KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Uni Eropa (UE) yang akan mengenakan bea masuk imbalan sementara (BMIS) terhadap produk biodiesel Indonesia mulai September 2019, menambah hambatan atas kinerja ekspor.
Pelemahan ekspor Indonesia sepanjang semester I-2019 berpotensi berlanjut pada sisa tahun ini. Pasalnya, biodiesel merupakan salah satu andalan ekspor nonmigas Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia secara kumulatif pada Januari-Juni 2019 mencapai US$ 80,32 miliar atau menurun 8,57% dibanding periode sama tahun 2018 atau year on year (yoy).
Pada periode yang sama ekspor nonmigas mencapai US$ 74,21 miliar atau menurun 6,54% yoy.
Pelemahan ekspor lantaran imbas perang dagang Amerika Serikat dengan China yang mengakibatkan menurunkan permintaan di tingkat global dan harga komoditas alam anjlok.
Kini hambatan ekspor bertambah dengan pengenaan BMIS atas biodiesel sebesar 8%–18% di Uni Eropa. Hambatan tarif akan berlaku sementara, sebelum berlaku permanen selama lima tahun sejak Januari 2020.
Kelompok barang lemak dan minyak hewani/nabati (didalamnya termasuk biodiesel) selama ini menjadi kontributor terbesar kedua dalam ekspor non migas, yakni 10,89% pada semester I-2019.
Jumlah itu hanya kalah dari golongan barang bahan bakar mineral batubara, 15,33%.
Sebagai catatan, Eropa merupakan peringkat terbesar kedua dalam penjualan biodiesel, yakni berkontribusi 15,48%.
China ada di urutan pertama tujuan ekspor biodiesel dengan porsi 16,11% dan India peringkat ketiga 14,10%.
Imbasnya merembet ke negara lain
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan memastikan BMIS akan menekan ekspor biodiesel ke Eropa.
Tak hanya itu, ekspor ke negara lain juga bisa terimbas.
"Negara lain yang impor biodiesel dari Indonesia akan terpengaruh dan akan mengurangi dan menghentikan impornya," tutur Paulus kepada KONTAN, Minggu (28/7).
Ekonom BCA David Sumual menyebut, kebijakan Eropa tersebut akan menekan kinerja ekspor nasional.
Namun, Indonesia memiliki peluang untuk bernegosiasi dengan Uni Eropa. David mengimbau Indonesia melakukan lobi dan sosialisasi tentang biodiesel ini.
"Kalau lobi tidak berhasil, Indonesia harus diversifikasi ekspor," ujar David.
Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati menilai tindakan UE yang semena-mena akan menyulitkan pemerintah memacu ekspor.
Sepanjang semester I-2019, kinerja ekspor turun 8,57% ketimbang periode sama tahun sebelumnya.
Pelemahan ekspor biodiesel ke Eropa berpotensi melanjutkan penyusutan kinerja ekspor.
"Indonesia harus menaikkan bargaining position terhadap Eropa, karena dalam kerjasama harusnya saling take and give," ujar Enny.