Beban Bertambah, Rasio Utang Pemerintah Makin Tambun

Senin, 10 Maret 2025 | 03:20 WIB
Beban Bertambah, Rasio Utang Pemerintah Makin Tambun
[ILUSTRASI. Suasana koridor Jalan Prof Dr Satrio di Jakarta, Rabu (15/1/2025). Posisi utang pemerintah per November 2024 mencapai Rp 8.680,13 triliun. Rasio utang tersebut terhadap PDB 39,20%. Adapun, batas aman rasio utang terhadap PDB adalah 60%, sesuai dengan Undang-Undang tentang Keuangan Negara. Kemenkeu menilai profil jatuh tempo utang pemerintah per November 2024 terhitung cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo di 8,01 tahun. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)]
Reporter: Siti Masitoh | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio utang pemerintah diprediksi bergerak naik lebih dari 40% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2025. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, total utang pemerintah pusat pada 31 Januari 2025 mencapai angka Rp 8.909,14 triliun. 

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi menghitung, jika mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia di 2024 sebesar Rp 22.139 triliun. Maka rasio utang Indonesia sudah setara 40,2% terhadap PDB. 

Perhitungan tersebut lebih tinggi dari target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Pemerintah mematok rasio utang 39,15% terhadap PDB pada 2025 dan 39,01%-39,10% pada 2029. 

Baca Juga: Menkes Garuk-garuk Kepala, RSUD di Ternate Terlilit Utang Obat hingga Rp 60 Miliar

"Dengan kondisi ketidakpastian global dan pengelolaan anggaran yang tidak optimal, rasio utang tahun ini bisa menyentuh 40%-40,3% terhadap PDB dan melebihi target pemerintah," tutur Badiul. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and law Studies (Celios) Bhima Yudhistira bahkan menghitung, rasio utang pemerintah bisa melonjak hingga 49,5% dari PDB pada 2029. Sebab tahun ini saja, utang jatuh tempo pemerintah mencapai Rp 800,33 triliun, atau 22,10% dari anggaran belanja negara 2025, sebesar Rp 3.621,3 triliun. 

Bhima menyebut, tingkat utang yang tinggi bisa berdampak pada crowding out dan menyedot likuiditas domestik melalui penerbitan surat berharga negara (SBN). "Bayangkan nanti pemerintah, BUMN, kemudian Danantara, ketiganya sama-sama menerbitkan utang. Nanti akan ada crowding out effect dan justru kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kredit perbankan,” tutur dia, Minggu (9/3).

Kurang produktif

Selain itu, Bhima menyoroti sebagian besar utang yang diambil pemerintah digunakan untuk hal-hal yang kurang produktif. Misal, dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan terbesar belanja negara justru belanja barang, belanja pegawai dan pembayaran bunga utang, bukan pada belanja modal yang ekspansif. 

Baca Juga: Pembayaran Utang Jatuh Tempo Pemerintah Bisa Tekan Cadangan Devisa

Padahal, belanja modal sangat penting mendorong permodalan ke sektor industri dan UMKM. Jika utang yang diambil tidak dialokasikan secara produktif, maka bukan lagi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, tapi jadi hambatan. "Karena tiap kali ada belanja, buat bayar utang. Ada utang baru, buat bayar utang. Itu yang menjadi tidak produktif," jelas Bhima.

Selain itu Badiul menambahkan, pemerintah harus mewaspadai beban pokok dan bunga utang yang meningkat. Dengan adanya tambahan utang baru dan pelemahan rupiah, beban utang dalam dollar AS bertambah.

Menurut Badiul, tingginya utang ini bisa mempersempit ruang fiskal, fleksibilitas pengelolaan keuangan negara dan kualitas layanan publik. Karena itu, pemerintah disarankan menyusun strategi pengelolaan utang jangka menengah mengacu kerangka kebijakan anggaran dan makroekonomi. 

Badiul menambahkan, pemerintah perlu memastikan komitmen efisiensi belanja. "Dengan menjaga efektivitas belanja, setiap pengeluaran memiliki dampak maksimal pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat," ujar dia.

Pemerintah juga perlu optimalisasi penerimaan negara pajak dan non-pajak untuk mengurangi ketergantungan pada utang. Sehingga, pemerintah bisa mendiversifikasi dan inovasi sumber pembiayaan, misalnya melibatkan pihak swasta.

"Pemerintah juga perlu menjaga inflasi di titik terendah untuk memastikan stabilitas ekonomi dan kemampuan memenuhi utang," imbuh Badiul. Target pemerintah tetap bisa tercapai jika pemerintah berkomitmen tetap efisien dan mengerek pendapatan. 

Baca Juga: Ini penjelasan BI soal Skema Pembelian SBN Pemerintah

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Berencana Liburan, Timbang Metode Pembayaran di Luar Negeri
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 12:00 WIB

Berencana Liburan, Timbang Metode Pembayaran di Luar Negeri

Berbagai alat pembayaran saat berlibur di luar negeri tersedia saat ini. Tapi, ada cara agar kemudahan bertransaksi tak bikin boros.

Penjualan Semen Bulan Juli Membaik & Diklaim bisa Berlanjut, Simak Prospek Saham INTP
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 11:01 WIB

Penjualan Semen Bulan Juli Membaik & Diklaim bisa Berlanjut, Simak Prospek Saham INTP

Prospek emiten semen, termasuk INTP sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dan otoritas moneter.

Dua Tahun Terakhir ITMG Membagikan Dividen Interim pada September, bisa Dilirik?
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 09:41 WIB

Dua Tahun Terakhir ITMG Membagikan Dividen Interim pada September, bisa Dilirik?

Meski peluang cuan dari dividen menarik, investor mesti mencermati risiko dari sisi harga saham ITMG yang masih tertekan harga batubara.

Perdana, India Impor CPO dari Kolombia dan Guatemala, Begini Dampaknya buat Indonesia
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 08:45 WIB

Perdana, India Impor CPO dari Kolombia dan Guatemala, Begini Dampaknya buat Indonesia

Pembelian minyak sawit dari Amerika Latin diprediksi akan terus meningkat dalam beberapa bulan ke depan.​

Ambisi Prabowo Mengerek Tax Ratio Pupus
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 08:44 WIB

Ambisi Prabowo Mengerek Tax Ratio Pupus

Dalam Nota Keuangan beserta RAPBN 2026, di 2029 mendatang, tax ratio ditargetkan hanya sekitar 11,52%-15,01% dari PDB

Valuasi Harga Saham DKFT bisa Terkerek Jika Ekspansi ke Hilirisasi Nikel Terwujud
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 08:38 WIB

Valuasi Harga Saham DKFT bisa Terkerek Jika Ekspansi ke Hilirisasi Nikel Terwujud

Harga saham PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) sudah melambung ratusan persen sejak awal tahun 2025.

Metrodata Electronics (MTDL) Pacu Bisnis Data dan Akal Imitasi
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 08:30 WIB

Metrodata Electronics (MTDL) Pacu Bisnis Data dan Akal Imitasi

Manajemen MTDL memproyeksikan bisnis data dan akal imitasi yang dijalani perusahaan dapat bertumbuh setidaknya 50% pada tahun ini

APBN Dihimpit Utang, Belanja Bisa Tumbang
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 08:30 WIB

APBN Dihimpit Utang, Belanja Bisa Tumbang

Alokasi anggaran pembayaran bunga utang tahun 2026 mencapai 17,19% dari total belanja negara        

Produsen Kosmetik Memoles Strategi Pertumbuhan Bisnis
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 08:10 WIB

Produsen Kosmetik Memoles Strategi Pertumbuhan Bisnis

Bisnis kosmetik  nasional diprediksikan masih akan berkilau. Hal tersebut didorong oleh peningkatan populasi penduduk usia produktif.

Harga Saham CDIA Turun Lagi, Cek Prediksi dan Rekomendasi Teknikal dari Tiga Analis
| Rabu, 27 Agustus 2025 | 08:00 WIB

Harga Saham CDIA Turun Lagi, Cek Prediksi dan Rekomendasi Teknikal dari Tiga Analis

Saham PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) membentuk spinning bottom yang menjadi indikasi awal rebound.

INDEKS BERITA

Terpopuler