Berita Regulasi

Cegah Defisit BPJS Kesehatan, Sri Mulyani Rancang Dana Cadangan

Kamis, 22 Agustus 2019 | 07:35 WIB
Cegah Defisit BPJS Kesehatan, Sri Mulyani Rancang Dana Cadangan

ILUSTRASI. RAPAT PARIPURNA DPR

Reporter: Grace Olivia, Lidya Yuniartha | Editor: Tedy Gumilar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tampaknya tidak ingin persoalan defisit keuangan yang melanda Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus berlanjut.

Dus, tahun depan pemerintah mengalokasikan tambahan anggaran untuk bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Rencana tambahan anggaran ini terlihat di Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.

Anggarannya membengkak hingga 82,70%, dari alokasi tahun ini sekitar Rp 26,7 triliun, menjadi Rp 48,78 triliun.

Sementara PBI yang ditanggung pemerintah tahun depan sama dengan tahun 2019, yakni 96,8 juta. 

Perincian anggaran bantuan iuran JKN tahun depan terdiri dari PBI sebesar Rp 26,71 triliun.

Lalu, pemerintah menyiapkan dana cadangan sebesar Rp 22,07 triliun, agar tidak terjadi kasus defisit anggaran seperti yang terjadi pada selama ini.

Baca Juga: Menkeu Sri Mulyani jengkel sering disalahkan soal defisit BPJS Kesehatan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut per 1 Agustus 2019, total peserta JKN mencapai 223,35 juta jiwa. Jumlah itu yang ditanggung APBN 96,59 juta jiwa, dan ditanggung Pemda lewat APBD 37,34 juta jiwa.

Sri Mulyani menegaskan selama ini untuk memperkuat kas BPJS Kesehatan, pemerintah bukan hanya membayar di awal atau lebih cepat tapi juga memberikan pertolongan bila terjadi defisit.

"Ini yang coba dirapikan oleh Kementerian Kesehatan sekarang dengan melakukan review penggolongan seluruh rumah sakit," kata Menkeu saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI Rabu (21/8).

Evaluasi iuran dua tahun sekali

Menurut Sri Mulyani, kebijakan kenaikan premi kepesertaan mestinya dievaluasi setiap dua tahun sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Namun, Perpres lalu belum memuat evaluasi kebijakan tarif iuran sebagaimana mestinya.
 
Di sisi lain, Menkeu menyebut manajemen BPJS Kesehatan tak mampu menjalankan tugas untuk menagih iuran peserta yang seharusnya menjadi penerimaan bagi BPJS Kesehatan.
 
"Terutama peserta bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja yang tidak membayar teratur, namun sebagian besar menikmati layanan sehingga BPJS Kesehatan mengalami situasi sekarang," ujar dia.

Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan, kenaikan iuran menjadi salah satu solusi yang saat ini tengah diusulkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) kepada Presiden, untuk mengatasi masalah defisit BPJS Kesehatan.

Baca Juga: Sri Mulyani ceritakan perjalanan defisit BPJS Kesehatan di komisi XI DPR

Dari hasil kajian dan riset DJSN muncul angka kenaikan tarif premi mulai dari Rp 16.500–Rp 40.000 sesuai kelas peserta.

Ini berarti peserta kelas III akan kena tarif premi sebesar Rp 42.000, sedangkan peserta kelas I preminya sekitar Rp 120.000 per bulan.

, dari alokasi tahun ini sekitar Rp 26,7 triliun, menjadi Rp 48,78 triliun.

 

Terbaru