KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski baru seumur jagung melantai di bursa efek, PT Transcoal Pacific Tbk (TCPI) lekas membetot perhatian publik. Penyebabnya lantaran harga saham Transcoal melonjak ribuan persen hanya dalam tempo beberapa bulan sejak melaksanakan initial public offering (IPO) 4 Juli 2018 silam.
Tren lonjakan harga saham Transcoal, memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) harus mensuspensi atawa memberhentikan sementara perdagangan saham emiten jasa pelayaran ini sebanyak tiga kali. Kali pertama, BEI mensuspensi saham TCPI pada 24 Juli 2018 selama satu hari perdagangan karena akumulasi kenaikan signifikan harga saham Transcoal sejak IPO di harga Rp 138 per saham.
Berlanjut pada 7 Agustus 2018, untuk kedua kalinya BEI mensuspensi saham Transcoal dengan alasan yang sama. Kali ini, suspensi berlangsung selama dua pekan dan baru dibebaskan pada 23 Agustus 2018.
Adapun suspensi yang ketiga terjadi pada 14 November 2018. Kali ini, suspensi berlangsung selama kurun waktu kurang dari empat bulan. Saat suspensi ketiga dijatuhkan, harga saham Transcoal bertengger di level Rp 8.925 per saham, atau melesat 6.367,39% jika dibandingkan dengan harga IPO, empat bulan sebelumnya.
Sejak lepas dari suspensi ketiga, tepatnya pada 8 Maret 2019, berangsur-angsur harga saham Transcoal turun. Hingga penutupan perdagangan Rabu (20/3), harga saham Transcoal berada di level Rp 4.550 per saham atau turun 49,02% dari level harga saat suspensi ketiga dijatuhkan.
Manajemen Transcoal lewat penjelasan resmi saat suspensi kedua dijatuhkan menyatakan, tidak terdapat hal-hal yang material. Dirc Richard Talumewo, Direktur Utama PT Transcoal Pacific Tbk kepada BEI pada 7 Agustus 2018 menjelaskan, pihaknya tidak mengetahui informasi atau fakta material yang dapat mempengaruhi nilai efek perusahaan. Dia juga bilang, tidak memiliki rencana aksi korporasi dalam waktu dekat.
Meski pada kesempatan itu, Richard menegaskan ada kenaikan pendapatan atas laporan keuangan periode 30 Juni 2018 Transcoal. Penyebab kenaikan tersebut adalah perolehan proyek baru tahun 2018 yang tumbuh 25%. Selain itu, pendapatan Transcoal juga meningkat karena kenaikan harga komoditas dan volume dari project existing.
Berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2018, pendapatan Transcoal melonjak 46,38% menjadi Rp 656,89 miliar, dibandingkan periode sama tahun 2017 yang sebesar Rp 448,76 miliar. Hal ini berdampak pada laba bersih Transcoal yang meningkat 28,35% menjadi Rp 82,49 miliar dari sebelumnya Rp 64,27 miliar.
Bahan bakar lonjakan harga saham Transcoal, belakangan mulai terkuak. Hal ini terkait rencana akuisisi perusahaan terafiliasi yang akan mendatangkan keuntungan berlipat.
Potensi lonjakan pendapatan ratusan persen
Pengumuman penting Transcoal muncul pada 16 Agustus 2018. Saat itu, Transcoal mengumumkan rencana pengembangan usahanya, baik secara organik maupun anorganik.
Richard menjelaskan, pengembangan usaha secara organik akan dilakukan melalui penjajakan perolehan kontrak pengangkutan barang tambang lain selain dari batubara di wilayah Indonesia Timur. Adapun untuk pengembangan usaha secara anorganik, Transcoal akan mengakuisisi sister company-nya yang memiliki kontrak jangka panjang serta jumlah armada yang memadai. Salah satu keuntungan dari akuisisi itu menyebabkan Transcoal dapat mengurangi jumlah armada yang disewanya.
Rencana anorganik Transcoal tersebut belakangan kian benderang. Pada 19 September 2019, Transcoal mengumumkan rencana akuisisi PT Kanz Gemilang Utama (KGU) lewat pembelian saham baru yang akan diterbitkan KGU. Lewat aksi ini, kelak Transcoal akan menjadi pemegang 99% saham KGU. Adapun KGU merupakan pemegang saham utama PT Energy Transporter Indonesia (ETI) dan PT Sentra Makmur Lines (SML).
Sebagai catatan, Transcoal masih terafiliasi dengan KGU. Pemegang saham Transcoal, yakni PT Karya Permata Insani (KPI), merupakan pemegang 98% saham KGU. Adapun 2% saham KGU lainnya, dipegang oleh Abdullah Popo Parulian yang merupakan ultimate shareholder saham Transcoal Pacific.
Perlu diketahui, pemegang terbesar saham Transcoal adalah PT Sari Nusantara Gemilang (SNG) dengan kepemilikan sebanyak 56%. Disusul KPI yang mengempit 24% saham Transcoal. Berdasarkan prospektus IPO Transcoal, KPI merupakan pemegang 90% saham SNG. Sedangkan Abdullah Popo memiliki 10% saham SNG.
Selain itu, Abdullah Popo juga merupakan pemilik 85% saham KPI. Istri Abdullah Popo, yakni Aliyah Sianne Salim yang juga menjabat komisaris Transcoal, memegang 10% saham KPI. Sedangkan sisa 5% saham KPI, dipegang oleh Ayu Astrid Maylinda.
Nah, efek dari rencana akuisisi KGU ternyata sangat besar bagi Transcoal. Lewat keterangan tertulisnya, manajemen Transcoal menyebutkan bahwa volume pekerjaan perusahaannya untuk pengangkutan batubara mencapai 42 juta metrik ton (MT) per tahun.
Volume pekerjaan sebanyak 42 juta MT tersebut setidaknya terbagi menjadi tiga pekerjaan. Pekerjaan pertama yakni transshipment sebesar 24 juta MT per tahun dengan nilai kontrak sampai dengan tahun 2021 senilai Rp 3 triliun. Kedua, pekerjaan long hauling sebanyak 18 juta MT per tahun dengan nilai kontrak sampai dengan tahun 2027 sebesar Rp 13,3 triliun. Adapun yang ketiga adalah pengangkutan bijih nikel sebesar 1,1 juta MT per tahun dengan nilai kontrak sampai dengan tahun 2023 sejumlah Rp 570 miliar.
Manajemen Transcoal berasumsi, berdasarkan kontrak-kontrak tersebut yang akan didapat dari hasil akuisisi KGU, maka pendapatan Transcoal diharapkan akan meningkat secara signifikan mencapai kurang lebih Rp 3 triliun per tahun. Sebagai perbandingan, pada semester pertama 2018, pendapatan Transcoal masih sejumlah Rp 656,89 miliar.
Pertanyaan otoritas bursa
Detail nilai akuisisi KGU diungkapkan Transcoal pada 29 Oktober 2018. Lewat keterbukaan informasinya, Transcoal menyebutkan KGU akan menerbitkan 1.777.500.000 saham seharga Rp 350 per saham. Alhasil, Transcoal harus merogoh kocek sebesar Rp 240 miliar. Jumlah itu setara 41,9% dari nilai ekuitas Transcoal yang sebesar Rp 572,78 miliar.
Pasca akuisisi tersebut, Transcoal akan mendekap 99,92% saham KGU. Sementara kepemilikan saham KGU oleh KPI dan Abdullah Popo, masing-masing akan terdilusi menjadi 0,07% dan 0,01%.
Transcoal menambahkan, pembayaran transaksi pembelian KGU dilaksanakan secara bertahap setelah ditandatanganinya memorandum of understanding (MoU) antar para pihak pada 18 September 2018. Selanjutnya, proses pembayaran harus sudah lunas sebelum KGU melaksanakan rapat umum pemegang saham (RUPS).
Transcoal menyebut anggaran akuisisi KGU bersumber dari dana kas. Dalam laporan keuangan 30 September 2019, Transcoal telah mengeluarkan dana senilai Rp 240 miliar yang dicatatkan sebagai uang muka akuisisi saham (KGU).
Hal tersebut lantas menjadi pertanyaan otoritas bursa yang menduga, aksi pembelian KGU didanai oleh dana hasil penawaran umum Transcoal. Sebab menurut BEI, tanpa memakai dana IPO, Transcoal tidak bisa mendanai akuisisi tersebut. Sementara, Transcoal tidak pernah melaporkan adanya rencana perubahan penggunaan dana IPO.
Lewat jawaban tertulis pada 18 Desember 2018, Richard menyatakan bahwa dana bersumber dari kas internal, terutama berasal dari penerimaan pembayaran pelanggan. Lalu berikutnya, pendanaan juga berasal dari reinburse/refinancing fasilitas pinjaman bank yang diterima Transcoal pada Desember 2017 yang baru dicairkan direalisasikan pada tahun 2018.
Richard menegaskan bahwa Transcoal tidak menggunakan dana hasil IPO untuk menyelesaikan transaksi akuisisi KGU. Saat dihubungi KONTAN 14 Maret 2019 lalu, Richard tetap kukuh menyatakan tidak menggunakan dana IPO bagi akuisisi KGU.
Pasca akuisisi saham KGU, Transcoal kembali melancarkan aksi. Kali ini, perusahaan itu membeli Mother Vessel seharga US$ 13,2 juta. Penjualnya adalah sebuah perusahaan yang berkantor di Hongkong.
Transcoal melalui penjelasan pada 13 Februari 2019 menyatakan, pembelian tersebut didanai dari pinjaman perbankan. Adapun Mother Vessel yang dibeli dijadikan sebagai jaminan pinjaman.
Ke depan, entah aksi korporasi apalagi yang akan dilakukan Transcoal. Sedikit gambaran mengenai sang pemilik, yakni Abdullah Popo. Pria tersebut merupakan mantan komisaris PT Kaltim Prima Coal (KPC), anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Dia juga mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Kalimantan Timur.
Transcoal saat ini berkantor di Gedung Bakrie Tower Lantai 9, Kompleks Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan.