Otonomi Khusus dicabut, Kashmir Merugi Hingga US$ 1,4 Miliar

Selasa, 19 November 2019 | 16:15 WIB
Otonomi Khusus dicabut, Kashmir Merugi Hingga US$ 1,4 Miliar
[ILUSTRASI. Perempuan Kashmir berlalu di depan tentara India yang berjaga di depan kompleks pertokoan yang tutup, di sebuah jalan di Srinagar(30 Oktober 2019). REUTERS/Danish Ismail TPX IMAGES OF THE DAY]
Reporter: Sumber: Reuters | Editor: Tedy Gumilar

KONTAN.CO.ID - SRINAGAR. Langkah India mencabut otonomi khusus Kashmir telah menimbulkan dampak buruk bagi ekonomi wilayah tersebut.

Kamar Dagang dan Industri Kashmir memperkirakan, pada September 2019 kerugian ekonomi yang muncul akibat keputusan tersebut setidaknya mencapai 100 miliar rupee, setara US$ 1,40 miliar.

Nasir Khan, Wakil Presiden Senior Kamar Dagang dan Industri Kashmir menyebut, hingga saat ini perkiraan kerugian tersebut terus membengkak.

Kerugian ekonomi muncul akibat penutupan bisnis dan aktivitas perdagangan di pasar sebagai tanda protes. Juga karena masyarakat disana takut akan pembalasan gerilyawan Kashmir.

Baca Juga: Meski marah soal Kashmir, Presiden Xi Jinping tetap undang PM India Modi ke China

Kerusakan juga terjadi pada sektor pariwisata dan pertanian. Serta industri seni dan kerajinan yang memberikan kontribusi terbesar bagi ekonomi Kashmir yang berorientasi ekspor.

Dus, badan perdagangan dan industri utama di wilayah Himalaya itu menyatakan pihaknya berencana menuntut pemerintah India atas kerusakan ekonomi yang ditimbulkan dari kebijakan pencabutan otonomi khusus Kashmir.

"Kami akan meminta pengadilan untuk menunjuk agen eksternal untuk menilai kerugian," kata Khan.

Ia menambahkan, pemutusan jaringan telekomunikasi di Kashmir membuat pihaknya kesulitan mengumpulkan data yang lebih detil soal kerugian para pebisnis.

Berakhir setelah tujuh dekade

Kini sebagian jalur telekomunikasi telah dibuka. Namun sebagian besar akses internet tetap diblokir.

Selain memutus hubungan telekomunikasi, India membatasi mobilisasi warga Kashmir dan mengirim ribuan tentara ke wilayah tersebut dengan alasan masalah keamanan.

Pemerintah India mencabut otonomi khusus wilayah Kashmir pada Senin, 5 Agustus 2019.

Status tersebut sudah diberikan kepada Kashmir sejak 14 Mei 1954, atau hampir tujuh dekade.

Baca Juga: Malaysia Berhasil Mengamankan Ekspor CPO 2,5 Juta Ton Tahun Depan

Otonomi khusus Kashmir diberlakukan untuk mendukung warga Kashmir yang mayoritas Muslim dalam kerangka Negara India yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu.

Kritik terhadap keputusan India dilontarkan sejumlah pemimpin negara lain. Salah satunya Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.

Sikap Mahathir Mohamad ini dibalas oleh India dengan seruan untuk memboikot produk minyak sawit Malaysia.

Baca Juga: Kuala Lumpur tawarkan diskon, India borong CPO Malaysia ketimbang Indonesia

Bagikan

Berita Terbaru

MSCI Terbaru Efektif Mulai Selasa (25/11), Masih Ada Peluang Beli di Saham-Saham Ini
| Minggu, 23 November 2025 | 22:47 WIB

MSCI Terbaru Efektif Mulai Selasa (25/11), Masih Ada Peluang Beli di Saham-Saham Ini

Kendati mayoritas saham yang baru masuk indeks MSCI ini sudah menguat signifkan, masih ada peluang beli saat harga cenderung koreksi.

Isu Merger dengan Grab Kian Menguat, Diawali dengan Mundurnya Patrick Waluyo
| Minggu, 23 November 2025 | 21:58 WIB

Isu Merger dengan Grab Kian Menguat, Diawali dengan Mundurnya Patrick Waluyo

Rencana perubahan manajemen telah mendapatkan restu dari investor kunci dan berpotensi diumumkan kepada karyawan, secepatnya pada Senin (24/11).

Menakar Pinjaman Sindikatif Terhadap Fundamental dan Prospek Sawit Sumbermas (SSMS)
| Minggu, 23 November 2025 | 14:00 WIB

Menakar Pinjaman Sindikatif Terhadap Fundamental dan Prospek Sawit Sumbermas (SSMS)

Dalam jangka panjang aset baru ini SSMS itu bersifat volume accretive, mendorong produksi TBS dan CPO konsolidasi.

Ekspansi Sawit vs. Intensifikasi, Mana Solusi Terbaik?
| Minggu, 23 November 2025 | 13:00 WIB

Ekspansi Sawit vs. Intensifikasi, Mana Solusi Terbaik?

Prioritaskan intensifikasi dan PSR untuk tingkatkan produktivitas tanpa merusak lingkungan.               

Menakar Antara Ekspansi Lahan atau Peremajaan Sawit
| Minggu, 23 November 2025 | 11:00 WIB

Menakar Antara Ekspansi Lahan atau Peremajaan Sawit

Pemerintah berencana membuka lahan baru 600.000 hektare (ha) untuk menanam kelapa sawit. Kebijakan ini memantik kritik.

Prospek Saham AUTO ditengah Tantangan Industri Otomotif Nasional
| Minggu, 23 November 2025 | 10:00 WIB

Prospek Saham AUTO ditengah Tantangan Industri Otomotif Nasional

Selain memperkuat penetrasi pasar, AUTO juga berfokus pada diversifikasi produk guna memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin berkembang.

Jangan Gegabah Ikut-ikutan Ajakan Galbay Pinjol
| Minggu, 23 November 2025 | 09:10 WIB

Jangan Gegabah Ikut-ikutan Ajakan Galbay Pinjol

Ajakan gagal bayar pinjol makin marak. Pahami risikonya agar tak ikut terjebak.                     

Jangan Gegabah Ikut-ikutan Ajakan Galbay Pinjol
| Minggu, 23 November 2025 | 09:10 WIB

Jangan Gegabah Ikut-ikutan Ajakan Galbay Pinjol

Ajakan gagal bayar pinjol makin marak. Pahami risikonya agar tak ikut terjebak.                     

Jangan Gegabah Ikut-ikutan Ajakan Galbay Pinjol
| Minggu, 23 November 2025 | 09:10 WIB

Jangan Gegabah Ikut-ikutan Ajakan Galbay Pinjol

Ajakan gagal bayar pinjol makin marak. Pahami risikonya agar tak ikut terjebak.                     

Meski Valuasi Sudah Mulai Premium, Namun Dividen IPCC Masih Menggoda
| Minggu, 23 November 2025 | 09:00 WIB

Meski Valuasi Sudah Mulai Premium, Namun Dividen IPCC Masih Menggoda

Analis menilai penguatan harga PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IPCC) lebih banyak didorong momentum dan sentimen musiman.

INDEKS BERITA

Terpopuler