Dengan ESG, Tower Bersama (TBIG) Taat Aturan Agar Reputasi Menara Terjaga
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjadi salah satu perusahaan menara telekomunikasi terbesar di Indonesia, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (Tower Bersama Group) menginginkan bisnis yang maju dan berkelanjutan. Di sisi lain, perusahaan menyadari, tanggungjawabnya bukan soal laporan laba semata.
Sebagai penyedia infrastruktur menara, perusahaan dengan kode saham TBIG ini menjembatani kesenjangan digital dan menyediakan layanan telekomunikasi penting bagi masyarakat. Dengan konektivitas, Towr Bersama bisa membantu terciptanya inklusi digital sampai kemajuan sosial ekonomi.
Untuk menjalankan perannya, TBIG mulai tahun lalu memperdalam integrasi lingkungan (environment), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau ESG. Ini menjadi komitmen perusahaan melakukan bisnis secara etis, mendorong pemberdayaan komunitas lokal, sekaligus meminimalkan jejak lingkungan mereka.
Helmy Yusman Santoso, Director & Chief Financial Officer TBIG, menjelaskan, perusahaannya mulai fokus pada isu ESG sejak 2020. Namun, pada 2023, terlihat lanskap digital yang dinamis, ditandai konsolidasi industri dan perubahan ekspektasi pelanggan.
Perusahaan ini pun melakukan adaptasi dengan menata jaringan dan memperkenalkan solusi fiber optik yang disesuaikan, guna memenuhi kebutuhan pasar yang berkembang.
"Dengan memperhatikan aspek ESG, TBIG berupaya membangun bisnis yang tidak hanya menghasilkan keuntungan finansial, tetapi juga memberikan dampak positif bagi lingkungan, masyarakat, dan tata kelola perusahaan secara keseluruhan," ungkap Helmy.
TBIG melihat, ada berbagai manfaat bagi perusahaan melakukan ESG. Antara lain, memiliki pengelolaan risiko yang lebih baik, termasuk risiko lingkungan seperti perubahan iklim dan kekeringan, serta risiko sosial semacam konflik dengan masyarakat setempat.
TBIG juga melihat, reputasi perusahaan bisa turut meningkat saat mengedepankan aspek-aspek ESG. "Praktik bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata pemangku kepentingan, termasuk investor, pelanggan, dan masyarakat luas," kata Helmy.
TBIG juga berharap, akses ke modal lebih baik. Menurut Helmy, banyak investor institusional yang memprioritaskan investasi pada perusahaan yang memperhatikan ESG.
Efisiensi operasional pun bisa TBIG dapatkan kala merealisasikan ESG saat menggunakan energi secara efisien dan pengelolaan limbah yang baik.
Lalu, manfaat lain yang TBIG peroleh dari menjalankan operasional berbasis ESG adalah memiliki kepatuhan regulasi yang lebih baik. "Dengan memperhatikan aspek tata kelola perusahaan, TBIG dapat memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku, mengurangi risiko dari potensi sanksi, atau litigasi," ujar Helmy.
Membangun menara
Pengelolaan isu lingkungan sangat lekat dengan TBIG. Ini berkaitan dengan pengelolaan, penggunaan, penyimpanan, pembuangan, emisi, remediasi bahan, material, juga limbah berbahaya dan nonbahaya.
Saat membangun suatu menara, perusahaan berurusan mulai dari pengadaan dan penggunaan bahan konstruksi bertanggungjawab. Lalu, pengelolaan limbah yang tepat.
Limbah baja dan material setelah pembangunan selesai akan mereka gunakan kembali jika memungkinkan. Jika tidak, limbah akan pihak ketiga kelola. Sistem pengelolaan limbah ini sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 18 tentang Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
"Perseroan memastikan bahwa material yang digunakan oleh menara tidak mengandung zat yang dapat merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar," tegas Helmy.
Alhasil, limbah baja dari proses konstruksi menara pun jadi minimal. Penggunaan kembali material limbah selama pembangunan menara juga jadi salah satu contoh perlindungan lingkungan bisa berimbas langsung pada ekonomi perusahaan.
Tak hanya di site telekomunikasi, efisiensi penggunaan energi dan penggunaan energi terbarukan juga TBIG yakini bisa menekan emisi karbon sekaligus menghasilkan penghematan biaya jangka panjang.
Selain aspek lingkungan, aspek sosial jelas tidak bisa TBIG tinggalkan dalam pembangunan menara. Untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang, TBIG bergantung pada tenaga kerja yang kompeten dan berkomitmen di semua tingkatan organisasi.
Menjaga dan melatih bakat talenta sebagai aset terbesar merupakan salah satu tantangan TBIG. Karena itu, insan pegawai sangat mereka perhatikan mulai dari pembuatan strategi bisnis hingga konstruksi menara, audit, kesehatan, dan keselamatan karyawan.
Proses konstruksi menara juga menyebabkan bahaya kesehatan dan keselamatan kerja yang dianggap sangat serius. Tim operasional TBIG memberikan pengawasan ketat untuk memastikan keselamatan.
Setelah menara beroperasi, mereka juga melakukan perbaikan dan pemeliharaan rutin. Kadang-kadang, pemeliharaan berkelanjutan membawa risiko bekerja di ketinggian, misalnya, ketika karyawan dan subkontraktor perlu memanjat menara untuk keamanan, perbaikan, dan pemeliharaan.
"Pengawasan kepatuhan tetap penting, dan kami mewajibkan prosedur seperti penggunaan alat pengaman dan perlunya karyawan dan subkontraktor memiliki sertifikat memanjat menara," sebut Helmy.
TBIG juga menyadari, ada dampak sosial dari operasi dan membuka ruang untuk masukan serta keluhan masyarakat. Lewat Divisi Network Operation Center (NOC), perusahaan membuka forum untuk menerima, memantau, dan merespons keluhan masyarakat. Meski begitu, tahun lalu, tak ada keluhan yang masuk ke divisi ini.
Bukan cuma itu, TBIG juga selalu peka terhadap norma-norma dan praktik budaya lokal dan menerapkan beragam pendekatan ketika berhadapan dengan masyarakat dari latar belakang berbeda, baik etnis, status sosial-ekonomi, kesenjangan pendapatan, disabilitas, maupun kelompok rentan lain.
"Lebih jauh lagi, perusahaan bertujuan untuk membawa dampak positif kepada masyarakat dengan menyediakan layanan telekomunikasi publik," kata Helmy. Meski tidak ada alokasi khusus untuk ESG keseluruhan, TBIG mengalokasikan biaya tanggungjawab sosial (CSR) sekitar Rp 10 miliar-Rp 11 miliar setiap tahun.
Aspek sosial juga terkait dengan pelanggan. Site telekomunikasi yang mencakup pulau-pulau utama di kepulauan Indonesia rentan terhadap bencana alam, seperti gempa, banjir, topan, serta kerusakan lain yang tak terduga. Setiap kerusakan pada menara akibat risiko ini atau lainnya bisa mengganggu layanan kepada pelanggan.
Untuk mengurangi efek dari risiko ini dan memastikan potensi kehilangan pendapatan terkaver memadai, TBIG pun melakukan perlindungan asuransi, termasuk asuransi gangguan bisnis dan dengan cakupan untuk bencana alam.
Berbagai program ESG dan bisnis keberlanjutan tak akan terwujud tanpa tata kelola yang baik. TBIG mengakui pentingnya good governance dan strategi menjaga tata kelola yang baik sebagai prioritas utama dalam operasi mereka.
TBIG mendirikan Komite Keberlanjutan dan ESG yang bertanggung jawab atas implementasi juga pengelolaan masalah-masalah terkait keberlanjutan, seperti gas rumah kaca, risiko terkait iklim, HAM, kesetaraan, keragaman, serta inklulsi.
Salah satu milestone pada 2023 adalah perolehan Sertifikasi ISO 37001:2016 tentang Sistem Manajemen Anti-Pemberian Suap dan Korupsi. "Hal ini menegaskan komitmen TBIG untuk menjaga standar bisnis etis yang ketat dan pendekatan nol toleransi terhadap korupsi," ujar Helmy.
Dampak keuangan
Untuk mencapai tujuan ESG, TBIG melihat, perlu pendekatan holistik mengingat jaringan menara yang tersebar secara geografis. Hal penting lainnya, selalu tetap ter-update dengan peraturan pemerintah. Pasalnya, perubahan apa pun pada hukum atau regulasi lingkungan, serta ada sanksi atau pajak regional, bisa membatasi operasi dan merugikan profitabilitas.
Untuk mengurangi risiko ini, perusahaan melakukan kepatuhan proaktif di semua site, sesuai dengan aturan dan regulasi lokal yang berlaku.
Menjaga keuangan jadi salah satu target keberlanjutan TBIG. Pada 2024, mereka menargetkan pendapatan dan EBITDA setidaknya sama dengan 2023, yakni masing-masing Rp 6,64 triliun dan Rp 5,73 triliun.
TBIG akan fokus pada pertumbuhan organik dengan penambahan jumlah penyewaan pada menara, baik menara baru (build-to-suit) maupun melalui kolokasi dari pelanggan operator telekomunikasi, juga penambahan permintaan serat optik dari pelanggan.
Sementara pada akhir Maret 2024, TBIG membukukan pendapatan Rp 1,7 triliun, tumbuh 5,3% year on year (yoy). Laba bersihnya juga naik 5,37% yoy menjadi Rp 349,84 miliar.
Di akhir kuartal I 2024, TBIG memiliki 41.810 tenant penyewa dan 22.955 site telekomunikasi. Rasio kolokasi atau tenancy ratio tercatat 1,83 kali.
Analis Christofer Konjongian dari Sucor Sekuritas menilai, rencana TBIG untuk tumbuh dengan strategi pertumbuhan organik akan menjaga rasio utang perusahan menjadi lebih baik dan tidak memengaruhi rasio tenancy. TBIG memiliki rasio net gearing 2,3 kali di kuartal I 2024, jauh lebih baik dari rasio 6,2 kali di 2018.
Namun, dia menekankan, jumlah menara yang masih cukup jauh dari pesaingnya, meski tenancy ratio baik. Karena itu, Christofer merekomendasikan hold saham TBIG dengan target harga Rp 1.900. Harga ini mencerminkan PE 26,9 kali dan EV/EBITDA 12,3 kali di 2024.
Pada 30 Mei 2024 nanti, TBIG akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Salah satu agendanya adalah meminta restu melakukan buyback 1,75% saham beredar dengan anggaran Rp 800 miliar.
Menurut Senior Research Samuel Sekuritas Yosua Zisokhi, langkah buyback akan meningkatkan daya tarik saham TBIG, mengingat harga buyback saham diperkirakan tak kurang dari Rp 1.883 per saham. Pada Rabu (22/5), harga TBIG di Rp 1.850 per saham.