KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Agaknya, beban industri pertambangan batubara, khususnya pemegang kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang statusnya akan berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bakal semakin berat.
Sebab, pemerintah akan meningkatkan royalti pertambangan dari sebelumnya 13,5% menjadi 15%. Kebijakan itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlakukan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan beleid itu, produsen batubara berskala jumbo memproyeksikan, kenaikan pajak bisa memperlemah industri pertambangan. Salah satu perusahaan yang bakal mendapatkan beban perpajakan besar adalah PT Berau Coal Energy Tbk. Dalam waktu dekat, kontrak perusahaan ini akan berakhir dan berubah menjadi IUPK/
General Manager Marketing External Relations Berau Coal, Singgih Widagdo mengatakan pendapatan negara semestinya tidak dilihat atas elemen parsial perpajakan. Namun keseluruhan dari PPh, Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) dan PPN.
Dalam draft yang diterima KONTAN, selain DHPB 15%, PPh badan yang akan ditanggung produsen sebesar 25% atau sama seperti saat ini. "Keputusan atas pajak yang tidak tepat atas kondisi internasional coal market justru dapat memperlemah industri pertambangan batubara," terang dia kepada KONTAN.
Singgih bilang, pemerintah harus mengerti bahwa investor atau pengusaha pertambangan bergerak atas dasar harga internasional yang berfluktuasi.
Menurut dia, dengan memaksakan nilai royalti secara absolut, khususnya di saat harga komoditas jatuh, maka dapat mempengaruhi pola penambangan. "Yang berujung pada coal inventory yang pada dasarnya dimiliki pemerintah," pungkas dia.
Jadi, kata Singgih, sebaiknya nilai royalti bukan sekadar angka 13,5% atau 15%, namun harus dikaitkan dengan kondisi pasar batubara internasional, parameter economic cost, environment cost dan social cost.
Tidak menarik
Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk, Febriati Nadira bilang, dalam pengenaan pajak pada calon beleid itu, pemerintah sebaiknya menerapkan formula yang bisa mendorong iklim investasi lebih menarik di bidang pertambangan batubara. Hal itu pada akhirnya berkontribusi pada penerimaan negara yang optimal.
Dia berharap tarif royalti batubara bisa naik dalam kondisi harga batubara yang tinggi. "Contohnya di negara bagian Queensland - Australia di mana royalti ditetapkan 7% untuk harga batubara hingga US$ 100 per ton," kata dia.
Formula semacam itu, menurut Nadira, mirip windfall profit tax. Sehingga dalam kondisi ini perusahaan dapat melakukan kegiatan penambangan secara lebih berkelanjutan.
Terkait perpajakan, Direktur PT Bumi Resources Tbk, Dileep Srivastava enggan berspekulasi lebih lanjut. "Kami masih menunggu aturannya terbit. Terlalu dini untuk berspekulasi," ucap dia.
Kepala Biro Hukum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hufron Asrofi mengakui penerimaan negara dalam RPP itu nantinya akan lebih besar. "Iya, kami harus begitu," ujar dia, tanpa membeberkan detail skema perpajakan tersebut.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Rofianto Kurniawan menyampaikan bahwa RPP tersebut bisa segera terbit. Lagi pula, kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis(CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, skema pungutan pajak yang mengombinasikan antara nail down dan prevailing cukup ideal.
Menurut Yustinus, skema ini menyesuaikan kondisi dan tren perpajakan di industri pertambangan batubara di masa mendatang. "UU Minerba sebenarnya prevailing. Sementara rezim Kontrak Karya (KK) dan PKP2B memang nail down, masing-masing ada kelebihan dan kekurangan," jelas dia.
Yustinus menyatakan, ada konteks yang melatari penerapan skema penerimaan negara. Saat kontrak diteken dalam rezim KK dan PKP2B, itu merupakan fase awal negara membutuhkan investasi yang cukup besar.