Membangun Tata Kelola Lisensi dan Royalti Musik di Indonesia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik royalti musik kembali mencuat menyusul perseteruan Agnez Mo dan Ari Bias, serta pernyataan Ahmad Dhani yang menekankan pentingnya lisensi langsung dari pencipta. Dhani sejatinya tidak mempermasalahkan keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) maupun Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Ia menekankan pentingnya membuka ruang bagi direct licensing, yaitu pemberian izin langsung oleh pemilik hak cipta kepada pengguna tanpa melalui perantara.
Sebagian musisi menilai sistem kolektif yang dikelola LMK belum sepenuhnya mewakili kepentingan mereka secara transparan dan adil, sehingga mendukung direct licensing sebagai alternatif. Namun, sebagian kalangan lainnya beranggapan bahwa hanya LMK atau LMKN yang sah secara hukum, sedangkan lisensi langsung belum memiliki legitimasi kuat. Perbedaan pandangan ini tidak hanya soal distribusi royalti yang nilainya terus meningkat seiring pertumbuhan industri musik digital, tetapi juga menyentuh isu yang lebih mendasar seperti kedaulatan pencipta atas karyanya, hak moral, fleksibilitas kontraktual dan posisi hukum LMK dalam tata kelola hak cipta nasional.
Baca Juga: Bea Masuk 32% Untuk Eskpor Indonesia ke AS, Analis: Petaka Bagi Industri Padat Karya
