Menakar Potensi Satu Lagi Saham Prajogo Pangestu (CDIA) Masuk ke MSCI
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan saham PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) sempat melonjak agresif minggu lalu dan menjadi perhatian pasar. Pada Rabu (27/11) lalu bahkan saham CDIA sempat menebus level di atas Rp 2.000.
Tak hanya itu, minggu lalu sebanyak 275,37 juta saham CDIA diperdagangkan dengan frekuensi 52.176 kali. Nilai transaksinya pun mencapai Rp 517,61 miliar. Investor asing mencetak net buy di saham emiten solusi infrastruktur energi ini Rp 16,34 miliar.
Sementara pada penutupan perdagangan hari Senin (1/12), saham CDIA terparkir di zona merah dengan koreksi 0,51% ke level Rp 1.920. Walau awal pekan di Desember ini saham CDIA ditutup melemah, namun pergerakan CDIA sepanjang tahun ini konsisten berada di zona hijau.
Tengok saja pergerakan saham terafiliasi konglomerat Prajogo Pangestu ini sepekan belakangan, saham CDIA menguat 3,23% dan dalam sebulan CDIA juga telah menanjak 4,07%. Adapun sepanjang tahun berjalan (year to date/YtD) 2025, saham CDIA sudah melambung 650,00%.
Pergerakan saham CDIA yang cukup agresif tersebut menimbulkan pembicaraan mengenai potensi masuknya CDIA dalam radar efek Morgan Stanley Capital International (MSCI). MSCI adalah penyedia indeks global yang menjadi acuan utama investor institusi dunia. Masuknya sebuah saham ke indeks MSCI penting karena bisa menarik arus dana asing, meningkatkan likuiditas, serta memengaruhi sentimen dan harga saham terkait.
Sebelumnya, sudah ada dua saham milik Prajogo Pangestu yang sudah berhasil masuk indeks global MSCI, yakni PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) dan PT Petrosea Tbk (PTRO). Kini, peluang CDIA juga diperhitungkan karena pergerakannya yang cukup agresif beberapa waktu belakangan.
Head of Korea Investment Sekuritas Indonesia Muhammad Wafi menilai bahwa peluang CDIA masuk ke radar indeks MSCI pada Februari 2026 mendatang bahwa CDIA memerlukan beberapa faktor untuk bisa masuk ke MSCI.
Wafi menjelaskan untuk bisa masuk ke dalam standar MSCI, maka kapitalisasi pasar alias market cap sebuah emiten harus bernilai sekitar US$ 1,8 miliar hingga US$ 2,2 miliar. Untuk emiten berkapitalisasi kecil (small cap) free float kapitalisasi pasarnya sekitar US$ 600 juta hingga US$ 800 juta.
"MSCI memakai global cut-off yang dihitung dari distribusi kapitalisasi pasar negara, jadi angka bisa berbeda-beda setiap review," ujar Wafi kepada KONTAN, Senin (1/12).
Sementara saat ini CDIA memiliki harga saham di level Rp 1.940 dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp 242 triliun dan free float 9,97%. free float kapitalisasi pasar CDIA ada sekitar US$ 1,55 miliar atau setara Rp 24,1 triliun.
Wafi menilai posisi CDIA tinggal selangkah menuju threshold standar MSCI yang biasanya di kisaran US$ 1,8 miliar hingga US$ 2,2 miliar untuk negara berkembang (emerging market).
"Untuk masuk MSCI, CDIA membutuhkan free float market cap minimal US$ 1,8 miliar hingga US$ 2,0 miliar. Asumsi free float tetap 9,97%, total target market cap US$ 18 hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 290 hingga Rp 320 triliun. Jika harga saham beredar sebanyak 125 miliar saham, maka harga yang diperlukan adalah Rp 2.350 hingga Rp 2.550," kata Wafi.
Sementara Senior Investment Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menambahkan MSCI menggunakan metode yang dinamis dan sangat mempertimbangkan beberapa faktor seperti kapitalisasi pasar, free float, likuiditas, dan faktor teknis lainnya untuk memilih sebuah emiten.
Selain itu, lanjut dia, cut-off juga didasarkan pada distribusi market di setiap negara, dan hal ini terus direview oleh MSCI secara berkala.
"Jadi menurut saya, MSCI memang menggunakan pendekatan dinamis dalam menentukan apakah suatu emiten layak masuk ke indeks mereka atau tidak. Itu fungsinya, meskipun secara pribadi, sebagai senior market analyst atau technical analyst, saya melihatnya sama saja. Biasanya saya hanya melihat dari chart juga," tandasnya.
