Ya, berbagai upaya penghematan itu hanya bisa mengerem pembengkakan defisit biar tidak semakin membesar saja.

Terbaru