Berita Opini

Belajar dari Sebuah Cerita

Oleh Hans Kwee - Dosen FEB Trisakti dan MET Atmajaya Jakarta
Senin, 30 Agustus 2021 | 07:25 WIB
Belajar dari Sebuah Cerita

Reporter: Harian Kontan | Editor: Harris Hadinata

KONTAN.CO.ID - Ada cerita pendek di Tik Tok yang menurut saya sangat bagus. Ceritanya, ada dua orang (diperankan orang yang sama) sedang bertelepon. Sebut saja namanya si baju merah dan si baju biru, yang merupakan pemilik perusahaan. Mereka ngobrol soal rumor emiten si baju biru yang akan go digital.

Si baju biru membenarkan rumor tersebut. Baju biru lantas bertanya, apa baju merah bisa membantu mendapatkan uang dari sahamnya di bursa? Baju merah lantas mengatakan bisa membantu, tapi minta informasi ini dirahasiakan dulu. Dia berniat akumulasi seluruh sahamnya mumpung harga masih murah.

Dengan dana Rp 10 miliar, si baju merah mampu membeli mayoritas saham beredar emiten tersebut di pasar karena harga pasarnya cuma Rp 100 per saham. Rencananya, harga saham tersebut akan digoreng ke atas. Baju merah meminta baju biru membantu menyebarkan rumor di komunitas saham bahwa emiten yang akan go digital itu harganya bakal ke Rp 3.000. Si baju merah akan pelan-pelan menaikkan harga sahamnya ke Rp 500. Si baju merah terang-terangan bilang, investor pemula akan terbujuk karena mereka tidak peduli fundamental, yang penting cuan.

Rencananya, si baju merah akan menjual sebagian kecil saham di Rp 500. Saat perusahaan mengumumkan rencana go digital, harga saham akan dikerek lagi dan sisa saham akan dilepas di harga Rp 1.000.

Baca Juga: Patrick Walujo Pemilik Northstar Bicara Investasinya di Gojek, ESSA & Alfamart (AMRT)

Baju biru bertanya apakah hal tersebut mungkin terjadi? Si baju merah menjawab sangat mungkin karena jumlah investor Indonesia yang suka gorengan sangat banyak. Baju biru bertanya lagi, apa tidak kasihan ke investor ritel pemula? Si baju merah menjawab santai, investor ritel pemula jadi bisa belajar saham gorengan berbahaya.

Video Tiktok tersebut sangat edukatif bagi investor ritel pemula. Kebangkitan investor ritel Indonesia ketika terjadi pandemi Covid-19 tentu sangat membanggakan. Tapi berbagi informasi dan edukasi tentang risiko berinvestasi kepada investor ritel pemula perlu digalakkan, terutama soal menghadapi saham-saham yang tidak jelas fundamentalnya dan likuiditas rendah.

Belakangan ini euforia saham teknologi dan bank digital sedang sangat tinggi. Ada saham teknologi yang naik dari Rp 700 ke Rp 2.200, bahkan dari Rp 525 ke Rp 60.300. Harga naik ribuan persen. Tapi kalau melihat fundamentalnya, khususnya rasio keuangan, maka ditemukan price earning ratio (PER) yang negatif karena perusahaan masih rugi.

Beberapa perusahaan teknologi yang PER-nya tidak negatif, angkanya sudah ratusan bahkan ribuan kali. Artinya harga yang dibayarkan untuk earning yang didapatkan sudah mahal sekali.

Baca Juga: Proteksi Data Pribadi Anda Sedari Dini

Rasio lain seperti price book value (PBV) juga mirip. Beberapa saham teknologi PBV-nya sudah ratusan kali. Artinya harga yang dibayarkan terlalu mahal jika dibandingkan ekuitas yang investor dapatkan.

Bahkan bila melihat price to sales ratio, beberapa saham teknologi yang mengalami kenaikan harga tinggo tersebut diperdagangkan pada level puluhan sampai ratusan kali. Rasio ini membandingkan harga saham terhadap penjualan per saham. Memang saham teknologi sedang mendapatkan sentimen positif, karena dianggap mendulang untung selama periode pandemi. Tetapi investor ritel tentu perlu lebih rasional dalam memilih saham teknologi tersebut.

Ada lagi cerita bank digital yang kenaikannya tidak kalah dashyat. Ada saham bank yang berencana menjadi bank digital harganya naik dari Rp 125 ke Rp 2.260, dari Rp 90 ke Rp 3.900, ada juga yang dari level Rp 730 ke Rp 15.000. Luar biasa bukan?

Kembali kalau melihat data fundamentalnya, khususnya rasio pasar, kembali ditemukan angka-angka yang tidak mendukung. Ada yang PER-nya masih negatif, artinya perusahaan masih rugi. Ada juga yang PER 500 kali bahkan 7.000 kali. Artinya harga yang dibayarkan terlalu mahal. Emiten dengan PER 500 kali artinya, dengan asumsi perusahaan tidak mencetak pertumbuhan, investor butuh 500 tahun untuk mencapai BEP.

Bila melihat price to sales ratio angkanya tidak jauh beda, ada yang 23 kali sampai 1.200 kali. Artinya investor sudah membayar terlalu mahal untuk apa yang didapat.

Bila melihat PBV sebagai acuan utama melakukan valuasi saham industri keuangan, kembali angka mencengangkan yang ditemukan. Ada yang PBV-nya sampai 37 kali. Jauh sekali bila dibandingkan saham BTPN yang merupakan salah satu pelopor bank digital di Indonesia yang punya PBV 0,65 kali, PER 5,84 kali dan PSR 1,50 kali. Buat perbandingan, BBCA sebagai market leader industri perbankan punya PBV 3,99 kali, PER 26,11 kali dan PSR 11,13 kali.

Baca Juga: Jurus Bank Melindungi Data Pribadi agar Nasabah Tidak Merugi

Investor ritel harus lebih rasional dan belajar seperti cerita di awal. Jangan mudah ikut-ikut membeli sebuah saham karena ada tokoh figur yang mempromosikan saham tersebut. Jangan-jangan sebagian cerita perusahaan teknologi dan bank digital sama dengan saham emiten yang mau go digital di atas.

Jangan membeli karena ikut-ikutan publik figur, tokoh komunitas atau termakan rumor tidak bertanggungjawab. Jangan-jangan harga yang dibayarkan sudah terlalu mahal dan perusahaan tersebut tidak punya prospek di masa akan datang.

Memang tidak semua saham bank digital dan teknologi tersebut jelek dan tidak ada prospek. Tetapi kemungkinan besar hanya ada tiga sampai lima bank digital yang mampu bertahan dan menjadi besar. Kalau itu yang terjadi dan investor ritel salah membeli bank digital, maka siap-siap kehilangan sebagian atau seluruh uang.

Otoritas pasar modal dan perusahaan sekuritas kini sering membuat acara untuk mengedukasi investor ritel. Ini bisa jadi kesempatan belajar bagi investor ritel. Tetapi kembali lagi keputusan jual dan beli adalah hak dan tanggung jawab setiap investor. Sebaiknya pelajari apa yang dibeli dan prospek perusahaan tersebut di masa depan. Jangan hanya tergiur keuntungan yang tinggi, padahal terdapat potensi risiko yang sangat besar ketika membeli perusahaan yang berfundamental jelek dan tidak likuid.

Selanjutnya: Holding BUMN Pariwisata Hadir Saat PPKM Dikendorkan, Akan Ambil Peran Swasta

 

Terbaru