Banyak Katalis Positif, Instrumen Obligasi Jadi Pilihan Para Manajer Investasi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku pasar semakin yakin kenaikan suku bunga Amerika Serikat serta suku bunga Bank Indonesia (BI) tidak akan agresif tahun ini. Hal ini menjadi angin segar bagi instrumen berbasis obligasi. Manajer investasi merekomendasikan instrumen tersebut untuk dikoleksi investor pada tahun ini.
Chief Executive Officer Schroders Investment Management Indonesia Michael Tjoajadi mengatakan, obligasi bisa menjadi pilihan. Pergerakan instrumen ini akan positif, didukung tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang sudah tinggi, mendekati level puncak. Ini membuka potensi suku bunga turun di tahun ini.
Bahkan, The Federal Reserve bisa saja lebih cepat menurunkan suku bunga acuan, terutama bila negara tersebut benar-benar terjerumus dalam resesi ekonomi. Bila ini terjadi, suku bunga acuan Bank Indonesia juga akan turun.
Sentimen ini tentu akan membuat pergerakan harga serta yield obligasi menjadi lebih stabil. Bukan mustahil juga tren kenaikan harga yang diikuti oleh penurunan yield obligasi segera terjadi begitu suku bunga acuan turun.
Kondisi tersebut akan menguntungkan bagi berbagai jenis produk beraset dasar obligasi, misalnya reksadana pendapatan tetap.
Michael pun menyarankan, agar investor mulai mengakumulasi instrumen berbasis obligasi sejak awal tahun. Mengingat saat ini harga instrumen ini lebih murah. "Porsi obligasi bisa diperbesar di kuartal satu dan kedua. Setelah itu, baru saham bisa menyusul untuk dibeli oleh investor," saran dia, kemarin.
Direktur Bahana TCW Investment Soni Wibowo juga menjagokan instrumen obligasi di tahun ini, terutama di periode semester pertama. Hanya saja, investor tetap harus mewaspadai sejumlah sentimen negatif yang terjadi pada awal tahun ini.
Masih ada ketidakpastian Brexit, kelanjutan perang dagang, hingga dampak perlambatan ekonomi global. Investor juga mesti ingat bahwa The Fed masih berpeluang menaikkan suku bunga acuan AS, sebelum kemudian menurunkannya.
Obligasi pilihan
Di tengah banyaknya instrumen investasi berbasis obligasi, Soni menilai, obligasi pemerintah punya potensi pertumbuhan kinerja yang paling mumpuni. Sebab, harga obligasi ini diprediksi naik lebih cepat ketika suku bunga acuan benar turun. Hasilnya, investor bisa memperoleh capital gain lebih optimal.
Obligasi korporasi juga masih punya daya tarik berupa kupon yang tinggi. Namun, karena suku bunga acuan terkini sudah berada di level 6%, risiko beban bunga menjadi meningkat, terutama bagi perusahaan yang memiliki net gearing tinggi. "Investor harus pandai memilih obligasi korporasi, karena risikonya sekarang lebih besar," ungkap Soni, kemarin.
Sementara itu, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menyatakan, bagi investor pemula, lebih baik menjajal reksadana berbasis obligasi terlebih dahulu, baik itu reksadana pendapatan tetap ataupun reksadana terproteksi. Mengingat reksadana relatif lebih mudah dari segi pengelolaan dan lebih murah dari segi biaya investasi.
Di sisi lain, reksadana yang memiliki aset obligasi pemerintah dalam jumlah besar berpeluang mencetak imbal hasil optimal di tahun ini. Sebab, harga obligasi tersebut berpeluang bullish seiring berkurangnya sentimen suku bunga acuan.
Obligasi ritel seperti savings bond ritel (SBR) dan sukuk tabungan (ST) sebenarnya juga bisa dijadikan alternatif. Terlebih lagi, pemerintah cukup gencar menawarkan instrumen tersebut sepanjang tahun ini.
Namun, ketika penurunan suku bunga acuan terwujud, justru instrumen ini menjadi kurang menarik karena kupon yang ditawarkan juga berpotensi turun. "Jadi sebaiknya investor memaksimalkan obligasi ritel di awal tahun ketika kuponnya masih tinggi," saran Rudiyanto.