KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana Danantara berinvestasi hingga Rp 20 triliun guna membangun ekosistem peternakan ayam patut disambut baik. Namun, jika induk BUMN ini hanya melihat peluang dari captive market program MBG, rasa-rasanya ide itu terlalu biasa. Bahkan anak kandang, sebutan pekerja peternakan ayam, rata-rata punya pemikiran seperti itu. Cuma ketiadaan modal yang menghalangi mereka.
Membangun peternakan untuk menggemukkan DOC menjadi ayam siap potong adalah bisnis yang relatif mudah, peternak skala kecil pun pandai menjalankannya. Sekaliber Danantara, dengan mandat investasi strategis, mestinya tidak hanya melihat peluang sereceh itu.
Persoalan krusial ketahanan pangan nasional Indonesia, khususnya sektor peternakan ayam, ada pada hulu genetik. Seluruh rantai pasok ayam potong dan telur Indonesia berpangkal pada Grand Parent Stock (GPS) alias kakek-nenek ayam. Dari GPS akan menetas indukan ayam yang pada gilirannya akan beranak DOC. Anak ayam itu akan tersaji di piring kita sebagai ayam goreng lima minggu kemudian.
Ironisnya, saat ini hampir 100% GPS masih kita impor. Karena kakek-nenek ayam potong dan ayam petelur impor, maka pada hakekatnya ayam pedaging dan telor yang kita santap juga produk impor.
Kita tertinggal jauh dari beberapa negara berkembang seperti Brazil, China, dan India. Brazil sukses menguasai genetik unggasnya sendiri, sehingga tidak harus mengimpor GPS. Beda dengan Indonesia yang masih menjadi importir pasif. Jika pasokan GPS terganggu, misalnya karena penurunan kuota impor, efek pada produksi ayam dan telor akan terasa 18–24 bulan kemudian.
Oleh sebab itu, jauh lebih elok bagi Danantara untuk membangun inisiatif memutus ketergantungan nasional Indonesia pada GPS Impor. Ini bukan langkah mudah, tidak murah, juga bukan program singkat. Konon daging ayam broiler yang kita makan saat ini merupakan hasil riset pada tahun 1950-an. Mungkin itu sebabnya fakta pahit ini tak dilirik oleh era presiden siapa pun.
Dengan fokus pada solusi hulu, Danantara tidak hanya menjamin pasokan daging ayam dan telor untuk program MBG, tetapi juga memimpin Indonesia keluar dari ketergantungan impor unggas. Bukan hanya Danantara, Pemerintahan Prabowo pun akan tercatat sebagai peletak fondasi kemandirian protein unggas di Indonesia. Sebuah langkah yang hasilnya akan dinikmati selama puluhan tahun oleh generasi mendatang.
