KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tunjangan fantastis anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan. Setelah sebelumnya terkuak tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan yang menyulut protes masyarakat dimana-mana dan kemudian ditiadakan. Kini muncul tunjangan reses nan besar anggota DPR yang mengundang kritikan.
Tunjangan reses DPR meningkat dari Rp 400 juta menjadi Rp 702 juta untuk setiap kali masa reses. Tunjangan itu naik 75,5% dari tunjangan reses DPR periode sebelumnya.
Taruh kata dalam setahun ada empat kali masa reses, berarti dalam setahun anggota DPR bakal mengantongi Rp 2,8 miliar per tahun dari tunjangan reses. Jumlah yang sangat besar.
Besarnya kenaikan tunjangan reses ini mengundang tanda tanya. Apa anggota DPR tidak tidak berkaca dari gelombang protes masyarakat yang meminta penghapusan tunjangan perumahan pada akhir Agustus hingga awal September lalu. Protes yang bahkan sampai menelan korban jiwa.
Apa anggota DPR tidak paham esensi dari protes kemarahan publik tersebut? Yakni agar lebih empati dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat. Tapi nyatanya, sama saja minim empati. Betul, tunjangan rumah sudah dihapus seperti tuntutan publik, namun tunjangan reses malah dinaikkan nyaris dua kali lipat. Ini bukan saja menandakan DPR tidak peka dengan tuntutan masyarakat. Juga tidak sesuai dengan semangat efisiensi anggaran yang digembar-gemborkan pemerintah.
Kita memahami, masa reses merupakan waktu bagi anggota dewan untuk kembali ke daerah pemilihannya, menyerap aspirasi rakyat, dan melaporkan kinerja mereka selama sidang. Tentu butuh anggaran untuk tugas-tugas yang memang sudah seharusnya dilakukan anggota dewan itu. Namun, pertanyaannya: apakah benar harus dengan anggaran yang sedemikian besar?
Di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil, daya beli masyarakat yang masih lemah, rasa-rasanya keputusan menaikkan tunjangan reses secara drastis ini terasa sangat ironis. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal buruknya sensitivitas sosial para pemegang kekuasaan.
Sebagai wakil rakyat, seharusnya anggota DPR membangun kepercayaan melalui empati, transparansi, dan tentu saja komitmen memperjuangkan aspirasi. Jadi, tolong sedikit lebih peka dengan kondisi masyarakat sebelum membuat kebijakan sensitif seperti menaikkan tunjangan maupun gaji. Ingat, publik akan selalu menyoroti dan mengawasi.