KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banjir besar yang melanda sebagian Asia dalam beberapa hari terakhir telah berubah menjadi tragedi regional. Lebih dari ribuan orang dilaporkan meninggal, sementara ribuan lainnya masih hilang. Di Indonesia, Sri Lanka, Malaysia, dan Thailand, air bah dan longsor memaksa penduduk mengungsi dalam keadaan kacau.
Indonesia mencatat jumlah korban tertinggi sejauh ini. Dengan 502 korban tewas dan lebih dari 500 orang masih hilang. Di Sri Lanka kematian meningkat drastis, sementara hujan deras membuat kota-kota besar lumpuh dan memaksa ribuan warga mengungsi. Thailand melaporkan 176 korban meninggal.
Upaya pencarian korban masih berlangsung di berbagai negara, dengan militer diturunkan untuk membantu proses evakuasi. Namun kecepatan air dan luas area terdampak membuat operasi ini menjadi perlombaan dengan waktu. Di banyak lokasi, akses jalan terputus dan jaringan komunikasi padam.
Di tengah bencana, sebuah fakta baru muncul: ribuan kayu gelondongan terbawa arus banjir di Sumatera. Tumpukan kayu yang hanyut ini kini menjadi simbol bahwa tragedi ini bukan hanya soal banjir, tetapi soal ekologi dan tata kelola lingkungan. Analisis awal oleh Kemenhut menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut kemungkinan besar berasal dari areal hak atas tanah di luar kawasan hutan resmi, yang membuka dugaan bahwa praktik penebangan atau kelola hutan ilegal memperburuk dampak bencana.
Data ini menegaskan bahwa bencana tidak bisa dipisahkan dari perusakan lingkungan. Deforestasi, degradasi lahan, dan alih fungsi kawasan secara sembarangan telah mengikis kemampuan alam untuk menahan air. Sehingga ketika hujan ekstrem datang, tak ada ruang bagi air untuk meresap, melainkan langsung menerjang permukiman.
Yang memperparah keadaan, rusaknya komunikasi di daerah terdampak. Hingga kini masih banyak keluarga yang belum bisa menghubungi kerabat mereka, di mana jaringan listrik padam, BTS ambruk, akses internet bergantung generator darurat. Ini menunjukkan betapa sistem kesiapsiagaan bencana kita masih buruk.
Kini, pemerintah dan seluruh warga memiliki pilihan: menunggu banjir berikutnya, atau mengubah paradigma dari reaktif menjadi preventif. Penataan ulang kawasan rawan, audit ketat terhadap praktek penebangan, investasi sistem peringatan dini, dan penguatan komunikasi darurat berbasis satelit bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
