Berita *Global

Investor Asing Mulai Meragukan Kebijakan Moneter Mesir yang Tidak Lazim

Rabu, 22 Desember 2021 | 21:33 WIB
Investor Asing Mulai Meragukan Kebijakan Moneter Mesir yang Tidak Lazim

ILUSTRASI. Seekor unta terlihat di depan Piramida Agung Giza, di pinggiran Kairo, Mesir, Sabtu (23/10/2021). REUTERS/Mohamed Abd El Ghany

Sumber: Reuters | Editor: Thomas Hadiwinata

KONTAN.CO.ID - KAIRO. Sebagian investor asing mulai menjauh dari surat utang pemerintah Mesir. Mereka mulai meragukan prospek utang Mesir yang menawarkan imbal hasil tinggi sejalan dengan ketidakstabilan di pasar negara berkembang.

Bank sentral Mesir mengatakan strategi tidak konvensional yang dipilihnya di masa pandemi telah menuai hasil. Kebijakan moneter itu menekan suku bunga deposito di dalam negeri, sekaligus menurunkan suku bunga pinjaman domestik, serta menjaga kestabilan nilai tukar valutanya terhadap dolar.

Stabilitas nilai tukar dan imbal hasil surat utang pemerintah (t-bill) yang tinggi menjadi alasan investor asing membeli pound Mesir, yang kemudian ditempatkan dalam t-bill berjangka pendek. Saat t-bill jatuh tempo, investor langsung mengonversikannya kembali ke dalam dolar Amerika Serikat (AS), untuk mengantongi imbal hasil yang tinggi.

Catatan saja, t-bill berjangka satu tahun yang dilelang pada 20 Desember lalu menghasilkan rata-rata 13,25%. Penghasilan itu terkena pajak penghasilan dengan tarif 20%.

Baca Juga: Kewajiban Neto Posisi Investasi Internasional Indonesia Meningkat di Kuartal III 2021

Situasi yang terjadi sejak Mesir menjalanin program reformasi di bawah arahan IMF pada 2016 lalu, menjadikan negeri itu sebagai favorit para investor asing yang ingin membiakkan uangnya di pasar negara berkembang.

Namun kini muncul keraguan di pasar, apakah bank sentral Mesir mampu mempertahankan kestabilan nilai tukar uangnya, dengan membayar imbal hasil yang mahal? Skeptisme semacam itu meruap di masa sekarang, saat kejutan ekonomi sangat mungkin muncul. Demikian pendapat sekitar setengah lusin analis dan investor.

"Mesir lazimnya dianggap pasar sebagai tempat yang rentan terhadap risiko kenaikan suku bunga secara global. Penyebabnya, negeri itu memiliki kebutuhan pendanaan yang besar dan sangat bergantung pada transaksi carry trade," kata Farouk Soussa, ekonom di Goldman Sachs.

Baca Juga: 3 Kripto yang Menonjol dan Prospektif untuk Jangka Panjang

Investor asing memegang t-bill Mesir yang berjangka  setahun atau kurang senilai 378,2 miliar pound Mesir, atau setara Rp 343,4 triliun. Nilai per akhir September itu, yang merupakan angka terbaru bank sentral Mesir, adalah rekor tertinggi sepanjang masa.

"Kami telah melihat beberapa investor menurunkan posisinya dalam beberapa pekan terakhir. Sebagian karena penurunan selera terhadap risiko di pasar negara berkembang. Sebagian lagi karena kekhawatiran seputar keberlanjutan eksternal Mesir," kata Soussa.

Viktor Szabo, manajer portofolio di abrdn, mengatakan masalahnya bukan apakah dana akan mengalir keluar dari Mesir, tetapi bagaimana Mesir akan memenuhi kebutuhan pembiayaan yang nilainya sangat besar di masa depan.

“Pertanyaan kuncinya adalah apakah mereka bersedia dan mampu mempertahankan nilai tukar, karena itulah alasan mengapa ini menjadi perdagangan yang paling sensasional untuk pasar negara berkembang. Karena, Mesir menjaga kestabilan nilai tukar uangnya dan membayar bunga yang sangat tinggi untuk obligasi mereka."

Kendati sempat mengalami depresiasi dalam waktu singkat di bulan-bulan awal pandemi, pound Mesir nyaris tidak berubah. Selama masa darurat kesehatan, nilai tukar dolar AS berada di kisaran 15,7 pound Mesir.

“Kami tidak menangani valuta asing dengan cara biasa,” kata Gubernur Bank Sentral Tarek Amer bulan ini. “Sebagian besar bank sentral menyaksikan mata uang mereka mengalami devaluasi 15%, 20% atau bahkan 30%.” Ia menambahkan bahwa otoritas moneter merasa nilai tukar yang lebih lemah tidak akan membawa kembali turis atau meningkatkan ekspor.

Baca Juga: Pendiri Twitter Sebut Bitcoin akan Gantikan Dollar AS, Harga BTC Melonjak

“Kami melakukan intervensi dengan menggunakan sejumlah besar cadangan, dan kami memastikan bahwa investor asing tidak kehilangan uang, saat mereka keluar. Itu adalah filosofi kami," kata Amer pada saat konferensi video di antara bank-bank sentral kawasan Timur Tengah.

“Semua bank sentral menurunkan suku bunga. Kami menaikkan suku bunga untuk simpanan (domestik). Kami menciptakan sesuatu yang agak tidak biasa, tetapi berhasil,” kata Amer.

Sebagai bukti keberhasilan, pemerintah melaporkan pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 9,8% pada kuartal Juli-September, naik dari 0,7% tahun sebelumnya.

Namun nilai bersih aset dalam valuta asing, dalam dolar AS maupun mata uang lain, yang dipegang bank sentral dan perbankan komersial di Mesir, turun 58,7 miliar pound Mesir, atau US$ 3,75 miliar dalam periode September ke Oktober. Mengutip data terbaru bank sentral Mesir, nilai aset bersih dalam valuta asing sebesar 114,19 miliar pound, atau US$ 7,27 miliar. Itu merupakan angka terendah setelah pandemi merebak pada awal 2020.

Baca Juga: Fokus ke Properti Era Ekonomi Baru, Warburg Terbitkan Fund untuk Kawasan Asia

Satu penyebab penurunan adalah sejumlah kewajiban luar negeri yang jatuh tempo di periode itu. Di antara pinjaman senilai US$ 2 miliar dari bank-bank Teluk selama beberapa bulan terakhir. Mesir kemudian melakukan refinancing, dengan meningkatkan nilai fasilitas yang baru dibiayai kembali dan meningkat hanya setelah jeda, kata para bankir dan analis.

Defisit transaksi berjalan, yang melebar menjadi $5,13 miliar pada kuartal April-Juni dari $3,83 miliar setahun sebelumnya, kemungkinan akan tetap menguras sumber daya.

Pemerintah Mesir memanfaatkan pinjaman terkait pandemi bernilai miliaran dolar dari Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan lembaga lain, untuk membantu membiayai defisit transaksi berjalan yang melonjak setelah kejatuhan sektor pariwisata.

Mesir juga menjual surat utang dalam denominasi euro yang menawarkan imbal hasil lebih murah. Pada bulan September, Mesir menjual eurobond dengan tenor enam tahun dengan imbal hasil 5,8%, menurut dokumen kesepakatan.

“Mesir menjadi sangat bergantung pada aliran portofolio non-residen,” kata Shikeb Farooqui, ahli strategi makro senior di perusahaan manajemen aset Emso yang berfokus ke pasar negara berkembang. “Kebutuhan pembiayaan eksternal yang semakin tinggi serta penyangga eksternal yang terkikis menjadikan Mesir rawan terhadap guncangan di pasar global,” ujar dia.

Terbaru