Tender Offer SMCB dan MASA, Jual atau Hold?

Jumat, 15 Maret 2019 | 17:05 WIB
Tender Offer SMCB dan MASA, Jual atau Hold?
[]
Reporter: Dupla Kartini, Wuwun Nafsiah | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten kini punya pengendali baru. Konsekuensinya, mereka wajib menggelar penawaran untuk membeli sisa saham yang beredar di publik alias mandatory tender offer.

Salah satu yang siap tender offer adalah PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB) atau sebelumnya bernama PT Holcim Indonesia Tbk. Pengendali barunya, PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) menetapkan harga tender offer saham SMCB di level Rp 2.097 per saham. Harga penawaran itu sama dengan harga akuisisi 80,64% saham SMCB dari tangan Holderfin B.V. 

Melalui keterbukaan informasi di BEI, Senin (11/3), Direksi SMGR menyatakan, pelaksanaan tender wajib ini untuk menyerap maksimal 1,48 miliar saham biasa atau setara 19,36% dari modal disetor. Periode penawaran tender akan berlangsung sejak 12 Maret hingga 10 April 2019.

Emiten lain yang wajib tender offer adalah PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA). Michelin sebagai pengendali baru wajib membeli sisa saham publik setelah mengambil alih 7,35 miliar atau setara 80% saham MASA. Selain lewat akuisisi, Michelin juga menambah kepemilikan saham melalui transaksi crossing di pasar negosisasi pada 6 Maret lalu. Sehingga, total kepemilikan perusahaan Prancis itu menjadi 87,59%.

Michelin mengungkapkan akan menggelar tender offer untuk membeli seluruh sisa saham MASA di harga yang sama dengan harga akuisisi. Berdasarkan perjanjian jual beli saham yang diteken pada 22 Januari 2019, pengendali baru akan membayar senilai US$ 439 juta untuk 80% saham MASA. Dengan kurs Rp 14.200 per dollar AS, nilai akuisisi itu mencapai Rp 6,23 triliun. Maka, harga akuisisi sekitar Rp 850 per saham.

Direktur MASA Uthan Muhammad Arief Sadikin mengatakan, kemungkinan tender offer dimulai pada akhir Maret 2019. “Kami masih tunggu jadwal Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Sementara ini, masih akan berjalan sesuai rencana kerja,” ujar Uthan kepada kontan.co.id, Selasa (12/2). MASA telah mengumumkan panggilan RUPSLB yang akan digelar 20 Maret mendatang.

Menurut Chris Apriliony, Analis Jasa Utama Capital Sekuritas, ketika saham ditawari untuk dibeli pada harga lebih tinggi dibanding harga pasar, maka tender offer saham itu menarik dieksekusi.

Toh, keputusan investor perlu tetap menimbang prospek emiten terkait. Emiten yang kinerjanya positif, sahamnya masih layak dipegang. Apalagi jika perubahan pengendali menjadikan emiten yang tadinya loyo punya peluang membaik. 

Bagaimana sebaiknya sikap investor terhadap tender offer MASA dan SCMB? Bagaimana pula prospek kinerjanya? Simak ulasan berikut ini.       

SMCB: Sinergi Berpeluang Menekan Rugi

Prospek bisnis harus menjadi pertimbangan investor ritel saham PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB)  sebelum mengeksekusi maupun melewatkan penawaran tender dari pengendali baru.

Seperti diketahui, PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) menjadi pengendali anyar setelah mengambil alih 80,64% saham SMCB dari tangan Holderfin B.V. Akuisisi dilakukan melalui anak usahanya, PT Semen Indonesia Industri Bangunan. SMGR telah menetapkan harga penawaran tender wajib di level Rp 2.097 per saham. Harga itu sama dengan harga akuisisi.

Menurut analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony, pada tender offer, sepanjang harga penawaran beli lebih tinggi dibanding harga pasar, investor bisa mengejar untung dari spread harga. Pada penawaran tender SMCB, potensi spread sebenarnya sudah tipis. Kamis (14/3), SMCB diperdagangkan seharga Rp 2.040 per saham. Artinya, potensi cuan hanya sekitar 2,79%.

Tapi, itu bukan satu-satunya alasan. Chris menilai, dari sisi fundamental, SMCB belum prospektif. Kinerja keuangan merugi. “Butuh waktu lama untuk memperbaiki kinerja,” kata dia.

Apalagi, persaingan di industri semen semakin ketat. Selain suplai berlebih, kehadiran semen impor yang harganya murah memicu perang harga di pasar domestik.

Sekalipun rapor SMCB masih merah dan industri semen menghadapi tantangan oversupply, namun M. Nafan Aji, analis Binaartha Sekuritas masih menyarankan hold. Ini terutama bagi investor berorientasi jangka panjang. Kans SMCB memoles kinerja lebih terbuka setelah bersinergi dengan SMGR.

Peforma SMCB juga bisa tertopang kondisi industri semen yang diprediksi lebih baik pada tahun ini. Memang, penjualan semen domestik pada Januari 2019 turun 1,3% year on year (yoy). Ini lebih karena penjualan terhalang curah hujan tinggi dan aktivitas konstruksi yang lebih lambat.

Meski begitu, kata Nafan, sudah terlihat sejumlah katalis bagi industri semen di awal tahun ini. Salah satunya, potensi kenaikan permintaan dari sektor properti. Daya beli diyakini lebih kuat, karena tren kenaikan suku bunga sudah teredam.

Bahana Sekuritas dalam riset 1 Februari 2019, mencatat permintaan domestik selama ini tumbuh stabil di kisaran 4%–5%. Gambaran saja, sepanjang 2018, penjualan semen dalam negeri  naik 4,7% yoy.

Di sisi lain, meski ada pasokan baru, namun relatif terbatas. Pada 2018–2021, pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) diperkirakan hanya 0,7% dibandingkan periode  2015–2018 yang mencapai 11,5%. Ini mengindikasikan tingkat penyerapan yang lebih tinggi.

Kinerja operasional produsen semen juga dapat terbantu. Pasalnya, harga jual semen di tahun ini akan stabil, setelah rata-rata harga jual semen naik 5% di tahun lalu. Apalagi, beban produksi bisa lebih ringan seiring harga komoditas energi turun dan kurs rupiah stabil. Selama ini, biaya bahan bakar bobotnya mencapai 40% dari total harga pokok penjualan. Dus, margin produsen bisa meningkat.

Pada Januari 2019, meski penjualan semen nasional turun, tapi, SMCB mampu mencetak pertumbuhan volume penjualan sebesar 8,7% secara tahunan. Kenaikan terutama didorong pertumbuhan signifikan di Jawa Barat. Alhasil, pangsa pasarnya naik 120 basis points  menjadi 16,1%.

Toh, estimasi Chris, tahun ini, SMCB belum bisa mencetak laba. Produsen semen ketiga terbesar di Indonesia ini masih akan fokus mengurangi besaran kerugian.

Bahana Sekuritas memperkirakan, SMCB akan mulai menorehkan laba usaha di 2019. Sinergi bertahap dengan grup Semen Indonesia akan mendorong perbaikan struktur biaya. Emiten ini juga bisa diuntungkan dengan biaya logistik lebih rendah dan penurunan biaya merek dagang Lafarge Holcim. Tapi, bottom line masih akan tetap rugi, karena beban biaya bunga.  SMCB diperkirakan baru mulai mencetak laba pada 2020.

Hitungan Bahana, tahun  ini, pendapatan SMCB mencapai Rp 10,59 triliun, naik dari estimasi pendapatan tahun lalu, Rp 9,77 triliun. Sedangkan kerugian diperkirakan mengecil menjadi Rp 209 miliar dari estimasi kerugian tahun lalu yang mencapai Rp 800 miliar.

Nafan menyarankan hold saham SMCB dengan target harga tahun ini di Rp 2.220 per saham. Sedangkan, Chris meramalkan SMCB bisa turun ke Rp 1.700. Kata dia, saat ini, SMCB bertahan pada sentimen tender offer. Jika setelah itu perusahaan menempuh rights issue untuk mengurangi utang, maka SMCB rawan terkoreksi.             

MASA Lebih Solid di Tangan Bos Anyar

Di tangan pengendali baru, performa PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) diperkirakan bisa lebih solid. Seperti diketahui, Michelin resmi menjadi pengendali di perusahaan pembuat ban kendaraan ini setelah mengambil alih total 87,59% saham per 6 Maret 2019 lalu.

Toh, investor ritel harus menyesuaikan horizon investasinya dalam mempertimbangkan penawaran tender wajib yang akan digelar Michelin dalam waktu dekat ini. Diestimasikan, produsen ban asal Prancis itu akan menawarkan untuk membeli sisa saham publik di harga Rp 850 per saham. Harga itu sesuai dengan harga akuisisi.

Chris Apriliony, Analis Jasa Utama Capital Sekuritas, menyarankan investor yang sudah memiliki saham ini dan berorientasi jangka pendek, untuk mengeksekusi penawaran tender ini. Pasalnya, MASA belum menarik untuk jangka pendek karena kinerja keuangannya belum pulih signifikan.  Valuasi sahamnya (PER) pun sudah mahal. Di tambah lagi, rasio keuntungan seperti return on equity (ROE) terbilang kecil.

Pada tahun ini, industri otomotif menghadapi tantangan pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Penjualan kendaraan roda empat per Januari 2019 turun 15,36% year on year. Ini akan berpengaruh pada penjualan ban. “Jadi, MASA bisa dilepas di harga tender offer. Investor masih bisa untung,” saran Chris.

Pada Kamis (14/3), perdagangan saham MASA ditutup pada harga Rp 815 per saham. Jika menggunakan harga penawaran tender Rp 850 dan dijual pada harga saat ini, maka masih ada potensi untung dari spread harga sekitar 4,28%.

Tapi, bagi investor jangka panjang yang sudah mengempit saham ini, sarannya berbeda. Chris merekomendasikan hold. Alasannya, setelah diambil alih Michelin, produsen ban merek Corsa ini punya peluang pertumbuhan lebih baik. Wajar, kebutuhan kendaraan di Indonesia cukup banyak dan penjualan ban masih signifikan. Apalagi, setelah akuisisi, Michelin akan mentransfer keahlian dan membawa MASA ekspansi produk dengan memproduksi ban Tier-2.  “Tapi, memang butuh waktu untuk membuahkan hasil,” imbuh dia.

M. Nafan Aji, Analis Binaartha Sekuritas, menyarankan strategi yang sama. Dia merekomendasikan hold saham MASA. Menurut dia, tren penjualan otomotif masih positif, sehingga emiten ini bisa memanfaatkan momentum untuk meningkatkan kinerja penjualan.

Meski di pasar ban kendaraan roda dua ada kompetitor kuat seperti PT Gajah Tunggal Tbk, namun penjualan ban Corsa masih tumbuh. Sedangkan pada kendaraan roda empat, produk ban buatan MASA bersaing dengan produk lokal maupun impor.

Saat ini, kapasitas produksi MASA sebesar 11 juta ban mobil penumpang, 250.000 ban truk, dan 9 juta ban kendaraan roda dua. Setelah mengambil alih MASA, Michelin akan bertahap mengubah produksi dari ban mobil penumpang Tier-3 menjadi merek Grup Michelin Tier-2. Dengan begitu, ditargetkan bisa memenuhi pertumbuhan permintaan ban Tier-2 di pasar Eropa, Amerika Utara dan Asia.

Sekretaris Perusahaan MASA, Y. Ade Bunian Moniaga menyatakan, Michelin akan mentransfer keahlian dan teknologi untuk beralih dari produsen ban Tier-3 menjadi ban Tier-2 pada 2021. Tapi, kecepatan proses tergantung kelayakan teknis dan peningkatan kapasitas pabrik. “Nantinya, dengan perubahan lini produk, penjualan rata-rata akan tumbuh 10% per tahun hingga 2023,” tulis Ade dalam keterbukaan informasi di BEI, 31 Januari 2019.

Sedangkan, untuk rencana jangka pendek, MASA akan meningkatkan produksi pabrik hingga kapasitas terpakai maksimal dan menggenjot ekspor.  Sejauh ini, porsi penjualan ekspor sudah sekitar 65% dari total penjualan. Ekspor terutama berupa ban mobil.

Dalam catatan KONTAN, Direksi MASA membidik pertumbuhan penjualan ban motor sebesar 20% dan ban mobil 5%-10% pada tahun ini. Demi menggapai target itu, MASA berencana ekspansi dengan menambah sekitar 50 hingga 100 jaringan toko. Wilayah yang dibidik  antara lain Makassar, Palembang, Medan, serta kota besar di Jawa.

Kebutuhan ban di Indonesia punya peluang berkembang signifikan. Apalagi seiring perluasan infrastruktur jalan. Khusus penjualan ban mobil pada  tahun ini, MASA akan diuntungkan dengan peluncuran model baru, seperti New Avanza. Tak heran, Chris memperkirakan, kinerja MASA bakal berlanjut positif tahun ini . “Pertumbuhan laba bakal di kisaran 10%-15%,” estimasi dia.

Per triwulan ketiga 2018, emiten ini berhasil keluar dari jeratan rugi. MASA sukses mencetak laba bersih sebesar US$ 564.671. Padahal, pada triwulan ketiga 2017, perusahaan ini masih menderita kerugian sebesar US$ 5,06 juta.

Dengan potensi mempertahankan kinerja positif, Chris menargetkan saham MASA pada tahun ini akan berada di kisaran Rp 800-Rp 900 per saham. Sedangkan, Nafan mematok target harga MASA di level Rp 890 per saham.

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Valuasi IPO CBDK Dinilai Menarik, Begini Analisisnya
| Senin, 23 Desember 2024 | 15:51 WIB

Valuasi IPO CBDK Dinilai Menarik, Begini Analisisnya

CBDK meminta harga IPO 19x-26x P/E sepanjang tahun 2025, lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis di sektornya yang hanya 6x-9x P/E.

Mediasi Diperpanjang, Gugatan 40 Nasabah Mirae Senilai Rp 8,17 Triliun Masih Bergulir
| Senin, 23 Desember 2024 | 14:21 WIB

Mediasi Diperpanjang, Gugatan 40 Nasabah Mirae Senilai Rp 8,17 Triliun Masih Bergulir

Mirae Asset minta waktu hingga 16 Januari 2025 untuk memberikan tanggapan karena proposal penggugat harus dirapatkan melibatkan seluruh direksi.

Pilihan Saham Big Caps Menarik Untuk Investasi Jangka Panjang
| Senin, 23 Desember 2024 | 13:58 WIB

Pilihan Saham Big Caps Menarik Untuk Investasi Jangka Panjang

Saham-saham dengan kapitalisasi pasar atau market capitalization (market cap) besar tak melulu jadi pilihan tepat untuk investasi jangka panjang.

Harga Saham Provident (PALM) Menguat, Aksi Borong Dua Pemegang Picu Lonjakan Harga
| Senin, 23 Desember 2024 | 09:00 WIB

Harga Saham Provident (PALM) Menguat, Aksi Borong Dua Pemegang Picu Lonjakan Harga

PALM mencetak laba bersih Rp 464,63 miliar di Januari-September 2024, dibandingkan periode sebelumnya rugi bersih sebesar Rp 1,94 triliun.

Sektor Bisnis yang Mendorong Perekonomian Domestik
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:52 WIB

Sektor Bisnis yang Mendorong Perekonomian Domestik

Sejumlah sektor usaha dinilai masih prospektif dan berpotensi sebagai motor penggerak ekonomi Indonesia ke depan, setidaknya dalam jangka menengah

Modal Cekak Pemerintah Mengerek Pertumbuhan Ekonomi 2025
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:47 WIB

Modal Cekak Pemerintah Mengerek Pertumbuhan Ekonomi 2025

Tantangan pemerintah Indonesia untuk memacu perekonomian semakin berat pada tahun depan, termasuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%

Insentif Pajak Mobil Hybrid Dorong Sektor Otomotif, Saham ASII Jadi Unggulan
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:36 WIB

Insentif Pajak Mobil Hybrid Dorong Sektor Otomotif, Saham ASII Jadi Unggulan

Bila mendapatkan insentif pajak, maka PPnBM untuk kendaraan hybrid akan dibanderol sebesar 3% hingga 4%.

Rekomendasi Saham Emiten Barang Konsumsi yang Masih Dibayangi Tekanan Daya Beli
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:35 WIB

Rekomendasi Saham Emiten Barang Konsumsi yang Masih Dibayangi Tekanan Daya Beli

Miten yang bergerak di bisnis barang konsumsi dibayangi sentimen kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

Peluang Tipis IHSG Menguat di Pengujung Tahun
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:25 WIB

Peluang Tipis IHSG Menguat di Pengujung Tahun

Sudah tidak banyak lagi ruang bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) untuk menguat di sisa tahun ini. 

Pemerintah Tebar Insentif Kepabeanan Rp 33 Triliun
| Senin, 23 Desember 2024 | 08:15 WIB

Pemerintah Tebar Insentif Kepabeanan Rp 33 Triliun

Insentif yang dimaksud, antara lain berupa insentif kawasan berikat, penanaman modal, serta kebutuhan pertahanan dan keamanan.

INDEKS BERITA

Terpopuler