Di Balik Tarif Cukai Rokok yang Ketinggian

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pernyataan Menteri Keuangan yang mengibaratkan tarif cukai rokok "terlalu tinggi, kayak zaman Firaun" langsung memantik pro-kontra. Ada yang melihatnya sebagai keberpihakan pada industri dan daya beli; ada juga yang khawatir sinyal ini mengendurkan upaya kesehatan publik. Supaya diskursus jernih, mari kita bedah tiga hal: apa itu cukai dan bedanya dengan pajak, untuk apa cukai rokok diberlakukan, serta bagaimana kebijakan memengaruhi industri dan tenaga kerja.
Menurut teori ekonomi publik, pajak adalah pungutan umum untuk membiayai pengeluaran negara -- pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan sebagainya. Prinsipnya: basis luas, tarif serendah mungkin untuk menghindari distorsi, tujuannya menghimpun penerimaan. Cukai berbeda. Ia pungutan selektif atas barang tertentu yang menimbulkan eksternalitas negatif -- misalnya rokok dan minuman beralkohol. Tujuan utamanya bukan kas negara, melainkan mengubah perilaku: membuat barang berisiko lebih mahal agar konsumsi turun dan biaya sosialnya berkurang. Dalam literatur ekonomi, ini serupa Pigouvian tax -- cara "memasukkan" biaya kesehatan/lingkungan ke dalam harga jual. Penerimaan dari cukai memang ada, tetapi posisinya derivasi dari fungsi pengendalian. Itulah sebabnya tarif cukai tampak tinggi dibandingkan pajak umum. Ia memang "rem konsumsi", bukan sekadar sumber APBN.
Baca Juga: BPI Danantara Kantongi Rp 50 Triliun untuk Proyek Sampah Lewat Patriot Bond
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan.
Sudah berlangganan? MasukBerlangganan dengan Google
Gratis uji coba 7 hari pertama. Anda dapat menggunakan akun Google sebagai metode pembayaran.
Kontan Digital Premium Access
Business Insight, Epaper Harian + Tabloid, Arsip Epaper 30 Hari
Rp 120.000
Business Insight
Hanya dengan 20rb/bulan Anda bisa mendapatkan berita serta analisis ekonomi bisnis dan investasi pilihan