Kontrak 157 Proyek Pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) Bisa Diteken Tahun Ini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Untuk mencapai target porsi energi baru sebesar 23% pada tahun 2025, pemerintah terus memburu pengembangan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Pada tahun ini, pemerintah menargetkan bisa meneken kontrak dan pengadaan sebanyak 157 proyek energi baru terbarukan.
Direktur Aneka Energi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris memperkirakan, kapasitas setrum dari 157 proyek tersebut mencapai 4.718,14 megawatt (MW) dan akan menelan investasi mencapai Rp 147,12 triliun. "Itu mengacu pada update data rencana pengadaan PLN secara nasional," ungkap dia kepada KONTAN, Sabtu (8/6) pekan lalu.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengklaim, PLN melakukan proses kontrak dan pengadaan atau engineering procurement construction (EPC) terhadap 157 proyek pembangkit EBT itu di unit wilayah masing-masing.
Selain itu, EPC pembangkit EBT ini dilakukan oleh PLN maupun pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP). "Ini banyak dilakukan di unit-unit, gabungan dari EPC PLN dan IPP. Misalnya di NTT, untuk EPC PLTS saja ada lebih 24 lokasi," kata dia kepada KONTAN, Minggu (9/6).
Sementara PLN Pusat akan menggelar 21 proyek pembangkit EBT yang ditargetkan bisa berkontrak melalui power purchase agreement (PPA) pada tahun ini.
Dari 21 rencana PPA tersebut, terdapat sembilan proyek yang merupakan lanjutan dari tahun 2018. Adapun 12 proyek lagi merupakan proyek baru.
Harris mengemukakan, proyek lanjutan merupakan proyek yang persetujuan jual beli telah dilakukan sebelum tahun 2019, namun belum menandatangani PPA. Khusus untuk proyek lanjutan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM), menurut dia, merupakan proyek yang telah mendapatkan Penetapan Pengelolaan Tenaga Air (PPTA).
Sementara proyek baru adalah proyek yang proses persetujuan jual belinya dilakukan pada tahun ini. Adapun proses PPA dilakukan ketika pengembang sudah siap dan memenuhi persyaratan. "Ini info awal. Proses PPA tergantung kesiapan para pengembang. Jadi kemajuan PPA akan berbeda-beda," ungkap Harris.
Direktur Eksekutif Institute for Essential and Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengingatkan, jumlah proyek yang menandatangani PPA tidak terlalu signifikan jika tidak dibarengi kelayakan proyek untuk masuk ke tahap selanjutnya.
Sebab, untuk bisa beroperasi menjadi kapasitas terpasang, proyek tersebut harus terlebih dahulu masuk fase penyelesaian syarat pendanaan atau financial close (FC) dan menyelesaikan tahap konstruksi.
Sedangkan untuk mencapai ke tahap itu, proyek yang sudah PPA harus menarik dan layak secara investasi. Selain kualitas proyek, menurut Fabby, kelayakan proyek tersebut ditentukan oleh sejumlah faktor seperti pembagian risiko antara PLN dan pengembang serta ketentuan-ketentuan dalam PPA. "Sebagai pengalaman (PPA tahun 2017), dari 70 proyek tidak semua bisa konstruksi. Kalau PPA-nya bankable, proses FC bisa lebih cepat," ungkap Fabby.
Seperti diketahui, dari 70 proyek pembangkit listrik energi baru terbarukan yang sudah PPA pada tahun 2017, belum semuanya bisa mencapai FC. Hingga April lalu, PLN masih melakukan pendampingan bersama lembaga financial advisor seperti Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF).
Optimistis tercapai
Kementerian ESDM masih optimistis dapat mengejar target EBT. Harris menyampaikan, sekali pun nanti akan ada proyek yang mengalami terminasi, kondisi tersebut tidak akan menyusutkan bauran energi terbarukan yang telah dicapai.
Sebab, bauran energi dihitung dari pembangkit yang sudah terpasang, bukan dari jumlah kapasitas yang baru PPA. Nah, hingga kuartal pertama tahun ini, total kapasitas proyek pembangkit EBT yang dalam proses konstruksi mencapai 2.456,15 MW.
Harris menyebutkan, kini, proyek yang telah commercial operation date (COD) mencapai 5.822,39 MW.