KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2024 menjadi salah satu isu ketenagakerjaan paling menonjol di Indonesia. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan, setidaknya 64.751 pekerja terkena PHK sepanjang Januari hingga November 2024.
Namun, kalangan serikat buruh seperti seperti Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPSI) menduga angka PHK yang sesungguhnya jauh lebih tinggi lagi. Menurut mereka, banyak perusahaan tidak melaporkan kasus PHK secara resmi ke dinas setempat.Bahkan gelombang PHK diduga terus menjalar hingga 2025. Salah satu penyebab paling signifikan adalah kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5%. Kebijakan ini, meskipun bertujuan menjaga daya beli pekerja, memunculkan tantangan besar bagi perusahaan, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, garmen dan alas kaki.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah menegaskan, nilai kenaikan ini tidak sesuai kemampuan keuangan mayoritas perusahaan yang sedang tertekan. Kebijakan itupun dituding akan memaksa perusahaan kembali melakukan PHK sebagai solusi jangka pendek untuk menekan biaya operasional.
Baca Juga: Unilever (UNVR) Buka-Bukaan Profit dan Pangsa Pasar Bisnis Es Krim Menyusut
Selain itu, ada rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Ini juga menimbulkan kekhawatiran kalangan pebisnis. Benar, kenaikan PPN bertujuan meningkatkan pendapatan negara. Tapi kenaikan PPN akan berdampak langsung pada meningkatnya biaya produksi, yang pada akhirnya memengaruhi profitabilitas dan keberlanjutan bisnis, khususnya perusahaan kecil dan menengah. Di saat yang sama, daya beli konsumen sedang melemah.
Para pengusaha juga masih gagap menghadapi rencana program pensiun tambahan berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Mereka menilai, sudah banyak program jaminan sosial yang telah memotong gaji pekerja dan meminta kontribusi perusahaan. Isu pensiun tambahan ini juga disebut-sebut ikut menyebabkan angka PHK bakal kian membeludak. Menghadapi gelombang PHK itu, pemerintah mengaku sudah memasang kuda-kuda. Kementerian Ketenagakerjaan akan membentuk tim khusus untuk membantu pengusaha yang tak mampu menerapkan UMP. Tim ini berbeda dari Satgas PHK yang akan dibikin Kemenko Perekonomian dalam bentuk lintas kementerian.
Baca Juga: SRAJ Dapat Suntikan Dana, Begini Profil Emiten Rumah Sakit Milik Dato Sri Tahir
Masalahnya, belum jelas apa yang bakal dilakukan oleh Tim dan Satgas itu. Padahal, problem PHK tidak hanya disebabkan kenaikan UMP, PPN dan program pensiun tambahan. Ada masalah yang jauh lebih fundamental dalam perekonomian nasional yang membuat stagnasi ekonomi dan PHK sulit dihindari.
Ledakan masuknya barang impor menjadi problem utama pelemahan industri domestik. Kendati neraca perdagangan Indonesia terus surplus dalam 54 bulan, produk impor barang jadi tetap merajalela. Industri tekstil, alas kaki dan elektronik yang paling terdampak. Apalagi, banyak barang impor yang masuk ilegal alias selundupan. Pemerintah sudah membentuk Satgas Impor Ilegal untuk bekerja enam bulan pada 2024. Hasilnya jauh dari memuaskan. Repotnya lagi, pelaku usaha mengalami keterbatasan akses pasar ekspor akibat belum rampungnya negosiasi perjanjian perdagangan European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU CEPA). Ini juga yang membuat produk Indonesia tidak kompetitif dibandingkan produk Vietnam, Malaysia atau Thailand.
Penurunan konsumsi
Daya beli masyarakat yang lemah juga menjadi tantangan. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91% pada kuartal III-2024, lebih rendah dari kuartal sebelumnya. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi perusahaan yang bergantung pada pasar lokal, tetapi juga memperburuk ketidakstabilan ekonomi secara keseluruhan. Tak heran jika ekspektasi kalangan industriawan juga melesu. Nilai Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia masih kontraktif pada November 2024, hanya 49,6. Posisi kontraksi ini, yang berada di bawah level 50, telah berlangsung lima bulan berturut-turut, sejak Juli 2024. Di sisi lain, pemerintah terlalu banyak memberikan insentif kepada industri hilirisasi mineral. Padahal serapan tenaga kerjanya lebih rendah dibandingkan manufaktur.
Baca Juga: Ujung Tombak Pengelolaan Sampah di Jakarta
Jadi, masuk akal jika badai PHK akan terus mendera. Badan Pusat Statistik (BPS) menduga, tingkat pengangguran akan naik dari 5,86% menjadi lebih dari 6% pada akhir 2024. Dampak ini juga akan terlihat pada penurunan konsumsi domestik. Ini tak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga mengurangi pendapatan pajak, sehingga menambah tantangan fiskal yang sudah ada.
Seluruh persoalan ini menjadi tantangan bagi Tim Kemnaker dan Satgas PHK. Mereka harus bekerja cerdas dan efektif. Salah satu langkah yang dinilai penting adalah mengusulkan pemberian insentif pajak bagi perusahaan, terutama yang padat karya dan berorientasi ekspor. Setyawan dan Djauhari (2017) menunjukkan bahwa insentif fiskal dapat meningkatkan daya saing industri lokal dan mencegah PHK massal.
Baca Juga: Tarif PPN 12% Cuma Untuk Orang Kaya
Pengalaman Indonesia pada 2013 bisa dijadikan pelajaran. Kala itu, pemerintah memberi insentif tambahan deduksi biaya buruh dalam perhitungan penghasilan kena pajak perusahaan. Perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor bisa mendapatkan pengurangan lebih besar. Insentif ini dapat mengurangi beban produksi sehingga perusahaan bisa mempertahankan laba dan mencegah PHK.
Satgas PHK juga bisa memberi rekomendasi agar pemerintah memperluas program restrukturisasi kredit untuk perusahaan terdampak yang padat karya dan bersedia tidak melakukan PHK. Pinjaman bunga rendah diberikan kepada UMKM untuk membantu mereka bertahan. Mayr dan Lixl (2019) menyatakan, restrukturisasi kredit yang efektif bisa membantu perusahaan mempertahankan karyawan dan kelangsungan operasionalnya.
Baca Juga: Window Dressing, Sang Penentu Harga Saham di Setiap Akhir Tahun
Selain itu, pelatihan ulang tenaga kerja menjadi langkah penting untuk mengurangi dampak PHK. Pemerintah dapat memperluas program seperti Kartu Prakerja dengan fokus pada sektor yang sedang berkembang, seperti teknologi dan energi terbarukan. Hanushek et al. (2015) menyatakan bahwa pelatihan berbasis keterampilan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan membantu mereka beradaptasi dengan perubahan kebutuhan pasar.
Perkuat pula regulasi impor untuk melindungi industri lokal. Pastikan penerapan anti-dumping dan perketat pengawasan impor ilegal. Tanpa regulasi yang ketat, industri lokal akan terus tertekan oleh persaingan harga yang tidak sehat. Di tingkat global, percepatan negosiasi perjanjian perdagangan seperti EU CEPA menjadi krusial untuk membuka akses pasar baru dan memperluas ekspor. Tidak kalah pentingnya, perlindungan sosial bagi pekerja terdampak PHK juga harus diperkuat. Pemerintah perlu meningkatkan tunjangan pengangguran dan menyediakan program bantuan sementara bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Bachelet (2021) menyatakan, perlindungan sosial yang dilakukan secara efektif dapat mengurangi tekanan ekonomi pada rumah tangga dan membantu mereka bertahan dalam masa sulit.
Baca Juga: Harga Komoditas Masih Lumer, Prospek Emiten Baja Belum Tokcer
Dengan demikian, kebijakan harus bersifat holistik. Kombinasi dari tekanan domestik dan global sangat memerlukan respons cepat, terkoordinasi dan berbasis bukti. Upaya komprehensif itu tidak hanya dapat mengurangi dampak negatif dari PHK, tetapi juga membantu menciptakan landasan yang lebih kuat bagi pemulihan ekonomi dan memastikan stabilitas berkelanjutan.