KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi Indonesia kuartal III-2025 tumbuh 5,04%. Angka ini, di atas capaian 2024, menjadi sinyal mesin ekonomi nasional masih berdenyut stabil di tengah ketidakpastian global. Namun pertanyaan mendasarnya tetap sama: Apa arti pertumbuhan ini bagi rakyat?
Pertumbuhan yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) ini bukan sekadar statistik. Di balik angka itu, ada 146,54 juta penduduk Indonesia yang bekerja—bertambah 1,9 juta orang dibandingkan dengan 2024 lalu. Pengangguran terbuka turun menjadi 4,85%. Ini kabar baik, menandakan pertumbuhan masih bisa menyerap tenaga kerja baru.
Namun, seperti sering terjadi, di balik sinar ada bayangannya. Lebih dari seperempat pekerja di Indonesia masih bekerja paruh waktu. Sementara 28% dari seluruh pekerja menggantungkan hidup di sektor pertanian—sektor dengan produktivitas rendah dan rentan cuaca. Proporsi pekerja formal hanya sekitar 42%. Artinya, sebagian besar rakyat Indonesia bekerja, tetapi belum sepenuhnya hidup sejahtera.
Sektor-sektor penggerak ekonomi juga menunjukkan wajah ganda. Manufaktur dan perdagangan tumbuh, menandakan geliat konsumsi dan ekspor. Tetapi pertambangan, salah satu penyumbang devisa terbesar, justru berkontraksi hampir 2%. Penurunan produksi emas dan tembaga di Papua serta Kalimantan menekan kinerja daerah kaya sumber daya. Di sisi lain, ekspor nonmigas seperti baja, otomotif, dan produk kimia memberi harapan baru bagi industri pengolahan.
Maknanya jelas: pertumbuhan 5,04% bagus, tetapi kualitasnya belum menyentuh esensi pemerataan. Angka positif, tetapi belum sepenuhnya memperbaiki taraf hidup. Pertumbuhan masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan ekspor komoditas padat modal, bukan pada produktivitas dan inovasi yang menciptakan pekerjaan layak.
Karena itu, pekerjaan besar pemerintah ke depan adalah memastikan pertumbuhan ini lebih inklusif. Pertama, mempercepat transformasi tenaga kerja dari sektor primer ke industri dan jasa bernilai tambah melalui pendidikan vokasi, pelatihan, dan sertifikasi keterampilan.
Kedua, memperluas formalisasi tenaga kerja—memberi insentif bagi industri dan UMKM yang menciptakan pekerjaan penuh waktu dengan penghasilan layak. Ketiga, memperkuat ekonomi daerah non-tambang dengan diversifikasi investasi: agroindustri, pariwisata berkelanjutan, dan logistik modern.
Angka 5,04% itu patut disyukuri. Tapi belum terasa nyata di rakyat.
