Fitch Nilai Penjualan Properti di Kuartal Kedua Bakal Lebih Tinggi

Jumat, 07 Juni 2019 | 16:15 WIB
Fitch Nilai Penjualan Properti di Kuartal Kedua Bakal Lebih Tinggi
[]
Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Narita Indrastiti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar properti di Indonesia diprediksi bakal lebih bergairah pada kuartal kedua, ketimbang kuartal pertama tahun ini. Menurut Fitch Ratings, kemungkinan sebagian besar pengembang bakal meluncurkan proyek baru di tengah sentimen yang membaik usai Pemilu dan libur Idul Fitri. 

Meski demikian, Fitch mengingatkan masih ada risiko volatilitas mata uang, harga komoditas ekspor yang melemah, dan gangguan politik yang bisa menghambat permintaan properti. Di sisi lain, Fitch yakin leverage pengembang bakal tetap stabil meski ada tekanan modal kerja lantaran melambatnya pra penjualan dalam dua tahun terakhir ini. 

"Kami percaya kalau sebagian besar pengembang di Indonesia punya landbank yang cukup besar. Jadi mereka memiliki kemampuan untuk menunda akuisisi tanah. Hal ini tak hanya memberikan fleksibilitas arus kas, tapi juga memungkinkan untuk menghemat belanja dan meningkatkan likuiditas," ujar analis Fitch dalam laporan Indonesia Property Watch yang dirilis Kamis (6/6). 

Ada 13 pengembang yang masuk dalam penilaian Fitch. Mereka adalah PT Modernland Realty Tbk (MDLN), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Greenwood Sejahtera Tbk (GWSA), PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA), dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).

Lalu, PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), dan PT PP Properti Tbk (PPRO). 

Angka rata-rata pra penjualan 13 pengembang ini turun 22% year on year (yoy) sepanjang kuartal I 2019 lalu. Namun, di kuartal kedua, angka penjualan akan membaik. Hal ini didorong pula oleh permintaan dari industri yang lebih kuat. Ambil contoh, penjualan lahan industri secara agregat untuk MDLN dan KIJA, naik tujuh kali lipat menjadi Rp 760 miliar, didorong dari pertumbuhan investasi yang lebih cepat. 

Total realisasi investasi asing dan investasi langsung (direct investment) naik 5,3% di kuartal I 2019, menjadi kenaikan terbesar dalam empat kuartal terakhir. Fitch yakin, pemerintah akan terus fokus pada pembangunan infrastruktur dan stabilitas ekonomi bakal mendukung permintaan jangka menengah. 

Di sisi lain, cash collection para pengembang dalam pra penjualan dua tahun terakhir ini hanya mencapai 40%, lebih rendah dari tahun 2016 yang sebesar 45%. Ini menunjukkan beban modal kerja emiten properti lebih besar. Untungnya, sebagian besar emiten properti punya landbank yang besar. Sehingga, arus kas bisa tetap fleksibel.

Sepanjang kuartal I 2019, penjualan agregat yang dapat diatribusikan dari 13 pengembang tersebut turun 17% yoy, karena banyak proyek yang ditunda peluncurannya ke kuartal kedua. Meski begitu, penjualan MDLN, SMRA, LPKR, masih tumbuh positif. Penjualan lahan MDLN tumbuh di atas ekspektasi. Sementara itu, peluncuran produk baru SMRA yang dibanderol sebesar Rp 1 miliar per unit mendorong penjualan perusahaan. 

LPKR juga ketiban untung dari kontribusi penjualan yang kuat dalam proyek Lippo Village. Sementara itu, PWON, CTRA, dan KIJA melaporkan penjualan yang lebih rendah dari perkiraan, sekitar 19%-22%. PPRO dan GWSA juga menjadi yang terlemah, masing-masing dengan pertumbuhan 10% dan 0%. "Namun, penjualan di kuartal kedua akan mendorong penjualan emiten-emiten ini dan kemungkinan bisa sesuai dengan ekspektasi kami," imbuh Fitch. 

Likuiditas

Dalam outlook kali ini, Fitch sekaligus merevisi turun peringkat APLN dari B menjadi B- dengan Rating Watch Negative (RWN) pada arus kasnya karena memburuknya likuiditas. Lalu, Fitch juga merevisi outlook PPRO di BBB+ dari stabil menjadi negatif, karena cash collection yang lambat dan leverage yang lebih tinggi. 

Peringkat APLN mencerminkan tingginya risiko pembiayaan kembali (refinancing). APLN memiliki obligasi sekitar Rp 1,2 triliun yang akan jatuh tempo pada padabulan Juni dan Desember 2019. Perusahaan juga memiliki pinjaman sindikasi Rp1,3 triliun yang jatuh tempo pada Juni 2020. 

Sementara itu, BSDE, LPKR, PPRO, dan SMRA masing-masing memiliki obligasi sekitar Rp 1 triliun-Rp 1,3 triliun yang jatuh tempo pada tahun 2020.

Fitch meyakini, semakin meningkatnya ketegangan geopolitik, khususnya soal perdagangan AS-China yang berlarut-larut, dapat menurunkan selera investor di pasar properti. Hal ini pun bisa meningkatkan risiko pembiayaan kembali untuk para emiten properti di Indonesia. 

Namun, Fitch juga yakin kalau sebagian besar pengembang memiliki akses ke  sistem perbankan domestik dan pasar obligasi. Sehingga, hal ini seharusnya dapat mendukung likuiditas.

APLN, PPRO, DILD, dan SMRA memiliki rasio dana kas per utang jangka pendek bawah 1 kali pada kuartal I 2019. Ini menunjukkan tekanan likuiditas dalam jangka pendek dan ada risiko refinancing

Dengan aset properti investasi yang beroperasi sehat, APLN masih memiliki kemampuan untuk memanfaatkan pasar kredit domestik untuk refinancing. Begitupula PPRO yang dinilai masih punya ruang untuk menerbitkan obligasi domestik untuk mendorong likuiditas jangka pendek. 

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Pebisnis Furnitur Antisipasi Tarif Tambahan AS
| Senin, 08 September 2025 | 05:20 WIB

Pebisnis Furnitur Antisipasi Tarif Tambahan AS

Meminta pemerintah segera mengambil langkah strategis untuk mengantisipasi dampak kebijakan Trump tersebut.

Daerah Bisa Tambah Dana Lewat Pengajuan Proyek
| Senin, 08 September 2025 | 05:20 WIB

Daerah Bisa Tambah Dana Lewat Pengajuan Proyek

Pemeritah berencana memberi tambahan anggaran ke daerah lewat proyek untuk mengakali penurunan dana transfer ke daerah. 

Menanti Taji Diversifikasi Pasar oleh Perusahaan Leasing
| Senin, 08 September 2025 | 04:45 WIB

Menanti Taji Diversifikasi Pasar oleh Perusahaan Leasing

Pelaku usaha multifince mencetak piutang pembiayaan sebesar Rp 502,9 triliun per Juli 2025 alias hanya tumbuh 1,79% secara tahunan

Cetak Rekor Tertinggi Lagi, Harga Emas Masih Bisa Menguat
| Senin, 08 September 2025 | 04:33 WIB

Cetak Rekor Tertinggi Lagi, Harga Emas Masih Bisa Menguat

Emas dunia mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah alias all time high (ATH) ke US$ 3.653,3 per ons troi.​

IHSG Menguat, Saham DSSA Jadi Top Leaders Dalam 2 Pekan Beruntun
| Senin, 08 September 2025 | 04:30 WIB

IHSG Menguat, Saham DSSA Jadi Top Leaders Dalam 2 Pekan Beruntun

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,47% menjadi 7.867,35 dalam sepekan periode 1-4 September 2025.

Peluang Biodiesel dan Pasar Ekspor Memoles Prospek Sektor CPO
| Senin, 08 September 2025 | 04:26 WIB

Peluang Biodiesel dan Pasar Ekspor Memoles Prospek Sektor CPO

Emiten kelapa sawit masih akan diuntungkan dari program biodiesel pemerintah dan permintaan ekspor yang kuat

Dana Bank di Instrumen Pemerintah Masih Tinggi
| Senin, 08 September 2025 | 04:25 WIB

Dana Bank di Instrumen Pemerintah Masih Tinggi

Porsi bank di SBN mencapai 20,66% sementara posisi di SRBI mencapai 74,19%. Kepemilikan ini meningkat dibanding akhir tahun lalu. 

Pergerakan IHSG Hari ini Masih Rawan Terkoreksi
| Senin, 08 September 2025 | 04:24 WIB

Pergerakan IHSG Hari ini Masih Rawan Terkoreksi

Sejumlah analis memproyeksi, IHSG kemungkinan akan bergerak mixed dengan cenderung tertekan pada perdagangan Senin ini (8/9).

Harga dan Ekspor Batubara Lesu, Laba Golden Energy (GEMS) Ikut Layu
| Senin, 08 September 2025 | 04:24 WIB

Harga dan Ekspor Batubara Lesu, Laba Golden Energy (GEMS) Ikut Layu

Tekanan harga batubara memengaruhi kinerja PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) sepanjang enam bulan pertama tahun ini. 

Sarana Menara Nusantara (TOWR) Buyback Saham Senilai Rp 200 Miliar
| Senin, 08 September 2025 | 04:24 WIB

Sarana Menara Nusantara (TOWR) Buyback Saham Senilai Rp 200 Miliar

Periode pelaksanaan buyback saham dilakukan TOWR dalam waktu paling lama tiga bulan, yang dimulai sejak 4 September 2025 sampai 3 Desember 2025.​

INDEKS BERITA

Terpopuler