China Merevisi Inisiatif "Made in China 2025", Bisa Redakan Perang Dagang?
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China makin melebar hingga ke persoalan teknologi. AS tak hanya menuntut China mengentikan praktik transfer teknologi dari mitra usaha patungan asing kepada kolaborator China, tapi juga ingin meneliti karya para peneliti China yang berbasis di AS.
Saat ini, China tengah mengusung program modernisasi industri bernama “Made in China 2025”. Bagi sebagian orang, mungkin program ini hanya salah satu perdebatan dalam rangka perang dagang AS-China. Padahal, program ini merupakan katalisator dan menjadi penentu nasib nasional China.
Program “Made in China 2025”, jadi kunci utama tujuan China untuk menjadi pemain dominan dalam 10 industri strategis global. Langkah China ini menjadi sorotan Presiden AS Donald Trump, dan menandainya sebagai salah satu ancaman bagi AS. Trump menuding pertumbuhan ekonomi dan contoh praktik perdagangan China tak adil.
“China dengan berani merilis rencana China 2025 yang ingin mengatakan kepada seluruh dunia: kita akan mendominasi setiap industri yang muncul di masa depan, karena itu ekonomi Anda tidak akan memiliki masa depan,” ujar Peter Navarro, Penasihat perdagangan Gedung Putih AS seperti dikutip dari Bloomberg oleh South Morning China Post, Jumat (18/1).
Sementara, China menyangkalnya. Pemerintah China menyebut rencana aksi ini merupakan kebutuhan untuk meningkatkan nilai tambah dalam manufaktur global dan akan tetap bersahabat dengan perusahaan asing yang beroperasi di negara tersebut.
Beberapa pejabat pemerintahan China mengaku heran atas reaksi heboh terkait inisiatif “Made in China 2025” itu. Sebab, beberapa negara juga mengusung inisiatif dan strategi serupa. Seperti di Jepang dengan program “Connected Industry” dan program “Industry 4.0” yang diusung Jerman.
Sebelumnya, China sempat menyebut tak akan meninggalkan program “Made in China 2025” dalam kondisi apa pun. Namun, melihat ketegangan perang dagang dengan AS makin meruncing, para pejabat China mengisyaratkan inisiatif tersebut dapat disesuaikan.
Lu Kang, juru bicara kementerian luar negeri mengatakan akhir tahun lalu, orang salah memahami bahwa “Made in China 2025” merupakan kebijakan industri formal untuk penutup perusahaan asing di China. Padahal, inisiatif itu adalah pedoman pemerintah untuk pengembangan industri.
“Negara-negara di seluruh dunia, termasuk Jepang, memiliki rencana pengembangan mereka sendiri. Di Jerman ada industri 4.0 dan “Made in China 2025” tidak jauh berbeda dar rencana pembangunan negara lain,” kata Lu, seperti dikutip SCMP, Jumat (18/1).
Diperkenalkan pada tahun 2015, inisiatif ini dirancang untuk memangkas ketergantungan China pada teknologi asing dan mempersempit gap antara kekuatan Barat dalam kemajuan teknologi manufaktur.
Adapun 10 sektor industri yang masuk dalam program inisiatif ini di antaranya: teknologi informasi, alat kontrol numerik dan robotika, teknologi kedirgantaraan, peralatan Teknik kelautan dan kapal berteknologi tinggi, peralatan kereta api, hemat energi dan kendaraan energi baru, peralatan listrik, bahan-bahan baru, obat-obatan dan peralatan medis, hingga pertanian.
China mengatakan rencana inisiatif tersebut dapat membantu negaranya keluar dari middle income trap yang telah menjangkiti banyak negara berkembang. Lebih dari itu, inisiatif ini dipandang sebagai posisi yang paling menguntungkan China dalam persaingan global di masa depan. Pada 2049, yang diperingati sebagai ulang tahun ke-100 pendiri Republik Rakyat China, negara ini pasang target untuk dapat mencapai peremajaan besar dalam perekonomiannya.
China juga secara tegas akan memprioritaskan peningkatan industri untuk bersaing secara global. Jadi, persaingan antara AS dan China dalam perdagangan, teknologi dan keuangan bahkan politik, diplomasi dan kemanaan akan berlangsung dalam jangka panjang.
Program rencana pengembangan industri “Made in China 2025” ini dapat membantu perusahaan China menekan pesaingnya untuk keluar dari pasar China, bahkan pasar global, ketika China berhasil menyerap dan mengadopsi kekuatan teknologi mereka.
Berbeda dengan negara-negara berteknologi maju seperti Jepang dan Jerman, China punya keunggulannya sendiri yaitu dukungan penuh dari pemerintah. “Dukungan penuh dari pemerintah China telah membantu beberapa perusahaan teknologi tinggi China untuk melampaui rekan-rekan mereka di Barat,” kata Shinichi Seki, wakil ekonom senior di Institut Penelitian Jepang.
Alasan ini juga yang membuat para pemimpin Barat, termasuk Trump bersikap kritis terkait peran pemerintah China dalam kebijakan industri. Sebab, dukungan dari negara seperti subsidi atau pinjaman rendah merupakan ancaman bagi persaingan yang sehat.
Untuk tahun 2020, setidaknya pemerintah China telah mengalokasikan dana sekitar ¥ 10 miliar, atau setara dengan US$ 1,47 miliar untuk industri yang terlibat dalam inisiatif “Made in China 2025”. Proyek teknologi inti akan menerima lebih dari ¥ 100 juta.
China memiliki Road Map for Made in China 2025 yang dirilis bulan ini. Isinya, tahun 2025 mendatang China diperkirakan memproduksi 40% chip yang digunakan dalam perangkan selular domestic dan 20% dari perangkat selular di pasar global. Di saat yang sama, fasilitas telekomunikasi rumahan China akan memiliki 60% pangsa pasar dunia.
Rencana revisi
Setelah mendapat sikap kritis, melebarnya perang dagang hingga terjadinya penolakan penggunaan produk teknologi China di beberapa negara, agaknya pemerintah China mulai menerapkan strategi baru. Perang dagang juga telah memicu kekhawatiran perlambatan investasi di China dan belanja konsumen di sana.
Wall Street Journal melaporkan beberapa waktu lalu China akan mengganti inisiatif “Made in China 2025” dengan program baru yang menjanjikan akses yang lebih besar bagi perusahaan asing.
Bloomberg juga melaporkan bahwa pemerintah China akan menunda beberapa aspek program industri hingga satu dekade di tahun 2035.
Dengan strategi baru ini China rupanya tengah berusaha mendorong negosiasi perdagangannya kembali dengan AS yang hingga kini masih belum jelas.
Lu Kang, juru bicara kementerian luar negeri China, menyebut pemerintahnya dapat menyesuaikan rencana yang sedang berlangsung secara alami. “Bagaimanapun, tidak selalu terkait dengan negosiasi perang dagang,” katanya.
Anna Holzmann, peneliti berbasis di Berlin yang fokus pada kebijakan industri China mengatakan, saat ini China tengah berusaha menyesuaikan prioritas kebijakannya di tengah tantangan. Meski begitu, rencana strategis untuk mengembangkan kemampuan manufakturnya tak akan berubah.
Strategi ini juga ditempuh sebagai upaya menurunkan hambatan investasi asing di China. “Tidak mungkin secara sukarela China menyerah atau mengurangi ambisinya untuk menjadi ekonomi yang lebih maju secara teknologi,” kata Chengxin Pan, professor di Universitas Deakin Australia.
“Selama teknologi dipandang sebagai bagian dari perjuangan geopolitik yang lebih besar antara AS dan China, saya meragukan penyesuaian yang dilakukan China akan cukup meredakan kekhawatiran Barat atas kebangkitan China,” lanjut Pan.
Sementara China tetap memprioritaskan inisiatif “Made in China 2025”, kompromi ini akan terus berlanjut dalam jangka panjang dan sulit dicapai mengingat ada kesenjangan yang lebar antara tuntutan AS dan prioritas China.