Berita Pertambangan

Selain Dongkrak Ekonomi, Nikel Menyisakan Masalah Lingkungan yang Belum Teratasi

Minggu, 23 Januari 2022 | 07:01 WIB
Selain Dongkrak Ekonomi, Nikel Menyisakan Masalah Lingkungan yang Belum Teratasi

ILUSTRASI. Ilustrasi.

Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri

KONTAN.CO.ID - Pandemi Covid-19 memukul aktivitas ekonomi, termasuk Indonesia. Saat musim pagebluk ini, geliat ekonomi seakan terceguk dan tertahan karena sulit berkembang. Namun Indonesia masih beruntung memiliki daerah yang punya pertumbuhan ekonomi perkasa, yang menjaga ekonomi tak terpuruk lebih dalam.

Salah satu provinsi yang ekonominya tumbuh perkasa itu adalah Maluku Utara (Malut). Pada kuartal III-2021 lalu, pertumbuhan ekonominya naik 11,4%. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi periode sebelumnya yang hanya 6,66%. Maluku Utara tampil anomali dari provinsi lain karena ada geliat industri nikel yang mulai mengeruk cuan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, laju pertumbuhan ekonomi Maluku Utara disodok aktivitas tambang dan penggalian dengan pertumbuhan 55,81%. Mesin pertumbuhan lain berasal dari smelter atau industri pengolahan tambang dengan kontribusi 44,25%

Dua mesin ekonomi inilah yang mengubah potret ekonomi wilayah kepulauan itu. Sampai kuartal III-2021 tutup buku, ekspor Maluku Utara naik 293,59% dengan nilai US$ 3 miliar. Dominan hasil ekspor berupa besi dan baja serta nikel.

"Pertambangan berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi Malut," kata Rahwan K. Suamba, Juru Bicara Kantor Gubernur Maluku Utara, melalui sambungan telepon.

Performa ekspor berasal dari kinerja ratusan industri yang mendapat izin tambang dan smelter. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, ada 127 izin usaha pertambangan (IUP) di sana dan 54 IUP berada di wilayah hutan. "Ekspor hasil olahan smelter semakin besar," kata Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Walhi Malut.

Potret industri nikel yang berkilau setidaknya terlihat dari hadirnya kawasan industri smelter. Terutama di tiga kawasan industri smelter di Maluku Utara. Pertama ada di Pulau Obi, di Kabupaten Halmahera Selatan. Kedua ada juga di Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah. Ketiga hadir di kawasan industri Buli di Halmahera Timur.

Di Pulau Obi, Halmahera Timur, terdapat Grup Harita Group lewat anak usahanya, PT Halmahera Persada Lygend. Perusahaan ini baru mengoperasikan pabrik bahan baku baterai Juni 2021 lalu. Merujuk Geoportal Kementerian ESDM, setidaknya ada sembilan perusahaan yang mendapatkan IUP di pulau seluas 2.542 kilometer persegi (km) itu.

Adapun di bilangan Halmahera Tengah, terdapat kawasan industri PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP). Di lokasi ini ada PT Weda Bay, perusahaan nikel hasil kongsi Tsingshan Holding Group Co dengan PT Aneka Tambang Tbk. PT Weda Bay memproduksi feronikel 300.000 ton per tahun. Kemudian di Halmahera Timur ada PT Aneka Tambang Tbk, dengan kawasan industri Buli. "Perusahaan inilah mendorong pertumbuhan ekonomi Malut di 2021," kata Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).

Pius telah melakukan penelitian di Halmahera Tengah tahun 2020 lalu. Ia tidak heran melihat angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Justru Pius melihat, pertumbuhan ekonomi itu hanya didinikmati korporasi saja. "Warga tak banyak mendapat manfaat. Sebaliknya, ada masalah lingkungan yang justru dihadapi warga," kata Pius.

Mari kita tengok salah satu perusahaan yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara ini, yakni PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yang menaungi Kawasan industri di Halmahera Tengah. Namun sayang, Agnes Ide Megawati, Associate Director Media & Public Relations Departement IWIP yang biasa korespondensi dengan KONTAN, tak merespons permintaan wawancara KONTAN.

Warga alih profesi

Suara Ferry, 35 tahun, terdengar parau di ujung telepon saat KONTAN menghubunginya awal Januari lalu. Warga Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Malut, itu kerap mengalami gangguan pernafasan setelah menjadi pengemudi angkutan pikap pengangkut hasil tani dan industri.

Sebelum jadi pengemudi pikap, Ferry adalah buruh tani. Tapi pendapatan menurun karena lahan pertanian terbatas. Tidak hanya Ferry, ada banyak kawannya hijrah ke profesi lain. Ada juga nelayan alih profesi bekerja di pabrik karena minimnya hasil laut.

Peralihan profesi juga ditemukan tim riset AEER. Pius bilang, banyak nelayan tak bisa menangkap ikan di pinggir pan. "Sebelum tambang dan industri beroperasi, nelayan bisa memancing dekat pantai. Sekarang mesti menangkap ikan jauh ke tengah laut," kata Pius.

Adapun penurunan lahan pertanian terjadi karena banyak petani menjual lahan ke perusahaan tambang. Hernemus Takuling, warga Desa Lelilef yang dihubungi KONTAN, bilang, setelah jual tanah, banyak petani menjadi buruh di pabrik. "Harga tanahnya murah sekali. Ada yang Rp 2.000, Rp 6.000, ada pula yang Rp 9.000 per meter," kata Hernemus.

Alih profesi warga di lokasi tambang nikel ini juga terlihat dalam data BPS Malut. Banyak warga yang dulu mengandalkan pertanian, kini, beralih ke manufaktur. BPS mencatat, persentase petani turun dari 49,45% di Agustus 2018 menjadi 28,38% di Agustus 2020. Sebaliknya, persentase pekerjaan manufaktur naik dari 22,49% di Agustus 2018 menjadi 35,09% di Agustus 2020.

Selain bekerja sebagai buruh tambang dan pabrik, banyak warga di lokasi tambang itu beralih profesi menjadi penyedia jasa, seperti Ferry dengan mobil pikapnya. Maka itu, sektor pekerjaan usaha jasa naik dari 28,06% di Agustus 2018 menjadi 36,53% di Agustus 2020. "Ini seiring dengan beroperasinya kawasan industri," tambah Hernemus.

Tak hanya alih profesi, kehadiran industri nikel juga jadi magnet bagi warga provinsi sekitar untuk datang dan mencari kerja. Meski tak punya data pasti, Rahwan menduga banyak warga daerah tetangga yang datang ke Malut karena daya tarik lowongan kerja. "PT IWIP saja merekrut 12.000 orang pekerja," kata Rahwan.

Dampak manis lain dari bisnis pertambangan yang dirasakan oleh daerah adalah adanya geliat aktivitas perdagangan di Maluku Utara. Rahwan bilang, kini Indomaret dan Alfamart tumbuh bak jamur di musim hujan. "Aktivitas ekonomi bergerak," kata Rahwan.

Dampak lingkungan

Serba salah, itu yang dirasakan Hernemus tinggal di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Halmahera Tengah. Saat kemarau, ia dan warga Desa Lelilef kesulitan melewati jalan desa karena debu yang beterbangan. Polusi itu berasal dari aktivitas tambang yang terbawa truk pengangkut hasil tambang.

Saat musim hujan datang, Hernemus berhadapan dengan tumpukan lumpur dari debu yang terbawa air hujan. Kondisi makin pelik karena ukuran jalan yang relatif kecil. "Inilah masalah yang belum terselesaikan," kata Hernemus.

Selain udara, air sungai kini tak bisa lagi diandalkan warga. Jika hujan datang, banyak sungai di Halmahera Tengah berubah warna kecokelatan akibat sendimentasi tambang. "Dulu airnya jernih dan bisa diminum," kata Hernemus.

Perubahan warna air sungai terjadi karena banyak tutupan lahan hijau berkurang karena tambang. Pembukaan lahan tambang juga merusak habitat dan vegetasi flora dan fauna, termasuk di hilir sungai yang berujung di laut. "Sendimentasi berdampak ke mangrove yang menjadi habitat ikan," kata Fachruddin Tukuboya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Provinsi Maluku Utara.

Fachruddin bilang, kerusakan lingkungan akibat tambang tak bisa terelakkan. Namun di sisi lain, tambang memberi dampak positif ke ekonomi. Dari sisi kesehatan, Fachruddin menyoroti soal pencemaran sungai yang dianggapnya masih aman. "Statusnya tercemar ringan," katanya.

Yang kini menjadi pekerjaan rumah pemerintah adalah pengelolaan limbah tailing. Pihak smelter hanya diwajibkan memiliki tempat penyimpanan sementara limbah B3 (bahan berbahaya beracun) yang dihasilkan. Tak ada proses pengolahan limbah tersebut.

Bahkan, di Maluku Utara belum ada satu pun perusahaan yang berstatus sebagai perusahaan pengolahan limbah. "Yang pengolahan (perusahaan) belum ada sama sekali," jelas Fachruddin.

Masalah limbah nikel juga menjadi sorotan Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Meidy bilang, jangan sampai industri yang memproduksi bahan baku baterai yang diklaim produk ramah lingkungan justru merusak lingkungan. "Ini menghasilkan baterai ramah lingkungan, jangan sampai pengolahan bahan bakunya merusak lingkungan," harap Meidy.

Karena rantai industri nikel ini panjang, Meidy menyarankan pemerintah membuat tim independen yang memonitor dampak lingkungan. "Ajak ahli lingkungan, kalau perlu datangkan ahlinya dari luar negeri agar kredibel," tegas Meidy.

Dalam hitungan Meidy, dampak dari limbah B3 yang tidak dikelola dengan baik akan dirasakan generasi selanjutnya, karena baru terasa 10 tahun- 20 tahun yang akan datang.

 

 

 

 

Terbaru