Berita Refleksi

Surplus

Oleh Thomas Hadiwinata - Managing Editor
Selasa, 16 Juli 2024 | 08:05 WIB
Surplus

ILUSTRASI. TAJUK - Thomas Hadiwinata

Reporter: Thomas Hadiwinata | Editor: Markus Sumartomjon

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus  pada Juni 2024. Ini berarti surplus perdagangan Indonesia dengan negara lain telah berlangsung tanpa putus sejak Mei 2020, atau selama 50 bulan berturut-turut.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik, surplus pada Juni sebesar US$ 2,39 miliar. Perinciannya, ekspor sebesar US$ 20,84 miliar, sedang impor senilai US$ 18,45 miliar.

Surplus neraca perdagangan, lazimnya dilihat sebagai kabar baik perekonomian sebuah negara.      Namun, ada beberapa hal yang patut dicatat dari neraca dagang kita.

Satu di antaranya, ketergantungan negeri ini terhadap komoditas dalam mencetak angka penjualan luar negeri. Dua yang paling utama adalah batubara dan minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO). 

Itu sebabnya, volatilitas harga kedua komoditas itu akan sangat terlihat di nilai ekspor. Pada masa-masa di mana harga kedua komoditas itu cenderung melandai, nilai ekspor Indonesia turut terpuruk.

Di bulan Juni, nilai ekspor Indonesia lebih rendah 6,65% angka yang terjadi di bulan Mei. Penurunan itu searah dengan pelemahan harga CPO dunia, sebesar 11%, untuk periode yang sama.

Struktur perdagangan yang berat ke komoditas ideal untuk negara yang kaya sumber daya alam, tetapi minim populasi. Semisal, Kanada atau Australia. Tetapi, apakah struktur semacam itu cocok untuk Indonesia yang punya populasi tinggi?

Komoditas pertanian, seperti CPO, memang bisa terus diperbarui. Namun komoditas tambang, semacam batubara, ada batas waktunya.   

Di tahun ini, sempat muncul juga kecurigaan bahwa surplus neraca perdagangan merupakan pertanda kelesuan ekonomi, terutama di sektor manufaktur. Pertanyaannya, apakah impor yang terus menyusut merupakan sesuatu yang sehat, atau ini merupakan pertanda ada yang salah dengan ekonomi Indonesia? 

Spekulasi ini memang bisa ditepis oleh purchasing manager index (PMI) untuk Indonesia. Jika menggunakan indeks pembelian versi S&P, Indonesia masih di tingkat ekspansi, atau berada di atas 50.

Surplus perdagangan juga patut menjadi sorotan dengan banjir barang dari luar negeri plus tarik ulur seputar kebijakan impor yang terjadi selama tiga bulan terakhir. 

Di atas kertas, penyusutan nilai impor bisa jadi tanda ekonomi sebuah negara semakin mandiri. Tetapi, apakah itu yang terjadi di sini? Atau, penurunan impor itu terjadi lebih karena kebijakan  impor yang tidak tepat? 

Selanjutnya: Menakar Prospek Indeks Acuan Baru IDX Economic30

Terbaru
IHSG
7.488,68
0.87%
-65,92
LQ45
934,36
0.85%
-8,00
USD/IDR
15.456
-0,16
EMAS
1.410.000
0,35%