KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) mulai beroperasi sebagai lembaga dana kekayaan negara atau sovereign wealth fund (SWF) Indonesia. Tahun ini, Danantara menargetkan investasi sebesar US$ 5 miliar atau Rp 81,45 triliun.
Tahap awal ada beberapa korporasi yang akan mendapat kucuran dana dari Danantara. Seperti suntikan ke perusahaan petrokimia milik Prajogo Pangestu, PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) hingga US$ 800 juta atau Rp 13 triliun.
Sejumlah emiten juga berpeluang dapat investasi dari Danantara. Seperti PT Aneka Tambang (Tbk), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk dan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA).
Kabar dari Danantara ini dalam jangka pendek membawa angin segar dan memberikan dampak positif. Selain itu mendorong likuiditas dan minat investor ke saham em.
Namun, sentimen ini bersifat sementara jika tidak didukung fundamental kuat dari emiten yang mendapat suntikan pendanaan.
Sementara fundamental emiten tersebut masih tergantung kondisi makro. Dan kondisi makro Indonesia tampak suram.
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,65% pada 2025. Senada, Bank Dunia merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5% menjadi 4,7% pada 2025.
Berbagai perkiraan itu lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama 10 tahun terakhir cenderung stabil di kisaran 5%, kecuali saat pandemi Covid-19.
Bahkan Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,6%-5,4% pada 2025. Lebih rendah dari perkiraan sebelumnya di 4,7%-5,5%.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini tersebut sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 yang hanya tumbuh 4,87%.
Lesunya ekonomi juga tampak dari penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbaru, penyaluran kredit perbankan tumbuh 8,88% yoy di April 2025 menjadi Rp 7.960,94 triliun. Turun dibanding Maret 2025 yang tumbuh 9,16%.
Di sisi lain, jumlah kelas menengah di Indonesia melorot, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada penurunan dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024.
Berbagai faktor negatif itu menjadi tantangan bagi korporasi di Indonesia. Terlebih bagi perusahaan yang tidak mendapatkan dana dari Danantara.