China Merevisi Inisiatif "Made in China 2025", Bisa Redakan Perang Dagang?

Jumat, 18 Januari 2019 | 13:15 WIB
China Merevisi Inisiatif
[]
Reporter: Dian Sari Pertiwi | Editor: Dian Pertiwi

KONTAN.CO.ID - BEIJING. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China makin melebar hingga ke persoalan teknologi. AS tak hanya menuntut China mengentikan praktik transfer teknologi dari mitra usaha patungan asing kepada kolaborator China, tapi juga ingin meneliti karya para peneliti China yang berbasis di AS.

Saat ini, China tengah mengusung program modernisasi industri bernama “Made in China 2025”. Bagi sebagian orang, mungkin program ini hanya salah satu perdebatan dalam rangka perang dagang AS-China. Padahal, program ini merupakan katalisator dan menjadi penentu nasib nasional China.

Program “Made in China 2025”, jadi kunci utama tujuan China untuk menjadi pemain dominan dalam 10 industri strategis global. Langkah China ini menjadi sorotan Presiden AS Donald Trump, dan menandainya sebagai salah satu ancaman bagi AS. Trump menuding pertumbuhan ekonomi dan contoh praktik perdagangan China tak adil.

“China dengan berani merilis rencana China 2025 yang ingin mengatakan kepada seluruh dunia: kita akan mendominasi setiap industri yang muncul di masa depan, karena itu ekonomi Anda tidak akan memiliki masa depan,” ujar Peter Navarro, Penasihat perdagangan Gedung Putih AS seperti dikutip dari Bloomberg oleh South Morning China Post, Jumat (18/1).

Sementara, China menyangkalnya. Pemerintah China menyebut rencana aksi ini merupakan kebutuhan untuk meningkatkan nilai tambah dalam manufaktur global dan akan tetap bersahabat dengan perusahaan asing yang beroperasi di negara tersebut.

Beberapa pejabat pemerintahan China mengaku heran atas reaksi heboh terkait inisiatif “Made in China 2025” itu. Sebab, beberapa negara juga mengusung inisiatif dan strategi serupa. Seperti di Jepang dengan program “Connected Industry” dan program “Industry 4.0” yang diusung Jerman.

Sebelumnya, China sempat menyebut tak akan meninggalkan program “Made in China 2025” dalam kondisi apa pun. Namun, melihat ketegangan perang dagang dengan AS makin meruncing, para pejabat China mengisyaratkan inisiatif tersebut dapat disesuaikan.

Lu Kang, juru bicara kementerian luar negeri mengatakan akhir tahun lalu, orang salah memahami bahwa “Made in China 2025” merupakan kebijakan industri formal untuk penutup perusahaan asing di China. Padahal, inisiatif itu adalah pedoman pemerintah untuk pengembangan industri.

“Negara-negara di seluruh dunia, termasuk Jepang, memiliki rencana pengembangan mereka sendiri. Di Jerman ada industri 4.0 dan “Made in China 2025” tidak jauh berbeda dar rencana pembangunan negara lain,” kata Lu, seperti dikutip SCMP, Jumat (18/1).

Diperkenalkan pada tahun 2015, inisiatif ini dirancang untuk memangkas ketergantungan China pada teknologi asing dan mempersempit gap antara kekuatan Barat dalam kemajuan teknologi manufaktur.

Adapun 10 sektor industri yang masuk dalam program inisiatif ini di antaranya: teknologi informasi, alat kontrol numerik dan robotika, teknologi kedirgantaraan, peralatan Teknik kelautan dan kapal berteknologi tinggi, peralatan kereta api, hemat energi dan kendaraan energi baru, peralatan listrik, bahan-bahan baru, obat-obatan dan peralatan medis, hingga pertanian.

China mengatakan rencana inisiatif tersebut dapat membantu negaranya keluar dari middle income trap yang telah menjangkiti banyak negara berkembang. Lebih dari itu, inisiatif ini dipandang sebagai posisi yang paling menguntungkan China dalam persaingan global di masa depan. Pada 2049, yang diperingati sebagai ulang tahun ke-100 pendiri Republik Rakyat China, negara ini pasang target untuk dapat mencapai peremajaan besar dalam perekonomiannya.

China juga secara tegas akan memprioritaskan peningkatan industri untuk bersaing secara global. Jadi, persaingan antara AS dan China dalam perdagangan, teknologi dan keuangan bahkan politik, diplomasi dan kemanaan akan berlangsung dalam jangka panjang.

Program rencana pengembangan industri “Made in China 2025” ini dapat membantu perusahaan China menekan pesaingnya untuk keluar dari pasar China, bahkan pasar global, ketika China berhasil menyerap dan mengadopsi kekuatan teknologi mereka.

Berbeda dengan negara-negara berteknologi maju seperti Jepang dan Jerman, China punya keunggulannya sendiri yaitu dukungan penuh dari pemerintah. “Dukungan penuh dari pemerintah China telah membantu beberapa perusahaan teknologi tinggi China untuk melampaui rekan-rekan mereka di Barat,” kata Shinichi Seki, wakil ekonom senior di Institut Penelitian Jepang.

Alasan ini juga yang membuat para pemimpin Barat, termasuk Trump bersikap kritis terkait peran pemerintah China dalam kebijakan industri. Sebab, dukungan dari negara seperti subsidi atau pinjaman rendah merupakan ancaman bagi persaingan yang sehat.

Untuk tahun 2020, setidaknya pemerintah China telah mengalokasikan dana sekitar ¥ 10 miliar, atau setara dengan US$ 1,47 miliar untuk industri yang terlibat dalam inisiatif “Made in China 2025”. Proyek teknologi inti akan menerima lebih dari ¥ 100 juta.

China memiliki Road Map for Made in China 2025 yang dirilis bulan ini. Isinya, tahun 2025 mendatang China diperkirakan memproduksi 40% chip yang digunakan dalam perangkan selular domestic dan 20% dari perangkat selular di pasar global. Di saat yang sama, fasilitas telekomunikasi rumahan China akan memiliki 60% pangsa pasar dunia.

 

Rencana revisi

Setelah mendapat sikap kritis, melebarnya perang dagang hingga terjadinya penolakan penggunaan produk teknologi China di beberapa negara, agaknya pemerintah China mulai menerapkan strategi baru. Perang dagang juga telah memicu kekhawatiran perlambatan investasi di China dan belanja konsumen di sana.

Wall Street Journal melaporkan beberapa waktu lalu China akan mengganti inisiatif “Made in China 2025” dengan program baru yang menjanjikan akses yang lebih besar bagi perusahaan asing.

Bloomberg juga melaporkan bahwa pemerintah China akan menunda beberapa aspek program industri hingga satu dekade di tahun 2035.

Dengan strategi baru ini China rupanya tengah berusaha mendorong negosiasi perdagangannya kembali dengan AS yang hingga kini masih belum jelas.

Lu Kang, juru bicara kementerian luar negeri China, menyebut pemerintahnya dapat menyesuaikan rencana yang sedang berlangsung secara alami. “Bagaimanapun, tidak selalu terkait dengan negosiasi perang dagang,” katanya. 

Anna Holzmann, peneliti berbasis di Berlin yang fokus pada kebijakan industri China mengatakan, saat ini China tengah berusaha menyesuaikan prioritas kebijakannya di tengah tantangan. Meski begitu, rencana strategis untuk mengembangkan kemampuan manufakturnya tak akan berubah.

Strategi ini juga ditempuh sebagai upaya menurunkan hambatan investasi asing di China. “Tidak mungkin secara sukarela China menyerah atau mengurangi ambisinya untuk menjadi ekonomi yang lebih maju secara teknologi,” kata Chengxin Pan, professor di Universitas Deakin Australia.

“Selama teknologi dipandang sebagai bagian dari perjuangan geopolitik yang lebih besar antara AS dan China, saya meragukan penyesuaian yang dilakukan China akan cukup meredakan kekhawatiran Barat atas kebangkitan China,” lanjut Pan.

Sementara China tetap memprioritaskan inisiatif “Made in China 2025”, kompromi ini akan terus berlanjut dalam jangka panjang dan sulit dicapai mengingat ada kesenjangan yang lebar antara tuntutan AS dan prioritas China.

 

 

 

 

 

Bagikan

Berita Terbaru

Dominasi Bitcoin Mulai Melemah, Tanda-Tanda Altseason Dimulai?
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 19:15 WIB

Dominasi Bitcoin Mulai Melemah, Tanda-Tanda Altseason Dimulai?

Penurunan Bitcoin Dominance di bawah level 50–54% sering menjadi sinyal kuat bahwa modal mulai beralih ke aset alternatif.

Aset Kripto Seperti Bitcoin, Ethereum, dan XRP Turun, Koreksi Masih Dianggap Wajar
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 18:56 WIB

Aset Kripto Seperti Bitcoin, Ethereum, dan XRP Turun, Koreksi Masih Dianggap Wajar

Tekanan yang membuat harga mayoritas aset kripto melemah juga disebabkan sikap risk-off investor akibat aliran dana yang beralih ke emas.

Keyakinan Konsumen Melorot ke Level Terendah Sejak Mei 2022
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 16:13 WIB

Keyakinan Konsumen Melorot ke Level Terendah Sejak Mei 2022

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia pada September 2025 tercatat di angka 115, turun dari posisi Agustus yang mencapai 117,2.

Terus ARA, Potensi Saham NIKL Terdongkrak Sentimen Jangka Pendek
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 13:00 WIB

Terus ARA, Potensi Saham NIKL Terdongkrak Sentimen Jangka Pendek

PT Pelat Timah Nusantara Tbk (NIKL) tak memiliki rencana melakukan aksi korporasi dalam waktu dekat.

Catat Net Buy Asing Rp 610,01 Miliar Pekan Lalu, Prospek Harga Saham BRMS Masih Cerah
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 12:00 WIB

Catat Net Buy Asing Rp 610,01 Miliar Pekan Lalu, Prospek Harga Saham BRMS Masih Cerah

Beberapa pemodal kelas kakap terlihat melakukan akumulasi saham BRMS, temasuk diantaranya Norges Bank dan Invesco Ltd.

Cadangan Devisa Susut 3 Bulan Beruntun, Termasuk Untuk Menahan Pelemahan Rupiah
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 11:24 WIB

Cadangan Devisa Susut 3 Bulan Beruntun, Termasuk Untuk Menahan Pelemahan Rupiah

Bank Indonesia (BI) harus mengeluarkan dana besar untuk menjaga agar nilai tukar rupiah tidak melemah terlalu jauh.

Astra Graphia (ASGR) Tebar Dividen Rp 40,46 Miliar
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 11:07 WIB

Astra Graphia (ASGR) Tebar Dividen Rp 40,46 Miliar

Rencana pembagian dividen interim periode tahun buku 2025 sesuai keputusan direksi ASGR yang telah disetujui dewan komisaris pada 3 Oktober 2025.

Jual Lagi Saham BREN, Green Era Energy Raup Cuan Rp 4,16 Triliun
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 11:03 WIB

Jual Lagi Saham BREN, Green Era Energy Raup Cuan Rp 4,16 Triliun

Green Era Energy melakukan transaksi penjualan saham BREN pada 2 Oktober 2025 sebanyak 481.220.000 lembar di harga rata-rata Rp 8.650 per saham. ​

Emiten Berharap Menuai Berkah dari Proyek IKN
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 10:59 WIB

Emiten Berharap Menuai Berkah dari Proyek IKN

Emiten BUMN Karya dan emiten properti swasta berharap bisa menuai berkah dari keberlanjutan proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Grup Astra Dikabarkan Bakal Gelar Tender Offer Saham MMLP November, Harganya Premium
| Rabu, 08 Oktober 2025 | 08:17 WIB

Grup Astra Dikabarkan Bakal Gelar Tender Offer Saham MMLP November, Harganya Premium

Anak usaha PT Astra International Tbk (ASII), yakni PT Saka Industrial Arjaya mengakuisisi 83,67% saham MMLP di harga Rp 580,6.

INDEKS BERITA

Terpopuler