Kemkeu Terbitkan Dua Standar bagi Pemda untuk Hitung dan Tagih Pajak Daerah
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah pusat menerbitkan standar bagi pemerintah daerah dalam menghitung dan mengumpulkan pajak daerah. Standar itu termuat dalam dua peraturan menteri keuangan (PMK), yaitu PMK Nomor 207/PMK.07/2018 tentang pedoman penagihan dan pemeriksaan pajak daerah dan PMK Nomor 208/PMK.07/2018 tentang pedoman penilaian pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2).
Dua PMK yang dirilis itu merupakan respon atas Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 973/10870/SJ tanggal 6 Desember 2018 yang dikirimkan ke Menteri Keuangan. Dalam surat itu, menteri dalam negeri menilai banyak pemerintah daerah belum optimal mengumpulkan pendapatan asli daerah (PAD).
Di PMK 207/2018, Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengatur tata cara yang terbagi ke dalam dua bagian besar, yakni penagihan pajak dan pemeriksaan pajak. Penagihan adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Pemeriksaan ialah kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti berdasarkan suatu standar untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau untuk tujuan lain.
Untuk penagihan pajak, PMK 207/2018 memberi wewenang kepada kepala daerah menunjuk pejabat pelaksana penagihan pajak atau juru sita pajak. Kepala Daerah berhak menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran pajak terutang, yaitu paling lama sebulan sejak dikirimnya surat ketetapan pajak daerah (SKPD) dan enam bulan sejak diterimanya surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT).
Sedangkan di PMK 208/2018, Kemkeu memberikan pedoman penilaian bumi dan/atau bangunan guna menghitung nilai jual objek pajak (NJOP). Kemkeu berharap beleid ini bisa membantu pemda menetapkan NJOP agar lebih relevan dan sesuai harga pasar.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemkeu Nufransa Wira Sakti, menjelaskan, peraturan baru ini merespon perlunya pedoman bagi pemda dalam mengoptimalkan penerimaan. "Khususnya dalam upaya penagihan pajak daerah," jelas Nufransa, Minggu (13/1). Apalagi, PBB-P2 merupakan sumber penerimaan yang penting bagi daerah. "Pedoman penilaian ini sangat penting dalam menyesuaikan basis pajak (NJOP) yang elastis dan rasional," tambah Nufransa.
Adapun, isi dari ketentuan penilaian PBB-P2 dalam PMK anyar tersebut tidak berbeda jauh dengan pedoman yang telah diterbitkan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemkeu melalui Buku Pedoman Umum Pengelolaan PBB-P2 tahun 2014 silam. Pedoman ini dikeluarkan saat diputuskan adanya pengalihan wewenang pemungutan pajak PBB-P2 dari sebelumnya oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada pemerintah daerah.
Namun PMK itu merinci lebih detail mengenai teknik dan tata cara penilaian, terutama dalam menentukan Zona Nilai Tanah (ZNT) dan Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). ZNT merupakan area yang terdiri atas sekelompok objek pajak yang mempunyai satu Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) dibatasi oleh batas penguasaan/pemilikan objek pajak dalam satu satuan wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan tanpa terikat pada batas blok. Sedang DBKB adalah daftar yang dibuat untuk memudahkan perhitungan nilai bangunan berdasarkan pendekatan biaya yang terdiri dari biaya komponen utama dan/ atau biaya komponen material bangunan, serta biaya komponen fasilitas bangunan.
Nufransa menambahkan, keluarnya PMK ini bukan hanya penting untuk penerimaan daerah, namun juga bisa memperbaiki pelayanan bagi wajib pajak. "Pada gilirannya, daerah pun dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dan dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka," terang Nufransa.