KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah pemerintah Indonesia menempuh jalur diplomasi dalam menghadapi serangan tarif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump patut diapresiasi. Strategi ini menunjukkan bahwa Indonesia memilih pendekatan damai dan rasional dalam percaturan global yang makin keras.
Namun, diplomasi saja tidak cukup bila tidak dibarengi dengan kewaspadaan. Pemerintah harus cermat dalam membuka pintu negosiasi dengan AS agar neraca seimbang.
Misalnya, rencana menghapus syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk produk impor, juga produk berisiko tinggi merugikan industri nasional. Apalagi, Amerika Serikat sendiri masih menerapkan berbagai hambatan non-tarif terhadap produk Indonesia. Bila kita terlalu mudah membuka diri, kita justru akan jadi pasar empuk tanpa perlindungan, tidak hanya bagi AS tapi bagi semua.
Langkah penghapusan kuota impor memang bisa membawa angin segar, terutama untuk menutup celah permainan kuota yang selama ini jadi ladang rente para elite. Kita tahu betul bagaimana kasus kuota daging dan gula di masa lalu menjadi sumber pemerasan.
Tapi, penghapusan kuota pun harus dilakukan dengan mekanisme yang adil dan transparan agar tak berubah jadi banjir impor tanpa kendali. Kuota impor untuk produk pertanian misalnya, kalau memang kita bisa produksi sendiri meskipun masih kecil kapasitasnya, harus tetap dilindungi, dengan cara apapun.
Yang paling penting: sebelum membuka lebar pintu masuk produk asing, benahi dulu daya saing produk dalam negeri. Perkuat industri, terutama sektor padat karya yang selama ini makin tergerus oleh tekanan barang impor murah. Tanpa penguatan dari hulu, pasar bebas hanya akan melahirkan kekalahan.
Indonesia bisa berargumen produk-produk jasa dari AS masih menguasai pasar Indonesia. Produk jasa mulai dari perbankan, teknologi, hingga kekayaan intelektual.
Merujuk data Kementerian Perdagangan, Indonesia mencatatkan defisit neraca jasa sebesar US$ 18,66 miliar di sepanjang 2024. Defisit itu disebabkan ekspor jasa yang cuma US$ 38,99 miliar dibandingkan impor jasa US$ 57,66 miliar.
Diplomasi adalah seni menekan tanpa terlihat menekan. Tapi dalam urusan perdagangan, diplomasi juga harus disertai keberanian menjaga kepentingan nasional. Jangan sampai niat baik menjaga hubungan justru menjadi jalan bunuh diri ekonomi Indonesia, yang sedang tidak baik-baik saja beberapa tahun ini.