Menangkal Importir Nakal di Post Border

Kamis, 21 Maret 2019 | 19:15 WIB
Menangkal Importir Nakal di Post Border
[]
Reporter: Havid Vebri, Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nada suara Silmy Karim meninggi di ujung sambungan telepon, Rabu (13/3) lalu. Dengan lantang, Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association(IISIA) ini terang-terangan memprotes kebijakan pemeriksaan barang di luar kawasan kepabeanan atawa post border.

Silmy tidak habis pikir, mengapa dalam kebijakan post border pemerintah justru memperlonggar pengawasan terhadap aktivitas impor besi dan baja. Padahal, selama ini impor komoditas ini sangat tinggi.

Maka tak heran, sejak post border berlaku, impor besi dan baja merupakan komoditas impor nonmigas terbesar sepanjang 2018. Menurut Silmy, itu terjadi lantaran kebijakan tersebut justru banyak dimanfaatkan importir nakal untuk memasukkan barang impor sebanyak-banyaknya. Bahkan, banyak dari mereka yang memanipulasi kode komoditas atau harmonized system (HS) code.

Salah satu yang memanfaatkan kebijakan post border adalah pengimpor baja karbon (carbon steel) dari Tiongkok. Mereka memanipulasi kode HS baja karbon dengan menggunakan kode HS baja paduan (alloy steel), biar tidak terkena bea masuk. Sementara mereka mendapat insentif dari negara asalnya ketika mengimpor baja karbon, ungkap Simly.

Akibatnya, harga baja impor lebih murah dibanding produksi dalam negeri, sehingga merugikan industri lokal. Selain itu, pendapatan negara dari bea masuk atas komoditas tersebut juga berkurang. Jadi jelas, post border malah dimanfaatkan importir untuk memasukkan produk tanpa pengawasan ketat, makanya sistem pengawasan dan aturannya harus direvisi, pinta Silmy.

Pengawasan yang lemah, menurut Silmy, karena tidak melibatkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai. Di era post border, pengawasan hanya ada di tangan Kementerian Perdagangan (Kemdag). Bukan cuma itu, pengawasan dilakukan di luar daerah pabean.

Selain mengembalikan pengawasan ke Ditjen Bea Cukai, pemerintah harus melihat persoalan ini secara utuh. Harus ada upaya konkrit, bagaimana mendukung pengembangan industri lokal, ujar Silmy.

Protes juga datang dari Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Pemerintah memang mesti meninjau ulang kebijakan post border. Sebab, kebijakan yang awalnya ditujukan untuk mempermudah impor bahan baku industri ini belum efektif dan perlu ada perbaikan.

Salah satu kelemahan post border di mata Haryadi adalah minimnya jumlah personal Kemdag, sehingga pengawasan kurang efektif. Jumlahnya jauh dari mencukupi, kata dia.

Apalagi, kebijakan post border tidak lagi perlu pengecekan dari Ditjen Bea Cukai. Jadi, bila terjadi kekeliruan, maka risiko yang ditanggung Kemdag, terutama Ditjen Pengawasan dan Tertib Usaha, cukup berat.

Sedang untuk impor bahan baku, Haryadi bilang, sudah tidak ada masalah. Pasalnya, ada kebijakan Pusat Logistik Berikat (PLB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Protes yang disampaikan para pengusaha tersebut tidak berlebihan. Sebab, itu tadi, sejak ada pergeseran dari border (wilayah kepabeanan) ke post border mulai awal 2018, impor justru melaju pesat. Tahun lalu, impor nonmigas negara kita mencapai US$ 158,84 miliar, naik 19,73% dari 2017. Pertumbuhan itu sangat pesat dibanding rata-rata tren pertumbuhan sepanjang 20142017 yang hanya 4,56% per tahun.

Sebagai catatan, pemerintah menjalankan post border per Februari 2018. Kebijakan ini ada dalam Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XV yang bertujuan mempercepat arus barang impor. Dengan begitu, bisa menurunkan biaya logistik dan waktu bongkar muat di pelabuhan alias dwelling time.

Kebijakan post border mengizinkan 1.073 HS barang impor masuk tanpa pemeriksaan di daerah pabean. Pemeriksaan akan dilakukan oleh kementerian teknis setelah keluar wilayah pabean atau pelabuhan.

Sedang evaluasi

Menanggapi keluhan pengusaha, pemerintah pun mulai mengevaluasi kebijakan post border. Reni Yanita, Direktur Ketahanan dan Iklim Usaha Industri Kementerian Perindustrian (Kemperin), mengatakan, saat ini instansinya sedang berkoordinasi secara internal menyikapi protes para pelaku usaha tersebut. Dan sejauh ini, kata dia, memang ada upaya pemerintah untuk melakukan revisi atas kebijakan post border.

Tapi, sebelum itu, pemerintah akan memeriksa data-data di lapangan terlebih dahulu, terutama terkait banjir produk impor seperti para pengusaha keluhkan. Kami akan memastikan, apakah data di lapangan betul barang-barang impor tertentu melonjak, ujar Reni. Yang jelas, imbuhnya, pemerintah tidak akan buru-buru mengambil keputusan sampai tahu betul fakta di lapangan.

Oke Nurwan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemdag, membenarkan, saat ini pemerintah tengah mengevaluasi kebijakan post border yang dipandang kurang efektif oleh pengusaha. Sedang evaluasi terus, sebut dia.

Cuma, hasil evaluasi sementara memutuskan, untuk mengembalikan pengawasan baja dan ban di kawasan pabean (border). Alhasil, pengawasan kedua produk tersebut kembali ke tangan Bea Cukai.

Di luar dua komoditas itu, pemerintah masih belum mengambil keputusan. Artinya, tetap menggunakan mekanisme post border. Menurut Oke, Kemdag tengah menyiapkan peraturan menteri perdagangan (permendag) mengenai kebijakan border untuk baja dan ban.

Bahkan, khusus untuk ban, pemerintah mengubah kembali proses importasi dari post border ke border melalui Pusat Logistik Berikat (PLB). Ketentuan ini termaktub di Permendag Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Ban yang berlaku 1 Februari lalu.

Beleid tersebut mengatur sejumlah aturan main baru. Salah satunya adalah, impor ban oleh perusahaan pemegang angka pengenal importir (API) produsen bisa melalui PLB. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi impor ban yang tiba di pelabuhan pada 1 Maret 2019. Oke menyatakan, kebijakan itu merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menekan impor berlebihan produk ban.

Tidak menjamin

Kendati pemerintah telah mengembalikan jalur pengawasan importasi ban dari post border ke border lewat PLB, Ketua Umum Asosiasi Produsen Ban Indonesia (APBI) Azis Pane menegaskan, itu tidak menjamin bisa menekan volume impor ban yang sangat tinggi. Soalnya, para importir tetap bisa mengakali dengan cara menimbun ban impor sebelum masuk ke dalam negeri melalui PLB. Jadi beli sebanyak-banyaknya lalu ditimbun di PLB dan setelah itu baru dikeluarkan sedikit demi sedikit.

Untuk mencegah hal itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dengan cara menetapkan kuota impor ban sesuai dengan kebutuhan domestik setiap tahun. Kunci pengawasan ada pada Kemperin sebagai otoritas yang menerbitkan rekomendasi impor ban.

Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengakui, post border menyebabkan sejumlah barang impor bisa masuk ke pasar domestik tanpa pemeriksaan lembaganya maupun kementerian teknis lainnya. Namun demikian, bukan berarti post border sebagai kebijakan yang gagal. Ia mengklaim, post border tetap berhasil mempercepat arus barang, sehingga menghemat ongkos.

Oleh karena itu, Heru menegaskan, tidak akan ada rencana perubahan kebijakan post border, selain baja dan ban. Untuk mengurangi barang impor yang masuk tanpa pengawasan di wilayah pabean, Ditjen Bea Cukai dan Kemdag akan memperkuat sinergi operasional. Akan kami lakukan verifikasi bersama, imbuh Heru.

Kalau begitu, tampaknya, teriakan protes para pengusaha masih akan terdengar.

Bagikan

Berita Terbaru

Rapor Setahun Permen ESDM PLTS Atap, Iklim Usaha Dinilai Jadi Lebih Pasti
| Senin, 23 Juni 2025 | 10:01 WIB

Rapor Setahun Permen ESDM PLTS Atap, Iklim Usaha Dinilai Jadi Lebih Pasti

Sejak 2018 jumlah pelanggan baru PLTS Atap meningkat 17 kali lipat, sementara kapasitas PLTS juga melejit 293 kali lipat.

Profit 31,61% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Masih Anteng (23 Juni 2025)
| Senin, 23 Juni 2025 | 08:51 WIB

Profit 31,61% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Masih Anteng (23 Juni 2025)

Harga emas Antam hari ini (23 Juni 2025) Rp 1.942.000 per gram. Di atas kertas pembeli setahun lalu bisa untung 31,61% jika menjual hari ini.

Narasi Sejarah dan Absennya Dimensi Ekonomi Politik
| Senin, 23 Juni 2025 | 08:39 WIB

Narasi Sejarah dan Absennya Dimensi Ekonomi Politik

Lebih dari dua dekade pasca-Orde Baru, Indonesia belum berhasil merumuskan sejarah nasional yang jujur terhadap kegagalan sistemik masa lalu.

Garap Properti di Serpong, SMRA Gelar Aksi Korporasi Terafiliasi Triliunan Rupiah
| Senin, 23 Juni 2025 | 08:37 WIB

Garap Properti di Serpong, SMRA Gelar Aksi Korporasi Terafiliasi Triliunan Rupiah

Aksi korporasi SMRA berlangsung di tengah permintaan properti yang lemah dan kinerja keuangan yang kurang baik di tiga bulan pertama 2025.​

Jalan Terang Saat Suram
| Senin, 23 Juni 2025 | 08:29 WIB

Jalan Terang Saat Suram

Indonesia juga harus fokus dan serius menggarap ekonomi domestik sebagai backbone di tengah ketidakpastian ekonomi dunia yang tinggi.

Agresi AS Terhadap Iran Bikin Harga Emas dan Saham Terkait Berpotensi Terangkat Lagi
| Senin, 23 Juni 2025 | 08:06 WIB

Agresi AS Terhadap Iran Bikin Harga Emas dan Saham Terkait Berpotensi Terangkat Lagi

Koreksi harga emas yang berlangsung pekan lalu diprediksi hanya sesaat sebagai efek aksi profit taking.

Merger EXCL dan FREN Tidak Berdampak Signifikan Untuk MTEL, Kinerja Tetap Terjaga
| Senin, 23 Juni 2025 | 07:56 WIB

Merger EXCL dan FREN Tidak Berdampak Signifikan Untuk MTEL, Kinerja Tetap Terjaga

Sebagian besar layanan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk. (MTEL) digunakan oleh Telkomsel, perusahaan yang juga terafiliasi dengan TLKM.

Ada Tanda-Tanda Likuiditas Membaik
| Senin, 23 Juni 2025 | 06:30 WIB

Ada Tanda-Tanda Likuiditas Membaik

Memasuki bulan Juni, kondisi likuiditas perbankan tampaknya mulai membaik, ditandai dengan kenaikan kepemilikan bank di SBN

Rupiah Tertekan Sentimen Perang di Timur Tengah
| Senin, 23 Juni 2025 | 06:30 WIB

Rupiah Tertekan Sentimen Perang di Timur Tengah

Intervensi AS ke tengah konflik Iran-Israel berpotensi menambah tekanan atas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pekan ini. 

Tensi Geopolitik Makin Panas, IHSG Rawan Tertekan
| Senin, 23 Juni 2025 | 06:30 WIB

Tensi Geopolitik Makin Panas, IHSG Rawan Tertekan

Sentimen utama IHSG masih berasal dari perkembangan geopolitik di Timur Tengah, terutama usai agresi militer Amerika Serikat (AS) ke Iran.

INDEKS BERITA

Terpopuler