KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pada 23 Oktober 2021 nanti, Arifin Tasrif genap dua tahun menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ada sejumlah tantangan dalam pengembangan energi yang masih mengadang Indonesia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal menilai, sudah banyak upaya Kementerian ESDM dalam dua tahun terakhir, khususnya untuk memperbaiki iklim investasi hulu migas. "Dari sisi kemudahan perizinan sampai dengan insentif yang diberikan," ucap dia kepada KONTAN, Kamis (14/10).
Namun, upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah terbentur kondisi global seperti dampak pandemi Covid-19 dan sejumlah faktor. Sederat kendala itu, seperti kesulitan negara anggota OPEC dan non OPEC dalam mencapai kesepakatan dalam stabilisasi harga minyak. Industri migas pun dihadapkan tantangan transisi menuju energi baru terbarukan (EBT).
Di sisi lain, pemerintah Indonesia mencanangkan produksi migas 1 juta barel per hari (bopd) dan 12 miliar standar kaki kubik per hari (MMscfd) gas di tahun 2030. Kondisi ini diakui tak mudah mengingat investor cenderung memilih wait and see. "Investor masih sangat berhati-hati dalam menjalani portfolionya maupun masuk ke venture baru," ujar Moshe.
Kondisi sedikit berbeda terjadi pada sektor hilir migas, dimana lebih banyak kepastian investasi. hal ini pun cenderung lebih menarik bagi investor. Kendati demikian, sektor hilir menghadapi tantangan ketersediaan infrastruktur migas. "Maksimalkan pembangunan infrastruktur migas agar mengurangi biaya distribusi," ucap Moshe.
Selain itu, pemerintah perlu menekan beban impor migas, salah satunya melalui pengembangan processing plant migas dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor migas pada Agustus 2021 sebesar US$ 2,06 miliar.
Dibandingkan dengan impor migas pada bulan Juli 2021 yang tercatat US$ 1,78 miliar, angka tersebut meningkat 14,74% month-on-month (mom). Dibandingkan impor migas Agustus 2020 yang sebesar US$ 950 juta, maka jumlah itu melesat 115,75% yoy.
Dari sisi kebijakan EBT, Ketua Asosiasi PLTMH, Riza Husni menilai, kinerja Kementerian ESDM di masa kepemimpinan Arifin cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya sejumlah kebijakan yang dinilai berpihak kepada pemanfaatan EBT.
Mulai dari Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2020 mengenai aturan jaringan sistem tenaga listrik (grid code), penambahan porsi pembangkit EBT sebesar 51,6% dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN hingga Peraturan Menteri (Permen) ESDM mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.
"Kalau saya pikir milestone yang ditunjukkan Kementerian ESDM sudah merupakan satu pesan kepada siapapun di PLN, pembuat kebijakan, dan di Kementerian BUMN selaku yang menentukan KPI PLN bahwa EBT itu merupakan policy negara," kata Riza kepada KONTAN, Kamis (14/10).
Ketua Dewan Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Arya Rezavidi menilai perubahan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering dari semula 0,65:1 menjadi 1:1 yang diatur dalam Permen PLTS Atap sangat positif bagi konsumen pengguna PLTS Atap.
"RUPTL PLN periode 2021-2030 itu kita sebut green energy RUPTL. Target untuk energi surya pun cukup tinggi," ungkap Arya kepada KONTAN, Kamis (14/10).