TJN Menuding BAT Rancang Skema untuk Penghindaran Pajak di Indonesia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Raksasa rokok dunia, British American Tobacco (BAT), diduga melakukan penghindaran pajak di Indonesia melalui PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA). Praktik penghindaran pajak yang dilakukan BAT ditenggarai mengakibatkan Indonesia menanggung rugi hingga US$ 13,7 juta per tahun.
Dugaan itu merupakan hasil penelusuran Tax Justice Network (TJN). TJN adalah lembaga independen berjaringan internasional berkantor pusat di London, Inggris, yang fokus melakukan penelitian dan kajian terkait kebijakan serta pelaksanaan perpajakan.
Menurut TJN, BAT telah mengalihkan sebagian pendapatannya keluar dari Indonesia melalui dua cara agar terhindar dari kewajiban perpajakan. Pertama melalui pinjaman intra-perusahaan tahun 2013-2015. Pada tahun itu, Bentoel banyak mengambil pinjaman dari perusahaan terafiliasi di Belanda yaitu Rothmans Far East BV. Pembayaran bunga atas pinjaman dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak.
Fasilitas pinjaman yang diberikan adalah sebesar Rp 5,3 triliun setara US$ 434 juta pada Agustus 2013 dan Rp 6,7 triliun setara US$ 549 juta pada 2015. Rekening perusahaan Belanda ini menunjukkan bahwa dana yang dipinjamkan kepada Bentoel berasal dari perusahaan grup BAT lainnya yaitu Pathway 4 (Jersey) Limited yang berpusat di Inggris.
Bentoel harus membayar bunga pinjaman Rp 2,25 triliun setara US$ 164 juta. Bunga ini akan dikurangkan dari penghasilan kena pajak di Indonesia.
Bentoel sengaja memilih pinjaman melalui perusahaan di Belanda. Pasalnya, Indonesia dan Belanda memiliki perjanjian pajak yang membebaskan pajak terkait pembayaran bunga utang. Dari strategi ini maka Indonesia kehilangan pendapatan bagi negara sebesar US$ 11 juta per tahun.
Kedua melalui pembayaran kembali ke Inggris untuk royalti, ongkos dan layanan. Bentoel melakukan pembayaran untuk royalti, ongkos dan biaya IT dengan total US$ 19,7 juta per tahun. Biaya itu untuk membayar royalti ke BAT Holdings Ltd untuk penggunaan merek Dunhill dan Lucky Strike sebesar US$ 10,1 juta, membayar ongkos teknis dan konsultasi kepada BAT Investment Ltd sebesar US$ 5,3 juta, dan membayar biaya IT British American Shared Services (GSD) limited sebesar US$ 4,3 juta.
Laporan itu menyebut, dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas ini secara signifikan memperburuk kerugian Bentoel di Indonesia. Biaya gabungan dari pembayaran ini setara dengan 80% dari kerugian perusahaan sebelum pajak pada tahun 2016.
Hitung punya hitung, pendapatan yang hilang dari Indonesia mencapai US$ 2,7 juta per tahun karena pembayaran royalti, ongkos dan biaya IT BAT kepada perusahaan-perusahaannya di Inggris. Adapun dengan perincian pajak royalti sebesar US$ 1 juta per tahun, pajak perusahaan US$ 1,3 juta per tahun dan pajak biaya IT sebesar US$ 0,4 juta per tahun.
Hendro Martowardojo, Presiden Komisaris Independen RMBA membantah isi laporan tersebut. "Itu tidak benar. Selanjutnya silakan konfirmasi ke direksi kami," ujar Hendro kepada KONTAN, Rabu kemarin.
Mercy Francisca Hutahaean, Direktur Legal dan Eksternal Affairs RMBA juga membantah laporan TJN. "Sebagai perusahaan terbuka, transaksi yang disebutkan dalam berita tersebut telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia," imbuh Mercy.
Menanggapi laporan tersebut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Yoga Hestu Saksama mengatakan pihaknya masih akan mempelajari laporan TJN tersebut. Namun, ia masih enggan memberi penjelasan mengenai langkah apa yang akan dilakukan kantor pajak. "Kami pelajari dulu laporan tersebut ya," jelas Hestu.
Otoritas bursa sudah menaruh curiga atas kinerja perusahaan rokok ini. Setelah mendapat laporan keuangan atas kinerja RMBA tahun 2018, Bursa Efek Indonesia (BEI) meminta penjelasan atas buruknya kinerja perusahaan rokok tersebut.
Pada 2018, RMBA merugi sebesar Rp 608,46 miliar. Kerugian ini membesar 26,74% dibanding 2017 yang mencapai Rp 480,06 miliar. Padahal, pendapatan atas penjualan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Direktur BEI I Gede Nyoman Yetna menyatakan permintaan penjelasan tersebut juga mencakup cara perusahaan mengatribusikan pendapatan dan laba untuk dividen, serta rencana bisnis ke depan.
Selanjutnya, apabila tanggapan dari pemintaan penjelasan tersebut masih membutuhkan pendalaman, BEI akan memanggil direksi perusahaan tersebut untuk hearing. Namun belum jelas, jadwal kegiatan tersebut.