KONTAN.CO.ID - Produsen cat dan pelapis, Mowilex Indonesia semakin menunjukkan keseriusan menerapkan praktik bisnis berkelanjutan. Untuk kelima kalinya, mereka kembali mengantongi sertifikasi karbon netral. Bukan hanya melakukan upaya internal untuk menekan emisi, perusahaan ini juga menyeimbangkan jejak karbonnya dengan melakukan tebus karbon alias carbon offset.
Juniati Gunawan, Direktur Trisakti Sustainability Centre, menyebutkan, Mowilex melakukan upaya tebus karbon karena mereka cukup menyadari kalau selama ini tergolong sebagai perusahaan polutan penghasil emisi karbon. “Dia menghitung emisinya sekian, melakukan observasi apa saja yang perlu diturunkan, lalu akhirnya di-offset-kan,” ujarnya.
Bisanya, carbon offset merupakan upaya terakhir yang perusahaan lakukan untuk menyeimbangkan jejak karbon. Sebelumnya, sudah barang tentu, mereka telah melakukan berbagai upaya efisiensi dan pengembangan bisnis hijau untuk menekan tingkat emisi karbon masing-masing.
Hanya, Juniati mengungkapkan, praktik pembelian karbon kredit tidak bisa perusahaan lakukan serta merta begitu saja, tanpa melakukan perhitungan dan upaya penurunan jejak emisi secara internal terlebih dulu. Bagaimanapun, perusahaan tetap harus menghitung terlebih dahulu. Kalau tidak, maka biaya yang perusahaan keluarkan bisa besar sekali.
Bahkan, walaupun sudah mereka hitung dengan cermat sekalipun, pelaksanaan carbon offset juga termasuk aksi korporasi yang membutuhkan dana besar. Kalau sudah begini, mau tak mau, upaya pembelian karbon harus perusahaan imbangi dengan langkah-langkah meningkatkan penjualan.
Menurut Juniati, ada beberapa perusahaan yang membebankan langsung biasa pembelian karbon dengan memasukkannya dalam komponen harga jual produk mereka. Tapi, ada pula yang memasukkan biaya pembelian karbon dalam anggaran corporate social responsibility (CSR) mereka.
Namun, meskipun memerlukan modal yang besar, Juniati cukup meyakini, penerapan bisnis yang mengedepankan aspek sosial, lingkungan, dan tata kelola (ESG) pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan perusahaan. “Di samping membutuhkan dana, sebenarnya bujet yang besar ini terjadi karena perilaku kita yang belum efisien,” ungkap dia. o
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.