KONTAN.CO.ID -Setelah merilis putusan terkait eksekusi jaminan fidusia yang menguntungkan perusahaan pembiayaan pada September lalu, kini Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memberikan angin segar kepada lembaga jasa keuangan lainnya, yakni bank perkreditan rakyat (BPR). Ya, MK akhirnya mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 12A ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 10/1998 tentang Perbankan.
Dalam amar putusan yang diketok pada Rabu (23/9) lalu, MK mengabulkan permohonan yang diajukan Direktur Utama PT BPR Lestari Bali untuk bisa mengambil atau membeli sebagian maupun seluruh agunan kredit macet milik nasabah. Ini baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan.
Sebelumnya, UU Perbankan hanya memperbolehkan bank umum yang melakukan pembelian agunan melalui lelang. Ketentuan ini membuat BPR kerap kesulitan mengeksekusi atau mengambil alih agunan nasabah yang kreditnya macet.
Pengambilalihan agunan ini dalam dunia perbankan biasa dikenal dengan sebutan Agunan yang Diambil Alih (AYDA). Nah, dasar hukum pengambilalihan agunan tersebut tercantum dalam Pasal 12 A UU Nomor 10 tentang Perbankan.
Baca Juga: Perkuat pengawasan BPR, OJK luncurkan aplikasi OJK-Box (OBOX)
Dalam pasal itu disebutkan, bank umum bisa membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan umum maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan. Atau, berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada bank.
Cuma, dalam beleid tersebut, tidak ada kata atau frasa yang menyebutkan BPR boleh mengambilalih agunan nasabah yang dilelang. Dus, ketentuan pada pasal inilah yang diuji materiil oleh BPR Lestari Bali.
"BPR terhambat untuk menyelesaikan kredit macetnya pada saat lelang agunan," ungkap Pribadi Budiono, Direktur Utama BPR Lestari Bali, dalam keterangan resminya.
Lelang sepi peminat
Pribadi menampik, jika lewat putusan MK, BPR ingin mengambil paksa aset nasabah. Kata dia, tugas bank adalah menagih pinjaman. Bank selalu mengusahakan yang terbaik. Keberlangsungan usaha nasabah adalah masa depan bank. Jika di tengah jalan ada kesulitan atau kendala, ia berharap nasabah mau datang ke bank untuk berunding mencari jalan keluar.
Dia menambahkan, bila debitur memenuhi kewajibannya, tidak ada kekuasaan apa pun yang bisa memaksa bank mengeksekusi jaminan nasabah.
Apalagi, saat agunan nasabah dilelang, sepi peminat. Dus, penyelesaian kredit macet nasabah menjadi terkatung-katung. Karena itu, dengan adanya putusan MK, BPR memiliki kewenangan yang sama seperti bank umum untuk membeli agunan dari debitur macet baik lewat lelang atau nonlelang.
Tentu, putusan MK disambut gembira oleh para pelaku usaha BPR. I Nyoman Supartha, Direktur Utama BPR Hasamitra, mengatakan, putusan MK yang mengizinkan BPR membeli agunan nasabah dalam pelelangan ini memberi kepastian hukum bagi BPR untuk menyelamatkan asetnya secara legal dan dilindungi oleh negara.
Baca Juga: Bunga Bank Akan Ikut Tren Bunga Bank Sentral
Pasalnya, dalam menyelesaikan kredit macet, pihak BPR tidak bisa langsung mengeksekusi objek agunan yang dijaminkan nasabah. Hal ini sesuai titah Peraturan Otoritas Jasa keuangan (POJK) Nomor 40 Tahun 2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU HT).
Menurut I Nyoman, dalam praktiknya, bila debitur wanprestasi biasanya bank akan mengirimkan surat peringatan (SP) kepada debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam membayar angsuran. Peringatan itu biasanya diajukan bank paling sedikit sebanyak tiga kali untuk memenuhi syarat keadaan wanprestasinya debitur (kolektibilitas 5).
Dan, apabila telah diperingatkan tapi debitur tidak juga melakukan pembayaran kewajibannya, maka bank melalui ketentuan hukum yang ada di Pasal 6 dan Pasal 20 UU Hak Tanggungan akan mengajukan proses lelang terhadap jaminan debitur. Biasanya, pihak bank yang mengajukan permohonan lelang jaminan hak tanggungan kepada balai lelang swasta.
Selanjutnya, pihak balai lelang akan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang merupakan salah satu unit kerja pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian keuangan. Jadi, singkatnya, pelunasan utang nasabah diambil bank dari hasil lelang. Ini yang lazim disebut parate eksekusi.
Baca Juga: Perbankan kian agresif menggandeng perusahaan fintech P2P lending
Yang jadi masalah, di tengah wabah pandemi Covid-19 di Tanah Air, BPR kerap kesulitan menemukan pembeli barang agunan yang dilelang. Maklum, biasanya objek agunan yang dijaminkan nasabah kepada bank dalam mengajukan kredit ialah barang yang punya nilai tinggi.
Salah satu jenis agunan yang paling sering diterima oleh bank dalam pemberian kredit adalah jaminan dalam bentuk hak atas tanah atau bangunan. Hal ini lantaran agunan berupa hak atas tanah atau bangunan memiliki nilai relatif besar dan lebih marketable dibandingkan dengan aset jaminan lainnya.
Persoalannya, objek agunan yang dilelang acap dianggap barang sengketa. Akibatnya, kerap muncul kekhawatiran dari calon pembeli agunan terhadap kemungkinan terjadinya permasalahan kepemilikan atas objek yang dilelang. Sebut saja, misalnya, adanya gugatan dari debitur atau pemilik lama tanah dan bangunan yang tidak menerima dilakukannya lelang eksekusi agunannya tersebut.
Kekhawatiran calon pembeli juga bisa timbul saat objek tanah dan bangunan yang dilelang tersebut secara fisik masih berada dalam penguasaan debitur atau pihak ketiga. "Dampaknya, kami mengalami kesulitan menyelesaikan proses kredit macet secara cepat. Kondisi ini bisa membuat non performing loan (NPL) BPR melonjak," ujar Mansu, sapaan akrab I Nyoman Supartha kepada Tabloid KONTAN.
Bisa merugikan nasabah
Bukan cuma itu. Jika barang agunan yang dilelang tidak laku-laku, maka pihak BPR akan terus menanggung biaya lelang. Sebab, lazimnya, proses lelang agunan bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga tahunan. Padahal, lelang barang agunan tersebut menjadi satu-satunya langkah akhir dari BPR untuk menyelesaikan pelunasan kredit macet nasabah.
Celakanya lagi, lambatnya proses lelang agunan juga akan menimbulkan kerugian bagi nasabah. Jika objek agunan yang dilelang tidak laku, nasabah tetap akan membayar bunga tagihan kredit.
"Padahal, kalau agunan itu laku, nasabah akan untung. Sebab, jika nilai agunan yang dilelang melebihi jumlah kewajiban nasabah, maka kelebihannya dikembalikan kepada mereka," imbuh Mansu.
Pendapat Mansu diamini Joko Suyanto, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo). Dia bilang, terbitnya putusan MK yang mengizinkan BPR membeli agunan nasabah di dalam maupun luar pelelangan, memberikan kepastian hukum bagi BPR untuk menekan kerugian kredit macet.
Baca Juga: Persaingan bank digital sudah dimulai, siapa yang akan jadi pemenangnya?
Menurut Joko, semakin cepat proses pengambilalihan agunan kredit macet nasabah, akan makin berdampak positif terhadap kinerja BPR. "Karena, kalau proses kredit macet lama diselesaikan, NPL BPR akan sulit turun. Jika NPL tinggi, dampak buruknya adalah terhadap tingkat kesehatan bank dan profit bank," papar Joko.
Apalagi, lanjut dia, saat ini industri BPR sedang berjuang melawan dampak pandemi Covid-19. Sama halnya yang dialami oleh industri jasa keuangan lainnya, akibat pandemi, pertumbuhan bisnis BPR ikut tersendat. Joko menyebutkan, hingga Juli 2021, penyaluran kredit BPR hanya tumbuh sekitar 2,98% secara yoy menjadi Rp 113,8 triliun.
Sementara itu, pada periode serupa, dana pihak ketiga (DPK) BPR berupa tabungan mencapai Rp 32,8 triliun atau naik 7,22% secara yoy. Sedangkan DPK BPR berupa deposito Rp 78,3 triliun atau melejit 11,52% secara yoy. Di sisi lain, angka NPL BPR masih di atas 3%, yakni mencapai 7,67%. Memang, dibandingkan Juli 2020, angka NPL BPR sedikit menurun sebesar 0,67%.
Data yang dibeberkan Joko selaras dengan kinerja yang diraih sejumlah BPR di sepanjang tahun ini. Salah satunya, PT BPR Supra Artapersada yang berada di Jalan Raya Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat.
Menurut Andi Gunawan, Direktur Utama BPR Supra Artapersada, hingga September 2021, perseroan hanya mampu menyalurkan kredit Rp 602,8 miliar atau tumbuh 3,14% secara yoy.
Adapun, kredit macet atawa NPL BPR Supra Artapersada tembus sebesar 5,27%, sedikit melandai dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya 5,71%.
Meski begitu, Andi tetap optimistis, pihaknya bisa memperbaiki kinerja perusahaan hingga pengujung tahun ini. "Sampai akhir tahun ini, kami menargetkan penyaluran kredit bisa mencapai Rp 635 miliar dengan NPL 4,70%," kata Andi.
Baca Juga: Persaingan bank digital sudah dimulai, siapa yang akan jadi pemenangnya?
Tidak berbeda jauh dengan Supra Artapersada, penyaluran kredit BPR Hasamitra per September 2021 juga hanya tumbuh 2% secara yoy menjadi Rp 2,1 triliun.
Sementara NPL BPR yang berkantor pusat di Makassar, Sulawesi Selatan ini, justru membengkak dari 0,34% pada September 2020, menjadi 0,36% per September 2021.
I Nyoman Supartha menjelaskan, kenaikan NPL BPR Hasamitra dipicu melemahnya kemampuan nasabah membayar angsuran kredit akibat terdampak pandemi Covid-19.
Sebab, hampir sebagian besar nasabah BPR Hasamitra adalah sektor UMKM dan koperasi. "Bisnis nasabah banyak yang terkena dampak pandemi. Akibatnya, mereka kesulitan untuk membayar angsuran," katanya.
Baca Juga: OJK: Pembiayaan berkelanjutan di perbankan capai Rp 809,75 triliun
Untuk menekan NPL dan menggenjot penyaluran kredit, BPR Hasamitra telah merancang sejumlah strategi. Di antaranya, ke depan, Hasamitra akan mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas dalam menyalurkan kredit. Selain itu, melakukan pembinaan kepada debitur terdampak untuk memperbaiki kinerja bisnisnya.
Strategi serupa juga dijalankan BPR Supra Artapersada. Kata Andi, untuk memperbaiki kinerja NPL, pihaknya akan terus melakukan proses penagihan sesuai prosedur.
"Selain itu, kami akan melaksanakan pembelian agunan debitur bermasalah melalui lelang atau di bawah tangan," tandasnya.
Selanjutnya: MK kabulkan uji materiil gugatan BPR Lestari, kini BPR bisa ikut lelang agunan