KONTAN.CO.ID - Kita sering mendengar atau membaca nasihat tentang investasi saham yang sebaiknya dilakukan untuk periode jangka panjang. Memang tidak ada batasan baku berapa lama jangka panjang yang dimaksud.
Beberapa buku mengatakan periode lebih dari 10 tahun sebagai jangka panjang. Namun ada juga yang menulis lima tahun sebagai jangka panjang.
Tapi untuk Indonesia, bolehlah kita anggap lebih dari tiga tahun sudah bisa disebut jangka panjang. Ini mengingat karakteristik investor Indonesia yang mayoritas berorientasi jangka pendek-menengah.
Lantas, apakah adagium investasi saham akan lebih baik dalam jangka panjang itu benar adanya? Kenyataannya ternyata bisa berbeda dengan teori. Banyak pelaku pasar yang sebenarnya menjadi investor karena terpaksa, akibat harga sahamnya anjlok.
Penulis tergerak untuk menyelidiki saham-saham apa yang dipegang jangka panjang, namun masih membukukan rugi. Dan apakah ada sedikit alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi, terutama terkait valuasi sahamnya? Kongkretnya apakah saham yang masih rugi tersebut valuasinya memang mahal atau sudah murah, ditinjau dengan metode price earning ratio (PER) dan price book value (PBV)?
Untuk membatasi pengamatan, maka penulis memilih indeks KOMPAS100 sebagai investment universe. Data yang digunakan adalah data per tanggal 14 Juni 2022 saat artikel ini dibuat. Pengamatan dilakukan berdasarkan harga saham per 14 Juni 2022, dibandingkan dengan harga 5 tahun ke belakang, 3 tahun ke belakang dan 1 tahun yang lalu.
Baca Juga: Saham-Saham High Dividend 20 Berpotensi Bagikan Dividen Lebih Besar Tahun Depan
Kongkretnya penulis ingin mengetahui saham-saham di indeks KOMPAS100 yang konsisten kinerjanya minus selama 5 tahun dan 3 tahun serta 1 tahun terakhir? Dengan demikian, investor yang memegang saham paling lama lima tahun pun masih belum balik modal, demikian juga bila investor beli tiga tahun lalu atau satu tahun lalu, tetap belum balik modal.
Ingat, penulis hanya menyajikan data yang konsisten rugi, jadi apabila ada return dari lima, tiga dan satu tahun terakhir, yang salah satu saja positif maka tidak dimasukkan ke tabel. Sedangkan dividen tidak dihitung, mengingat yield dividen biasanya relatif kecil, maksimal sekitar 3%. Itupun biasanya berlaku untuk saham-saham yang berkinerja baik. Selain itu biaya transaksi pembelian saham juga diabaikan.
Lalu bagaimana bila ada saham yang menjadi penghuni indeks KOMPAS100 saat ini tapi lima, tiga dan satu tahun lalu belum masuk indeks tersebut? Terpaksa penulis mencari data beberapa saham tersebut secara manual. Data yang terkumpul disajikan pada tabel di bawah, disertai PER dan PBV yang diambil dari sumber www.infovesta.com. Data disajikan berdasar urutan return terkecil untuk kategori investasi lima tahun terakhir.
Saham |
5 Tahun |
3 Tahun |
1 Tahun |
PER |
PBV |
---|---|---|---|---|---|
SMBR |
-82,55% |
-52,23% |
-27,65% |
112,63 |
1,41 |
LPKR |
-82,29% |
-62,34% |
-41,12% |
-3,39 |
0,37 |
WSKT |
-78,09% |
-73,18% |
-51,42% |
-7,89 |
0,93 |
HMSP |
-72,54% |
-68,26% |
-10,17% |
19,07 |
3,96 |
PTPP |
-71,54% |
-56,70% |
-16,97% |
21,93 |
0,39 |
ADHI |
-68,44% |
-55,63% |
-27,92% |
44,26 |
0,42 |
SCMA |
-65,23% |
-44,25% |
-39,38% |
11,03 |
1,85 |
GGRM |
-60,89% |
-60,13% |
-8,85% |
12,05 |
0,98 |
WIKA |
-59,51% |
-61,23% |
-29,07% |
69,75 |
0,47 |
BMTR |
-55,20% |
-41,67% |
-5,41% |
3,02 |
0,19 |
SMRA |
-53,85% |
-50,00% |
-28,99% |
21,47 |
0,87 |
RALS |
-51,76% |
-58,59% |
-8,89% |
15,25 |
1,21 |
KAEF |
-51,55% |
-58,68% |
-45,33% |
26,84 |
1,08 |
UNVR |
-51,13% |
-47,10% |
-9,71% |
29,74 |
28,33 |
BSDE |
-50,82% |
-34,89% |
-12,98% |
17,29 |
0,53 |
MNCN |
-50,26% |
-26,92% |
-5,94% |
5,50 |
0,79 |
INTP |
-49,17% |
-55,00% |
-18,90% |
20,97 |
1,65 |
ASRI |
-47,84% |
-48,79% |
-14,65% |
5,59 |
0,34 |
BBTN |
-44,81% |
-43,77% |
-5,10% |
6,19 |
0,73 |
SSIA |
-42,19% |
-50,00% |
-19,57% |
-8,79 |
0,44 |
SMGR |
-30,71% |
-40,39% |
-32,92% |
19,56 |
1,03 |
EXCL |
-28,45% |
-14,69% |
-1,61% |
23,65 |
1,29 |
DMAS |
-22,94% |
-37,78% |
-22,94% |
9,72 |
1,41 |
MYOR |
-21,40% |
-32,40% |
-33,46% |
56,42 |
3,24 |
CTRA |
-19,40% |
-10,95% |
-5,56% |
9,07 |
0,87 |
ACES |
-15,71% |
-50,83% |
-36,56% |
21,80 |
2,68 |
MEDC |
-5,97% |
-17,65% |
-16,00% |
71,23 |
0,90 |
JPFA |
-0,36% |
-9,39% |
-32,37% |
9,29 |
1,20 |
Baca Juga: Menimbang Bobot Emiten Big Caps
Ada 28 saham dari 100 saham yang konsisten rugi selama periode pengamatan, dengan 16 saham merugi lebih dari 50% selama lima tahun dipegang. Kerugian terbesar berturut-turut dialami Semen Baturaja, Lippo Karawaci dan Waskita Karya, yang ketiganya terkait sektor infrastruktur atau penunjangnya.
Bila dikaitkan dengan valuasi secara PER dan PBV, tampak bahwa mayoritas emiten memang memiliki PER dan PBV relatif tinggi atau negatif. SMBR memiliki PER 112,63 kali akibat anjloknya laba per saham lebih dari 50% secara kuartalan. Adapun LPKR dan WSKT malah memiliki PER negatif, walaupun secara PBV tampak murah. Emiten lainnya silakan amati sendiri.
Dengan penurunan harga saham yang tajam untuk periode pengamatan tersebut, bukankah mengindikasikan bahwa harga sudah murah? Memang asumsi tersebut betul. Namun bila fundamental emiten kurang bagus, dikhawatirkan penurunan masih berlanjut atau harga stagnan untuk jangka waktu panjang.
Pertanyaan selanjutnya, apakah ada saham berfundamental bagus yang murah di tabel tersebut dan bisa dijadikan rekomendasi? Setidaknya ada empat saham yang relatif sangat murah dari sisi PER dan PBV, yaitu BMTR dengan PER 3,02 kali dan PBV 0,19 kali, MNCN dengan PER 5,50 kali dan PBV 0,79 kali, ASRI dengan PER 5,59 kali dan PBV 0,34 kali, serta BBTN dengan PER 6,19 kali dan PBV 0,73 kali. Di lapisan berikutnya ada saham yang sedikit lebih “mahal”, yaitu DMAS dengan PER 9,72 kali dan PBV 1,41 kali, disusul CTRA dengan PER 9,07 kali dan PBV 0,87 kali, plus JPFA dengan PER 9,29 kali dan PBV 1,20 kali.
Bagi investor yang bertipe kontrarian namun tetap melihat valuasi murah, bisa melirik saham-saham tersebut. Namun tetap perlu menyelidiki prospek ke depan beserta risiko yang mungkin timbul, dengan mempertimbangkan keadaan makro serta mikro perusahaan.
Namun bukan berarti tidak ada harapan bagi saham-saham lain di tabel. Apabila sektor infrastruktur bergeliat lagi, fundamental emiten akan membaik dan tercermin pula di kinerja sahamnya yang membaik.