Jumlah Perusahaan Fintech Kian Banyak, Benarkah Menjawab Masalah Inklusi Keuangan?
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Populasi unbanked atau mereka yang tak punya rekening bank di Indonesia lebih dari 60% dari total 250 juta penduduk, menjadi daya tarik bagi perusahaan financial technology (fintech) yang fokus pada pinjam meminjam dana (fintech lending). Fintech lending menjadi solusi inklusi keuangan bagi masyarakat yang belum terlayani institusi perbankan. Lewat jasa fintech lending akses masyarakat terhadap layanan keuangan jadi lebih terbuka.
Per 1 Februari 2019, ada 99 perusahaan fintech yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Belum cukup, masih ada 234 perusahaan fintech yang masuk ke pipeline OJK untuk minta restu agar dapat beroperasi. Meski punya wilayah dan segmen luas, apakah Indonesia membutuhkan perusahaan fintech sebanyak itu?
Hendrikus Passagi, Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Technology (Fintech) OJK mengatakan kebutuhan layanan fintech di Indonesia tinggi, sebab ada kebutuhan pendanaan sebesar Rp 1.000 triliun setiap tahun yang tak bisa diisi oleh institusi perbankan konvensional.
“Saat ini, jumlah kumulasi pinjaman fintech di tahun 2018 baru mencapai Rp 23 triliun, masih jauh dari kebutuhan yang ada,” kata Hendrikus kepada KONTAN, beberapa waktu lalu.
Tahun kemarin, pertumbuhan industri ini meroket sebesar 784% dengan peningkatan jumlah borrower mencapai 1600%.
Hendrikus bilang model bisnis dalam industri fintech yang spesifik membuat OJK membuka keran bagi perusahaan-perusahaan ini untuk mendaftarkan diri. “Di fintech lending, inovasi bisnis sangat penting dan spesifik sifatnya, jadi kami belum melihat kepentingan OJK untuk membatasi beragam model bisnis sesuai keperluan spesifik tersebut,” kata Hendrikus.
Saat ini ada beragam fintech yang menggarap segmen pasar. Seperti Danamas yang terafiliasi dengan Grup Sinar Mas. Fintech ini fokus pada awalnya fokus pada pendanaan untuk para agen dan reseller pulsa. “Jadi mereka tidak dapat uang tunai saat meminjam mereka kami kirim dalam bentuk pulsa, kami kerjasama dengan perusahaan provider telekomunikasi,” kata Dani Lihardja, CEO Danamas.
Ada Investree yang fokus pada pendanaan invoice, alias invoice financing. Pengusaha yang punya pesanan tapi kesulitan modal bisa meminjam kepada Investree berbekal invoice dari pelanggan sebagai jaminan. Fintag perusahaan fintech yang fokus pada pendanaan nelayan dan industri perikanan skala mikro. Dan Modalku yang menggarap kebutuhan pinjaman dari pengusaha yang bergerak di bidang perdagangan, manufaktur dan industri pelayanan.
Reynold Wijaya, CEO Modalku bilang pemberi pinjaman di Modalku 40% merupakan kalangan milenial. Mereka dapat memberikan pinjaman mulai dari Rp 100 ribu per pinjaman. Rata-rata tenor pendanaan dalam jangka pendek yaitu satu hingga 24 bulan.
Meski mendukung program inklusi keuangan dengan memberikan pinjaman kepada UMKM, namun tak sedikit juga perusahaan fintech memberikan pinjaman personal untuk kebutuhan konsumtif dan mendesak. Dalam catatan Kontan, dari sebanyak 99 perusahaan fintech yang terdaftar di OJK, 53 di antaranya menyediakan pembiayaan multiguna dan personal loan.
Bhima Yudhistira, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut kebutuhan fintech bukan sekadar dari kuantitasnya, tapi kualitas. “Permasalahannya kalau dilihat, perusahaan fintech yang banyak itu ada sekitar 40% merupakan lending konsumtif. Nilai tambah terhadap perekonomiannya tidak besar,” kata Bhima.
Hendrikus menyebut kredit multiguna yang membiayai kebutuhan konsumtif juga tak dapat dibendung karena ada kebutuhan di pasar. “Sebaiknya hati-hati dengan penggunaan kata konsumtif, karena tidak selalu orang yang meminjam uang untuk beli handphone adalah konsumtif, bisa jadi dia butuh handphone untuk kebutuhan usaha,” kata Hendrikus.
Sejatinya, untuk menjawab tantangan inklusi keuangan, Indonesia membutuhkan perusahaan fintech dengan cakupan wilayah yang luas dan padat modal. “Sehingga penyaluran kreditnya bisa ke sektor produktif dan jangka panjang,” kata Bhima.
Bhima menambahkan terlalu banyak perusahaan fintech dapat mengakibatkan perebutan dana dari lender. Akibatnya, persaingan usaha jadi tak sehat lantaran pemberi pinjaman akan berlomba mencari fintech yang dapat menawarkan bunga lebih tinggi.
Selain terlalu banyak perusahaan fintech, produk yang ditawarkan fintech juga tak terdiversifikasi dengan baik. Kebanyakan perusahaan fintech masih menyasar perkotaan dan menawarkan kredit konsumtif jangka pendek.
Padahal, kondisi demografi Indonesia mirip dengan Nigeria dan India yang masih membutuhkan fintech seperti model laku pandai. Proses transfer dan menyimpan uang bisa dilakukan lewat SMS bermodal telepon jenis polifonik. “Kalau China memang di level pedesaan sudah hi-tech, makanya berkembang fintech yang hi-tech dengan smartphone dan harus punya paket data,” ujar Bhima.
Seperti Danamas memulai debut menawarkan produk fintech-nya menyasar para pedagang pulsa. Dani mengatakan Grup Sinarmas sengaja menyasar para pedagang pulsa lantaran intensitas pedagang pulsa memegang smartphone cukup tinggi.
Sedangkan menurut Dani, Indonesia masih membutuhkan kuantitas industri fintech lantaran usaha skala mikro di Indonesia cukup beragam. Namun, untuk mampu membiayai usaha yang produktif, perusahaan fintech tak bisa bekerja sendiri. “Kalau mau produktif tidak bisa single, paling tidak harus terintegrasi dengan konglomerasi bank,” kata dia.
Sebab, untuk menjangkau luas wilayah Indonesia perusahaan fintech harus padat modal. Memang, saat ini mayoritas pembiayaan fintech masih berbasis di perkotaan. “Makanya, yang terjadi sekarang fintech ini bukan melayani masyarakat unbankable, tapi unserved oleh bank,” ujar Dani.
Dia menilai penyelenggara layanan fintech saat ini berlomba mengarah ke pembiayaan multiguna karena ada kebutuhan masyarakat di segmen tersebut. Meski kasus tersebut datang dari perusahaan fintech ilegal, rendahnya edukasi membuat masyarakat tak bijak dalam memanfaatkan layanan fasilitas fintech hingga ramai istilah rentenir online dan berimbas pada citra perusahaan fintech legal.
Legal vs ilegal
Edukasi yang cenderung lambat tak mampu menyusul kecepatan teknologi. Di playstore pertumbuhan aplikasi fintech tak terbendung. Satgas Waspada Investasi mencatat di awal tahun ini ada 231 fintech ilegal yang tak mengantongi izin OJK. Tahun lalu, Satgas sudah memblokir 404 fintech ilegal.
Untuk mengantongi status terdaftar, perusahaan fintech harus melewati proses screening yang panjang dan pengecekan kelengkapan dokumen serta prosedur sesuai dengan ketentuan POJK 77 Tahun 2016. Seperti, pengujian sistem prosedur operasi dan bisnis model hingga risiko.
“Setelah syarat ini selesai, penyelenggara akan kami uji di lapangan ketika kami melakukan site visit untuk tanda daftar,” kata Hendrikus.
Setelah mengantongi status terdaftar, penyelenggara atau perusahaan fintech memiliki waktu selama satu tahun untuk beroperasi dan mengajukan status berizin.
Dari seluruh fintech yang terdaftar baru Danamas yang mengantongi status berizin. Tak ada perbedaan antara kedua status tersebut. Hanya, fintech yang baru mengantongi status terdaftar harus mengajukan status lagi setelah satu tahun beroperasi. Sedangkan posisi fintech dengan status berizin lebih kuat karena masuk dalam kategori Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (LJKL).
Dani membeberkan Danamas dapat mengantongi status berizin lebih cepat lantaran sejak awal dipersiapkan untuk mendapat status berizin. Beberapa di antaranya yang membedakan Danamas dengan perusahaan fintech lainnya adalah background dan support lembaga keuangan resmi yang sudah berpengalaman dan punya pemegang saham yang jelas berkedudukan di Indonesia. Maklum Danamas merupakan anak usaha dari Grup Sinar Mas yang juga memiliki bisnis lembaga keuangan konvensional.
“Struktur orangnya harus jelas siapa pemegang sahamnya dan harus ada modal tidak boleh dari utang. Selain itu, cara penyajian ” papar Dani.
Untuk mengantongi status berizin, perusahaan fintech perlu menyetorkan biaya sebesar Rp 50 juta. Lalu, setelah mengantongi izin OJK, perusahaan fintech membayar iuran setahun sekali sebesar Rp 10 juta.
Tepat sasaran
Di tengah bayang-bayang kasus fintech ilegal, penyelenggara fintech legal juga masih punya pekerjaan rumah untuk memastikan penyaluran dana tepat sasaran. Tahun ini, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menargetkan penyaluran pinjaman hingga Rp 40 triliun. Angka yang besar ini jika tidak tepat sasaran akan jauh dari misi inklusi keuangan yang membawa nilai tambah terhadap perekonomian.
Fintech harus terlibat dalam program inklusi keuangan dan membawa manfaat terhadap perekonomian. Ini termaktub dalam Code of Conduct perusahaan fintech yang tergabung dalam AFPI, bahwa penyelenggara (perusahaan fintech) berkewajiban mendukung program literasi dan inklusi keuangan.
Dani menyebut, sejak awal Danamas menyalurkan pinjaman bukan dalam bentuk uang tunai. Produk pinjaman perdana Danamas yang menyasar pedagang pulsa diberikan dalam bentuk saldo pulsa. “Kalau diberi uang tunai langsung belum tentu jadi barang,” kata dia.
Agar konsisten tepat sasaran, Danamas menggandeng perusahaan penyedia telekomunikasi untuk menentukan siapa peminjam yang layak diberikan pinjaman. Hingga sekarang Danamas menyalurkan pendanaan dengan skema kerjasama. Seperti dengan Traveloka dengan fitur PayLater-nya, dengan begitu borrower yang mengajukan pinjaman tak memegang uang secara langsung.
Tahun ini, Danamas mengincar kerjasama dengan perusahaan lain yang bergerak di segmen mikro seperti warung. “Masih rahasia, tapi usaha kecil ini berhubungan dengan minyak, jadi mereka pinjam tapi tidak terima uang,” kata Dani.
Namun, tak semua fintech lending punya strategi sama seperti Danamas. Ada juga fintech yang memilih menyalurkan dalam bentuk uang tunai. Kebanyakan fintech yang terdaftar dan melayani pembiayaan multiguna dan kredit tanpa agunan (KTA) memberikan dalam bentuk uang tunai. Seperti Modalku yang memberikan pinjaman dengan transfer ke bank kustodian. Jika sudah begitu, kematangan konsumen lah yang memegang kendali dalam menggunakan uang untuk memutar roda perekonomian.