Laba ACES Diproyeksi Turun 20% di 2025, bisa Rebound Berkat Low Base Effect di 2026
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek kinerja dan saham PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES) diproyeksi pulih pada 2026, setelah tahun 2025 yang dihantam tantangan berat.
Penjualan ritel perlengkapan rumah tangga dan gaya hidup sejauh ini memang masih tertekan kuat oleh pelemahan daya beli masyarakat. Hal ini terlihat jelas dari tren Same Store Sales Growth (SSSG) ACES yang terperosok ke zona negatif hingga September 2025.
Laporan Kuartal III-2025 menunjukkan tekanan yang masih kuat. Penjualan ACES anjlok 3,2% year on year (YoY) dan 1,4% quarter on quarter (QoQ), sementara SSSG tercatat -3,6% per September 2025.
Secara kumulatif, pendapatan ACES hanya tumbuh marginal 1,76% YoY menjadi Rp 6,23 triliun. Dampaknya, laba bersih emiten ritel ini terpangkas 16,21% YoY menjadi Rp 481,09 miliar, dengan SSSG kumulatif di -8,2% YoY.
Sejalan dengan kinerja yang loyo, harga saham ACES masih tertahan, meski sempat terapresiasi 0,48% ke level Rp 420 per saham per Jumat (5/12). Sejak awal tahun, saham ACES telah ambles hingga 46,84%.
Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, melihat secara teknikal, posisi ACES cenderung sideways dalam jangka pendek. "Indikator MACD mulai menyempit di area negatif dan berpeluang golden cross, sedangkan Stochastic mulai memasuki area netral," ujarnya kepada KONTAN, Jumat (5/12).
Baca Juga: Asing Rajin Borong Saham TLKM, JP Morgan hingga Invesco Serok Ratusan Juta Lembar
Pemangkasan Proyeksi & Peluang Rebound
Analis BRI Danareksa Sekuritas Christy Halim memaparkan, peluang perbaikan di sisa 2025 seiring momentum belanja akhir tahun yang secara historis menjadi penopang terbesar penjualan ACES.
Namun, akibat tekanan sepanjang tahun ini, Christy memangkas proyeksi pendapatan dan laba bersih ACES 2025. Pendapatan diturunkan menjadi Rp 8,76 triliun dari sebelumnya Rp 8,93 triliun. Laba bersih juga dikoreksi tajam dari Rp 820 miliar menjadi Rp 713 miliar.
Asal tahu saja, meskipun estimasi diturunkan, proyeksi pendapatan 2025 tersebut masih tumbuh 2,09% YoY. Namun, perkiraan laba bersih Rp 713 miliar itu berarti laba ACES akan tergerus 20,06% YoY dibandingkan realisasi 2024.
Dari efek basis rendah (low base effect) tersebut, Christy melihat peluang pemulihan signifikan pada 2026. Analis juga mencermati profitabilitas ACES mulai terangkat di kuartal III-2025 berkat pengelolaan beban operasional dan perbaikan bauran produk. Hal ini terlihat dari lonjakan operating profit 31,4% QoQ dengan margin operasi naik menjadi 8,8%.
"Dengan upaya berkelanjutan untuk memaksimalkan biaya dan opex, kami memperkirakan laba akan pulih dengan tumbuh 15,5% YoY pada 2026, didukung oleh efek basis yang rendah," papar Christy.
Selain itu, pendapatan ACES pada 2026 diperkirakan tumbuh 6,2% YoY seiring membaiknya daya beli dan dukungan stimulus fiskal.
Baca Juga: Ihwal Bencana Sumatra, Pemerintah Hentikan Operasional Tiga Korporasi
Strategi Rejuvenasi dan Gerai Format Baru
ACES turut mendorong transformasi melalui dua strategi utama: pembaruan konsep toko dan peluncuran format gerai baru. Sejumlah flagship store di lokasi strategis telah diremajakan (revamp) dengan konsep premium dan rencananya akan direplikasi ke lokasi kelas A dan A+.
Manajemen juga meluncurkan brand Neka, gerai format kecil (<700 sqm) yang menyasar segmen menengah ke bawah dengan lebih dari 10.000 Stock Keeping Unit (SKU). Saat ini, empat pilot store Neka telah dibuka, dengan target ekspansi yang lebih agresif pada 2026.
Meskipun Neka membutuhkan waktu break even point (BEP) lebih panjang (1–2 tahun) dibanding toko ACES (6 bulan), Christy menilai margin dan produktivitas Neka setara dengan gerai ACES konvensional.
Berbekal katalis pemulihan dan strategi ini, BRI Danareksa Sekuritas berani mengatrol rating ACES menjadi Beli (Buy) dengan target harga yang juga ditingkatkan menjadi Rp 550 dari sebelumnya Rp 500 per lembar saham.
Sementara Herditya merekomendasikan trading buy dengan level support Rp 416 dan resistance Rp 422, dan target harga di kisaran Rp 426 - Rp 432 per saham.
Investor perlu mewaspadai sejumlah risiko seperti pemulihan daya beli yang lebih lambat dari ekspektasi, persaingan ketat sektor omnichannel retail, dan perubahan perilaku konsumen.
