KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bom waktu itu, akhirnya, meledak. Terkuaknya krisis anggaran di berbagai pemerintah daerah (pemda) serta lonjakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mengikuti merupakan bom waktu yang sudah diramal oleh para pengamat. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis kebijakan pemangkasan anggaran transfer ke daerah (TKD) yang diumumkan pemerintah pusat awal 2025 silam.
Selain nilainya besar, total Rp 50,59 triliun, pemangkasan bujet TKD itu juga termasuk mendadak. Imbasnya, banyak pemda kesulitan membiayai program-program prioritas, bahkan mungkin pemenuhan layanan dasar masyarakat daerah. Kondisi ini, terutama, dirasakan pemda yang selama ini menggantungkan bujet mereka pada transfer pemerintah pusat. Jangan kaget jika bujet pemda hanya cukup untuk membayar gaji pegawai.
Di satu sisi, pemangkasan TKD sebenarnya ada bagusnya juga. Kondisi ini akan memaksa daerah lebih kreatif dalam menggenjot pendapatan asli daerah (PAD). Cuma, inovasi sumber penerimaan daerah tentu butuh persiapan, perencanaan, dan pembelajaran. Tidak bisa dicapai secara simsalabim beberapa bulan saja. Tidak bisa mendadak!
Jika dipaksa mendadak, yang muncul adalah kebijakan instan minim kajian dan manajemen risiko: pemda ramai-ramai mengerek tarif PBB. Gilanya, para pimpinan daerah lantas menaikkan tarif PPB hingga ratusan, atau bahkan ribuan persen. Sebuah kebijakan yang benar-benar di luar nalar dan kewajaran. Jika dipertimbangkan memakai logika yang lurus, para pimpinan daerah itu mestinya sangat paham bahwa kenaikan PBB secara ugal-ugalan akan sangat membebani masyarat dan ujungnya: memicu protes. Lihat keributan di Pati.
Yang menarik, pemerintah pusat tak berniat mundur. Bahkan, dalam rancangan anggaran (RAPBN) 2026, pemangkasan TKD akan lebih besar lagi. TKD akan dipangkas 29,34%, dari Rp 919,9 triliun di 2025 menjadi tinggal Rp 650 triliun. Itu setera pengurangan bujet Rp 269,9 triliun!
Selain soal mitigasi risiko bagi keuangan daerah, pemangkasan TKD lanjutan itu memantik pertanyaan mendasar soal keberlanjutan otonomi daerah dalam strategi pembangunan ekonomi. Apalagi, anggaran itu lantas dialokasikan untuk program yang bersifat sentralistik dan seragam. Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih adalah dua contoh yang paling menonjol. Padahal, tiap daerah tentu punya kebutuhan prioritas pembangunan yang berbeda-beda.