KONTAN.CO.ID - INDIANA. Tiga profesor dari dua universitas top di dunia baru saja merilis studi terbaru soal kelapa sawit.
Riset yang dirilis pada 3 September 2019 ini menyusun tiga skenario kebijakan pembatasan produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
Tujuannya untuk melihat dampak kebijakan terkait CPO terhadap deforestasi dan ekonomi Indonesia dan Malaysia.
Berangkat dari studi tersebut, Farzad Taheripour memperingatkan bahwa langkah-langkah global untuk mengurangi produksi CPO tidak hanya berpengaruh terhadap Indonesia dan Malaysia. Tapi juga akan mempengaruhi negara lain.
Taheripour merupakan profesor ekonomi pertanian di Purdue University, Amerika Serikat (AS) yang menjadi penulis utama dalam studi ini.
Ia berkolaborasi dengan Thomas Hertel yang juga seorang profesor ekonomi pertanian Purdue University.
Lalu, ada Navin Ramankutty, profesor dan ketua riset dalam perubahan lingkungan global dan keamanan pangan di University of British Columbia, Kanada.
Penelitian ini didanai oleh The National Science Foundation dan Institut Pangan dan Pertanian Nasional Departemen Pertanian AS.
“Jika Malaysia dan Indonesia membiarkan Eropa menggunakan kebijakan perdagangan untuk mengurangi produksi minyak sawit, negara-negara itu akan dirugikan secara signifikan karena permintaan akan produk dan juga harganya akan menurun," kata Taheripour.
Baca Juga: Demi Ekspor CPO, Indonesia Pangkas Standar Gula Impor premium
"Kami menunjukkan bahwa akan lebih baik bagi Malaysia dan Indonesia untuk proaktif dalam menghadapi tuntutan perubahan,” imbuhnya.
Berikut tiga skenario kebijakan pembatasan produksi CPO beserta dampaknya, dikutip KONTAN dari studi yang dilakukan ketiga profesor tersebut dan rilis yang diterbitkan Purdue University.
Skenario pertama: skenario terburuk bagi produsen CPO dan deforestasi
Dalam skenario pertama, Malaysia dan Indonesia akan secara sukarela kembali ke tingkat produksi minyak sawit pada tahun 2011.
Berdasar data Kementerian Pertanian, produksi CPO Indonesia pada 2011 sebesar 23,5 juta ton.
Langkah itu dilakukan melalui penerapan peraturan atau pajak pada industri kelapa sawit.
Nah, berdasarkan model yang disusun ketiga profesor tersebut, skenario pertama ini boleh jadi disebut sebagai skenario terburuk.
Baca Juga: Tarif Impor CPO Malaysia ke India direkomendasikan Naik 5%
Dari sisi lingkungan hidup, laju deforestasi malah tidak berkurang.
Sebab, lebih banyak yang yang dibuka untuk menggenjot produksi tanaman penghasil minyak nabati yang lain untuk menutupi kekurangan pasokan CPO.
Lahan baru yang dibuka bukan hanya di Indonesia dan Malaysia tapi di banyak negara lain.
Maklum, permintaan global terhadap minyak nabati untuk berbagai kebutuhan terus mengalami pertumbuhan.
"Pada saat yang sama, Malaysia dan Indonesia menghadapi pukulan serius pada pendapatan dari sektor pertanian," ujar Taheripour.
Skenario kedua: pilihan terbaik bagi Indonesia dan Malaysia
Berdasarkan model yang dibuat Taheripour dan kedua rekannya, skenario kedua disebut sebagai kebijakan terbaik yang bisa ditempuh.
Dalam skenario kedua, Malaysia dan Indonesia akan membatasi produksi minyak sawit hingga ke level produksi pada tahun 2011.
Di saat bersamaan, pemerintah kedua negara menawarkan subsidi kepada petani untuk menghentikan aktivitas pembukaan hutan.
Insentif dianggap efektif dalam menahan laju deforestasi secara global.
Baca Juga: Perlu harmonisasi regulasi untuk mengakhiri polemik tata kelola sawit
Sementara pembukaan lahan baru di negara lain untuk tanaman penghasil minyak nabati yang lain tidak akan bisa menutupi kekurangan pasokan yang berasal dari minyak kelapa sawit.
Skenario ini akan mendorong kenaikan harga CPO sehingga menguntungkan ekonomi Malaysia dan Indonesia.
"Ini adalah pilihan terbaik untuk Malaysia dan Indonesia karena mereka menggunakan kekuatan seperti monopoli untuk mengendalikan pasar," sambung Hertel.
Skenario ketiga: lebih menguntungkan eropa
Sementara skenario ketiga yang disusun ketiga profesor ini, akan lebih banyak menguntungkan negara importir CPO.
Sementara Indonesia dan Malaysia yang merupakan produsen CPO terbesar di dunia tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal
Negara-negara lain, termasuk uni eropa mengambil tindakan untuk membatasi minyak sawit, dengan menetapkan tarif impor minyak sawit.
Dari sisi lingkungan hidup, laju deforestasi bisa ditahan seperti halnya pada skenario kedua.
Di sisi ekonomi, permintaan akan melambat dan harga CPO bakal meningkat.
Namun, manfaat ekonomi terbesar diperoleh oleh negara-negara eropa yang memungut tarif atas impor CPO.
Baca Juga: Hambat Airbus Masuk RI, Mendag Sudah Bicara dengan Bos Lion Air
Pada awalnya, Indonesia dan Malaysia memang akan mendapatkan manfaat dari kenaikan harga CPO.
Namun, manfaat tersebut akan ditransfer ke negara-negara importir.
"Ketika negara lain menerapkan pembatasan impor, manfaat yang tadinya diperoleh Indonesia dan Malaysia ini diberikan kepada importir dalam bentuk pendapatan tarif yang lebih tinggi dan harga ekspor yang lebih baik,” tulis para profesor ini.