KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa bulan ini banyak orang yang mengeluh perekonomian di negeri ini sungguh sangat berat. Banyak bisnis yang tidak jadi ekspansi, banyak juga yang membubarkan bisnisnya setelah sekian tahun beroperasi di negeri ini.
Akar masalahnya pun bermacam-macam, ada yang tidak mampu bersaing dengan pesaing bisnisnya, ada yang bisnisnya termakan model bisnis online. Ada lagi gara-gara pebisnis nakal yang memakai bisnisnya sebagai “kedok” pencucian uang atau penggelapan kredit bank.
Tak peduli apa masalahnya, bisnis-bisnis mangkrak ini membuat pengangguran meningkat. Sayangnya, sejak zaman konon, angka pengangguran di negeri ini tak pernah menjadi perhatian serius. Definisi yang sangat “ketat” untuk memasukkan seseorang dalam kategori pengangguran, membuat angka pengangguran kita selalu rendah.
Menurut BPS, ada beberapa kategori pengangguran. Untuk menelisik data pengangguran, kategori pengangguran terbuka biasanya jadi acuan. Tapi tahukah Anda, data pengangguran terbuka di awal Mei ini 7,28 juta orang, hanya naik 80 ribu orang dibandingkan Mei 2024. Di periode yang sama, ada kenaikan penyerapan kerja 3,59 juta orang untuk menjadi 145,77 juta orang bekerja di Mei 2025.
Melihat angka ini, tentulah tidak ada masalah di negeri kita ini. Tapi nyatanya ada banyak pengusaha yang mengeluh penjualannya berat. Di sisi lain ada begitu banyak juga lulusan sarjana yang tidak bisa menemukan pekerjaan. Kalau pun ada yang mendapat pekerjaan, kebanyakan perusahaan hanya menawarkan sistem kontrak. Artinya dalam beberapa bulan mendatang, mereka bisa kembali berstatus pengangguran.
Sepertinya pemerintah diam-diam sudah menyadari masalah ini. Tapi solusi yang diberikan masih setengah-setengah. Padahal perlu diingat, perekonomian di negeri ini sangat mengandalkan konsumsi domestik. Biasanya angka konsumsi domestik di Indonesia 55% dari GDP. Tapi pada waktu krismon 1998, konsumsi domestik melejit di atas 70%, jadi motor pertumbuhan dan pemulihan ekonomi.
Sekarang ini dalam beberapa bulan terakhir, konsumsi domestik kita di bawah 55% GDP. Upaya pemerintah untuk menaikkan daya beli masyarakat dengan berbagai macam subsidi tidak akan mengubah tren. Konsumsi domestik memang kunci, tapi perlu uang yang terdistribusi dengan baik. Warga negara ini pekerjaan yang baik bukan subsidi seumur hidup.