Klub Korporasi Bernilai US$ 1 Triliun

Jumat, 17 Mei 2024 | 10:53 WIB
Klub Korporasi Bernilai US$ 1 Triliun
[ILUSTRASI. Budi Frensidy, Ketua Senat Akademik FEB UI]
Budi Frensidy | Ketua Senat Akademik FEB UI

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Sejak ahli statistik memperkenalkan ukuran untuk output nasional pada tahun 1930-an, ekonom sepakat mengacu pada produk domestik bruto (PDB) untuk mengukur kebesaran sebuah negara. PDB menggambarkan total nilai barang dan jasa wilayah sebuah negara dalam satu tahun.

Angka inilah yang digunakan untuk keanggotaan G20 alias 20 negara terbesar dunia, dengan pengecualian dua negara tetap dimasukkan tanpa melihat PDB-nya, yaitu Afrika Selatan dan Argentina. Indonesia masuk dalam kelompok bergengsi ini, karena berada di rangking 16 dunia sejak belasan tahun lalu. 

Kebanggaan lain, sejak tahun 2017, Indonesia masuk sebagai negara ke-16 kelompok negara ber-PDB sebesar US$ 1 triliun. Agar bisa masuk dalam klub elite ini, sebuah negara harus memiliki PDB minimal US$ 1 triliun. 

Amerika Serikat (AS) sebagai yang pertama di tahun 1969, Jepang tahun 1979, Jerman di 1987, Perancis tahun 1988, Inggris di 1989, Italia tahun 1990 dan delapan negara besar lain antara tahun 1998 hingga 2007.

Kemudian Australia di tahun 2008 dan Indonesia tahun 2017. Tiga negara lain bergabung setelah Indonesia, yaitu Belanda (2021), Arab Saudi (2022), dan terakhir Turki (2023). Itulah 19 negara terbesar di dunia saat ini berdasarkan PDB.

Jika ukuran besar ekonomi sebuah negara adalah PDB, kita punya kapitalisasi pasar untuk mengukur besar sebuah korporasi. Jika negara dengan PDB triliunan dolar AS hanya ada belasan, apalagi korporasi. 

Namun, sejarah tercipta saat Apple yang didirikan mendiang Steve Jobs, pada 1 April 1976 menjadi perusahaan pertama yang  bernilai US$ 1 triliun pada 2 Agustus 2018. 

Jobs memimpin Apple hingga 1985, ketika dia diberhentikan oleh Chief Executive Officer (CEO) John Scully, akibat anjoknya penjualan. Padahal Jobs yang mempekerjakan dia dua tahun sebelumnya. Pemberhentian Jobs ini disetujui secara aklamasi  seluruh direksi saat itu.  Pada periode keterpurukannya, saham Apple pernah hanya dihargai US$ 0,04. Ini setelah memperhitungkan stock split, pada 8 Juli 1982. 

Dari tanggal itu hingga saat ini saham Apple telah mengalami stock split lima kali, yaitu 2:1 di 1987, 2000 dan 2005. Kemudian 7:1 di 2014 dan 4:1 di 2020. Ini berarti telah terjadi stock split 224 for 1 selama 1987-2020. 

Baca Juga: Balapan Jadi Juara Kapitalisasi Pasar

Ditinggalkan Jobs di September 1985, Apple tidak menjadi lebih baik. Di tahun 1990 hingga 1996 penjualan terus menurun dan produk-produknya banyak yang gagal, hingga Apple hampir bangkrut. Beberapa pekan mendekati kebangkrutannya dengan harga saham serendah US$ 0,12, direksi Apple membeli NeXT milik Jobs dan menariknya menjadi penasihat Apple pada 9 Februari 1997. Beberapa bulan kemudian, Jobs menjadi CEO lagi. 

Dia langsung membatalkan 70% model dan proyek yang ada, memberhentikan 3.000 pekerja, dan meyakinkan Microsoft berinvestasi US$ 150 juta di Apple. 
Di tahun pertama sebagai CEO itu, Jobs mampu membawa Apple meraih keuntungan US$ 309 juta. Selama 1997-2006 harga saham Apple melonjak lebih dari 16 kali lipat.

Kenaikannya semakin tak terbendung ketika Apple meluncurkan iPhone di tahun 2007, terjual 270.000 unit hanya dalam 30 jam pertama. Sejak model pertama itu hingga awal bulan lalu, Apple telah menjual 2,3 miliar iPhone. Saat Jobs mundur dan meninggal di 2011, Apple  bernilai US$ 350 miliar.

Sebulan setelah Apple bernilai US$ 1 triliun, Amazon mengikuti jejaknya pada 4 September 2018. Kemudian Microsoft pada 25 April 2019, Saudi Aramco 11 Desember 2019, Alphabet (Google) di 16 Januari 2020, Meta (Facebook) di 28 Juni 2021, Tesla di 25 Oktober 2021 dan Nvidia 30 Mei 2023. Inilah 8 emiten penghuni klub US$ 1 triliun. 

Kompetisi menjadi lebih seru ketika Saudi Aramco pada 12 Desember 2019 menembus nilai US$ 2 triliun saat harga sahamnya naik belasan persen dalam dua hari melantai di bursa. Apple  menyusul di 19 Agustus 2020, Microsoft di 22 Juni 2021, Alphabet pada 8 November 2021, dan Nvidia di 23 Februari 2024.

Persaingan masih belum selesai. Pada 3 Januari 2022 Apple kembali menjadi jawara dengan US$ 3 triliun, saat kapitalisasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) hanya Rp 8.470 triliun atau cuma setara US$ 594 miliar atau seperlimanya Apple. 

Hanya Microsoft mengikuti Apple di 24 Januari 2024, bahkan menyalip, menjadi jawara di pekan ini dengan US$ 3,08 triliun. Angka ini setara dengan PDB negara ketujuh terbesar dunia, yaitu Prancis dan lebih dari dua kali PDB kita. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya nilai sebuah korporasi melampaui PDB sebuah negara besar.  Kecuali Saudi Aramco, semua korporasi di atas itu emiten teknologi.

Sejatinya, emiten pertama yang sempat bernilai US$ 1 triliun adalah PetroChina pada 5 November 2007 ketika harga minyak naik drastis. Namun, tidak bertahan lama. Harga sahamnya turun mengikuti harga minyak dunia dan kini kapitalisasinya di US$ 244 miliar.

Bagaimana emiten terbesar Asia dan Asia Tenggara serta kiprah korporasi Indonesia? Di bawah Saudi Aramco, nilai sembilan emiten terbesar Asia laia antara US$ 630 miliar  (Taiwan Semiconductor) hingga US$ 206 miliar  (Agricultural Bank of China). Tujuh emiten lain, tiga dari China serta satu dari Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, dan India. Tidak ada emiten Asia Tenggara masuk 10 terbesar Asia.

Di Asia Tenggara, tujuh emiten kita masuk 10 besar yaitu BREN dengan US$ 81 miliar  di peringkat pertama.  BBCA dengan US$ 72 miliar  (3), AMMN (5), BBRI (6), TPIA (7),  BYAN (8), dan BMRI (10). Tiga lain dari Singapura. 

Kesimpulannya, ada 19 negara besar dan 8 emiten raksasa, didominasi korporasi teknologi, dalam klub US$ 1 triliun. Berbeda dengan tren dunia, penguasa dan juara di bursa kita adalah emiten energi terbarukan, bank, dan tambang. Apa kabar saham teknologi di BEI?                       

Bagikan

Berita Terbaru

Tarik Ulur Prospek Saham INDY, Reli Masih Bertumpu Cerita Tambang Emas
| Selasa, 16 Desember 2025 | 10:00 WIB

Tarik Ulur Prospek Saham INDY, Reli Masih Bertumpu Cerita Tambang Emas

Dengan level harga yang sudah naik cukup tinggi, saham PT Indika Energy Tbk (INDY) rentan mengalami aksi ambil untung.

Laba Kuartalan Belum Moncer, Saham Solusi Sinergi Digital (WIFI) Jadi Lumer
| Selasa, 16 Desember 2025 | 09:21 WIB

Laba Kuartalan Belum Moncer, Saham Solusi Sinergi Digital (WIFI) Jadi Lumer

Secara month-to-date, saham PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI)  sudah mengalami penurunan 5,09%. ​

Pemegang Saham Pengendali Surya Permata Andalan (NATO) Berpindah Tangan
| Selasa, 16 Desember 2025 | 09:16 WIB

Pemegang Saham Pengendali Surya Permata Andalan (NATO) Berpindah Tangan

Emiten perhotelan, PT Surya Permata Andalan Tbk (NATO) mengumumkan perubahan pemegang saham pengendali.

KKGI Akan Membagikan Dividen Tunai Rp 82,8 Miliar
| Selasa, 16 Desember 2025 | 09:11 WIB

KKGI Akan Membagikan Dividen Tunai Rp 82,8 Miliar

Besaran nilai dividen ini mengacu pada laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk KKGI per akhir 2024 sebesar US$ 40,08 juta. 

Arah Suku Bunga Bergantung pada Pergerakan Rupiah
| Selasa, 16 Desember 2025 | 09:06 WIB

Arah Suku Bunga Bergantung pada Pergerakan Rupiah

Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan menahan suku bunga acuannya pada bulan ini, namun tetap ada peluang penurunan

Menanti Cuan Bagus dari Rally Santa Claus
| Selasa, 16 Desember 2025 | 08:46 WIB

Menanti Cuan Bagus dari Rally Santa Claus

Saham-saham big caps atau berkapitalisasi besar di Bursa Efek Indonesia berpotensi terpapar fenomena reli Santa Claus.

Korporasi Kembali Injak Rem Utang Luar Negeri
| Selasa, 16 Desember 2025 | 08:42 WIB

Korporasi Kembali Injak Rem Utang Luar Negeri

Utang luar negeri Indonesia per akhir Oktober 2025 tercatat sebesar US$ 423,94 miliar               

Nasib Rupiah di Selasa (16/12) Menanti Data Ekonomi
| Selasa, 16 Desember 2025 | 07:00 WIB

Nasib Rupiah di Selasa (16/12) Menanti Data Ekonomi

Pada Senin (15/12), kurs rupiah di pasar spot turun 0,13% menjadi Rp 16.667 per dolar Amerika Serikat (AS).

Obligasi Korporasi Tetap Prospektif di Era Bunga Rendah
| Selasa, 16 Desember 2025 | 06:30 WIB

Obligasi Korporasi Tetap Prospektif di Era Bunga Rendah

Penerbitan surat utang korporasi pada tahun 2025 melonjak ke rekor tertinggi sebesar Rp 252,16 triliun hingga November.

 Harbolnas Mendongkrak Transaksi Paylater Perbankan
| Selasa, 16 Desember 2025 | 06:30 WIB

Harbolnas Mendongkrak Transaksi Paylater Perbankan

Momentum Harbolnas yang berlangsung menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) mendorong permintaan layanan paylater

INDEKS BERITA

Terpopuler