Tarif Royalti Batubara Berubah, Masih Jadi Potensi Berkah Bagi AADI

Rabu, 06 Agustus 2025 | 11:00 WIB
Tarif Royalti Batubara Berubah, Masih Jadi Potensi Berkah Bagi AADI
[ILUSTRASI. Pencatatan perdana saham PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (5/12/2024). (KONTAN/Ridwan Mulyana)]
Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Yuwono Triatmodjo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan tarif royalti untuk perusahaan barubara, diproyeksi tetap akan memberikan berkah untuk PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) di tengah fluktuasi harga batubara.

Sebagai informasi, Pemerintah pada semester I-2025 lalu, telah meresmikan aturan baru terkait tarif royalti mineral dan barubara alias minerba. Aturan ini tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2025 sebagai perubahan atas PP 15 Tahun 2022.

Tak hanya itu, kebijakan terkait devisa hasil ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengelolaan sumber daya alam juga diubah. Para eksportir batubara diwajibkan menetapkan 100% DHE di dalam negeri dengan jangka waktu penempatan selama satu tahun.

Sebagai pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK), Adaro akan mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut. Secara tak langsung, kebijakan ini juga diharapkan bakal mempengaruhi likuiditas AADI dan memberikan insentif berupa pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) atas pendapatan bunga.

Hasil kinerja AADI untuk periode kuartal II-2025 belum dikeluarkan saat tulisan dibuat, namun kinerja Perseroan diproyeksi masih akan dibayangi oleh dinamika harga batubara yang melemah di kuartal II-2025. Namun Perseroan masih mendapatkan keuntungan dari aturan tarif royalti, hal ini juga akan menjadi katalis positif bagi sahamnya yang baru saja masuk indeks LQ45.

Sebagai gambaran saja, sepanjang enam bulan pertama 2025, harga batu bara global sudah melemah sekitar 14,03% year on year (YoY) dibandingkan dengan harga batubara acuan (HBA). Hal ini tentu akan berdampak langsung untuk nilai ekspor batubara Adaro.

Pada kuartal I-2025, Perseroan babak belur sebab nilai ekspor turun 10,86% YoY menjadi US$ 1,05 miliar. Negara- negara utama yang menjadi tujuan utama ekspor AADI seperti Jepang, China dan Korea, mencatat permintaan batubara yang melemah. Hal tersebut bertambah berat sebab permintaan batu bara domestik juga turun 13,62% YoY menjadi US$ 232,14 juta dari US$ 268,73 juta di periode yang sama tahun 2024.  

Namun demikian, Phintraco Sekuritas dalam risetnya (25/7) menyebutkan bahwa peluang AADI untuk memperoleh manfaat dari perubahan aturan tarif sekaligus pemegang IUPK masih terbuka lebar, terutama di tengah pergerakan harga batubara yang dinamis sepanjang semester I-2025.

“Kami memperkirakan beban operasional AADI pada tahun 2025 akan menurun 10,38% YoY.  Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat profitabilitas AADI di tengah fluktuasi harga jual batubara, tercermin dari proyeksi operating margin (EBITDA Margin) tahun 2025 yang diperkirakan berada pada level 27,83% serta net profit margin (NPM) tahun 2025 di level 22,63%,” urai Lisya Anxellin Analis Phintraco Sekuritas dalam risetnya yang dikutip oleh KONTAN, Selasa (5/8).

Ia melanjutkan, dengan perubahan kebijakan tarif royalti berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2025, penurunan beban operasional AADI utamanya juga disebabkan oleh berkurangnya beban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang menjadi bagian pemerintah pusat dan daerah, berkaitan dengan penyesuaian tarif royalti sesuai harga batubara acuan (HBA) saat ini.

Nafan Aji Gusta, analis senior Mirae Asset Sekuritas juga menegaskan bahwa posisi AADI tetap akan mendapatkan katalis positif atas posisinya sebagai pemegang IUPK. AADI tetap dinilai akan untung saat harga batubara turun, dan akan semakin diuntungkan jika harga batubara naik kembali—misalnya karena pemulihan ekonomi global yang mendorong permintaan batubara dunia.

Menurut Nafan, hal ini tentu akan memberikan manfaat dalam meningkatkan kinerja AADI, khususnya dari sisi rata-rata harga jual (average selling price).

“Ketika terjadi penurunan harga jual batu baram AADI tetao bisa mendapatkan keuntungan karena posisinya sebagai pemegang IUPK. Oleh karena itu, prospek ke depan bagi AADI cukup positif,” tuturnya kepada KONTAN.

Nafan merekomendasikan accumulative buy untuk saham AADI dengan target harga Rp 1.995.

Analis senior Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas juga berpandangan sebagai pemegang IUPK dan royalti progresif berbasis HBA, Adari berpotensi menekan biaya saat harga batubara rendah, menjaga margin tidak anjlok signifikan.

“Secara kasar, jika efisiensi dari royalti bisa menghemat 2–3% dari pendapatan, maka laba kotor AADI lebih baik 1,8%–2,7% dibandingkan tanpa perubahan kebijakan ini, selain itu tergantung volume produksi dan HBA ke depan,” ujarnya.

Kebijakan ini jadi katalis positif bagi AADI di tengah harga batu bara yang melemah. Sukarno menilai bahwa saham berpotensi menarik jika AADI mampu jaga volume dan efisiensi, namun tetap perlu cermati likuiditas dan transparansi.


“Untuk strategi jangka pendek, AADI bisa direkomendasi trading buy dengan target harga Rp 7.275–Rp 7.450 per saham,” ucap dia.

Ke depannya, Phintraco Sekuritas memperkirakan produksi baru bara sub-bituminous, yang menjadi fokus utama operasional Perseroan, di semester II-2025 cenderung akan lebih stabil seiring dengan prediksi curah hujan yang berada di level menengah, terutama di wilayah aset pertambangan Perseroan yang berada di wilayah Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Kondisi cuaca yang relatif kondusif tersebut diperkirakan akan mendukung kelancaran operasional tambang, sehingga produksi batu bara dapat tetap terjaga. Kestabilan produksi ini juga memungkinkan pengendalian volume pengupasan lapisan penutup secara lebih optimal dan efisien.

Lebih lanjut, Lisya mengucapkan meskipun industri batu bara Indonesia ke China dan India saat ini mengalami penurunan, pihaknya tetap melihat prospek industri batu bara yang menjanjikan ke depan. Hal ini didukung oleh upaya diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara Asia Tenggara (Filipina, Vietnam, dan Thailand).

Lebih lanjut, hadirnya pengembangan produk hilirisasi batubara, seperti DME (dimethyl ether) sebagai substitusi LNG (liquefied natural gas), diperkirakan akan mendorong peningkatan permintaan terhadap batu bara kalori rendah. Pihaknya mencermati sejumlah potensi downside risk terhadap industri ini, antara lain penurunan harga batu bara yang berkelanjutan, peningkatan produksi batubara secara global, dan penerapan kebijakan bea keluar oleh pemerintah.

Melalui pendekatan sum of the parts (SOTP) valuation, Phintraco Sekuritas merekomendasikan beli terhadap AADI dengan target harga di Rp 10.200.

Kinerja saham AADI per Selasa (5/8) ditutup positif karena menguat 2,95% di level Rp 6.975 mendekati level tertinggi harian. Sementara itu, secara year to date  (YtD) harga saham AADI terlihat sudah terkoreksi cukup dalam atau lebih dari 15%. Para investor masih menunggu beberapa katalis seperti kepastian harga batu bara global, hingga laporan kinerja Perseroan.

Selanjutnya: Tak Terlalu Bergantung pada Subsidi, NFCX Genjot Penjualan Motor Listrik ke Korporasi

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Industri Unggas Tertekan, Japfa Comfeed (JPFA) Masih Diunggulkan
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 14:00 WIB

Industri Unggas Tertekan, Japfa Comfeed (JPFA) Masih Diunggulkan

BRI Danareksa Sekurita memproyeksikan JPFA akan mengantongi penjualan senilai Rp 53,89 triliun di akhir tahun 2025 ini.

Kerap Terjadi, BBM Langka di Tengah Tahun & Gerus Pendapatan Usaha Pengangkutan 50%
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 12:00 WIB

Kerap Terjadi, BBM Langka di Tengah Tahun & Gerus Pendapatan Usaha Pengangkutan 50%

Kalau tidak ada tambahan quota BBM bersubsidi, naikkan saja harga bio solar dari Rp 6.800 ke Rp 10.000, tapi jangan kurangi kuotanya.

Tarif Royalti Batubara Berubah, Masih Jadi Potensi Berkah Bagi AADI
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 11:00 WIB

Tarif Royalti Batubara Berubah, Masih Jadi Potensi Berkah Bagi AADI

Perubahan tarif royalti untuk perusahaan barubara, diproyeksi tetap akan memberikan berkah untuk PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI).

Tak Terlalu Bergantung pada Subsidi, NFCX Genjot Penjualan Motor Listrik ke Korporasi
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 10:00 WIB

Tak Terlalu Bergantung pada Subsidi, NFCX Genjot Penjualan Motor Listrik ke Korporasi

PT NFC Indonesia Tbk (NFCX) menargetkan pertumbuhan topline dan bottomline masing-masing 30 persen pada 2025.

Dua Proyek Jumbo di Bali Kerek Prospek Saham MINA, SSIA, WINE, MLBI, dan BUVA
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 08:54 WIB

Dua Proyek Jumbo di Bali Kerek Prospek Saham MINA, SSIA, WINE, MLBI, dan BUVA

Pengembang properti dan pelaku usaha mamin dengan eksposur substansial di Bali berpotensi memperoleh manfaat dari proyek MRT dan KEK Kesehatan.

Laba 27,11% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Susut (6 Agustus 2025)
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 08:40 WIB

Laba 27,11% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Susut (6 Agustus 2025)

Harga emas batangan Antam 24 hari ini masih sesuai update 6 Agustus 2025 di Logammulia.com Rp 1.950.000 per gram, buyback Rp 1.796.000 per gram.

Triv Menggaet Pendanaan Rp 3,2 Triliun dari Perusahaan Kripto Global, MEXC
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 08:13 WIB

Triv Menggaet Pendanaan Rp 3,2 Triliun dari Perusahaan Kripto Global, MEXC

Kami juga dapat meningkatkan likuiditas, serta menghadirkan lebih banyak produk inovatif bagi pengguna baru maupun lama.

Harga Saham Pengelola Hypermart (MPPA) Naik Signifikan Meski Kinerja Kurang Memuaskan
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 08:11 WIB

Harga Saham Pengelola Hypermart (MPPA) Naik Signifikan Meski Kinerja Kurang Memuaskan

Kinerja keuangan PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) di semester I-2025 tertekan lantaran pendapatan dan laba bersih kuartal II turun.

Angka PDB Memantik Kontroversi, Simak Arah IHSG Hari Ini, Rabu (6/8)
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 08:07 WIB

Angka PDB Memantik Kontroversi, Simak Arah IHSG Hari Ini, Rabu (6/8)

Angka PDB tersebut memang memantik kontroversi. Sebelumnya analis dan ekonomi memprediksi, PDB Indonesia lesu atau paling tidak stagnan.

Industri Tekstil Nasional Masih Tersendat
| Rabu, 06 Agustus 2025 | 07:22 WIB

Industri Tekstil Nasional Masih Tersendat

Pada Juli 2025, Farhan mengaku tidak ada peningkatan penjualan baik di pasar domestik maupun ekspor.

INDEKS BERITA

Terpopuler