KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia masih rawan tertekan usai berakhirnya libur lebaran. Maklum, ada sejumlah sentimen negatif dari eksternal yang mengintai.
Sebagai catatan, sebelum liburan, pasar obligasi dalam negeri sebenarnya mulai menunjukkan sinyal pemulihan. Terbukti, yield surat utang negara (SUN) seri acuan 10 tahun, yakni FR0078, turun ke bawah level 8%, tepatnya 7,934%, pada 31 Mei lalu.
Katalis positif bagi pasar obligasi datang setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia dari sebelumnya BBB- menjadi BBB pada 31 Mei lalu. Namun, ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia Fikri C Permana menilai, perkembangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China akan jadi sentimen utama penggerak harga obligasi.
Apalagi, saat libur lebaran, ada sejumlah kabar mengenai konflik kedua negara tersebut. Misalnya, China akhirnya memberlakukan tarif impor balasan terhadap produk AS senilai US$ 60 miliar pada 1 Juni lalu. AS pun baru-baru mengancam akan kembali menaikkan tarif impor lanjutan terhadap produk asal China senilai US$ 300 miliar.
Selain perang dagang, perkembangan data ekonomi AS yang dirilis awal bulan Juni juga bisa menjadi sentimen tambahan. Ambil contoh, Jumat (7/6) lalu, Negeri Paman Sam merilis data tingkat pengangguran periode Mei yang stagnan di level 3,6%.
Risiko volatilitas pasar obligasi nasional berpotensi kembali meningkat akibat akumulasi beragam sentimen tersebut. "Libur perdagangan membuat respons pasar terhadap sentimen eksternal terlambat," jelas Fikri.
Namun, ia yakin volatilitas pasar obligasi masih dalam tahap yang wajar. Beberapa sentimen juga seharusnya sudah diperhitungkan pelaku pasar dalam negeri, sehingga tak terlalu berdampak.
Minat asing
Senada, Head of Fixed Income Fund Manager Prospera Asset Management Eric Sutedja menilai, pasar obligasi domestik masih kekurangan sentimen positif dari dalam negeri di pekan pertama setelah libur lebaran. Jika pasar obligasi Indonesia menunjukkan respons negatif pada awal perdagangan, bukan tidak mungkin hal tersebut akan memicu keluarnya dana milik investor asing.
Asal tahu saja, menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 951 triliun per 24 Mei silam.
Eric menuturkan, volume perdagangan di pasar obligasi Indonesia berpotensi merosot di periode awal pasca libur lebaran. Sebab, sejumlah investor, terutama investor lokal, masih menjalani liburan sehingga belum bisa meramaikan perdagangan di pasar.
Ditambah lagi, pemerintah baru akan menggelar lelang SUN di pasar primer pada 18 Juni mendatang. Momen pelaksanaan lelang biasanya menjadi pemantik minat investor obligasi dalam negeri.
Namun, Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich menuturkan, potensi minimnya transaksi di pasar obligasi pasca libur lebaran tidak berlaku bagi investor asing. "Transaksi obligasi oleh investor asing akan tetap banyak," terang dia.
Toh, analis menilai investor bisa memanfaatkan momen pembukaan perdagangan untuk masuk ke pasar obligasi usai libur lebaran.
Menurut Farash, seri-seri obligasi benchmark dapat menjadi opsi bagi para investor, terutama yang bertipikal konservatif. "Jika ada perubahan harga di hari-hari pertama perdagangan, paling tidak kinerja obligasinya masih sama dengan benchmark," ungkap dia.
Fikri menambahkan, pasar obligasi Indonesia masih tetap menarik bagi investor, meski dibayangi oleh sentimen negatif pasca libur. Salah satunya, yield US Treasury yang dalam tren penurunan.