Jadi Saham Gocap, Ini Cara PPRO Untuk Mengembalikan Kepercayaan Investor
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Seorang makan nangka, semua kena getahnya. Pepatah lawas ini sepertinya cocok untuk menggambarkan kondisi PT PP Properti Tbk (PPRO).
Belakangan, harga sahamnya terus-menerus berada dalam tekanan. Bahkan, sejak 25 Februari 2020 saham PPRO terkapar di titik nadir Rp 50.
Tekanan atas harga saham PPRO tidak lepas dari persoalan yang membelit dua investor institusi di PPRO, yakni PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri.
Per 31 Januari 2020 Jiwasraya memiliki 8,51% saham PPRO dan Asabri punya 5,33%.
Saat kasus salah kelola investasi di Jiwasraya dan Asabri menyeruak, saham-saham yang menjadi portofolio kedua perusahaan pelat merah itu ikut terkena imbas, tidak terkecuali PPRO.
Nah, kini dengan harga hanya Rp 50, secara valuasi saham PPRO sejatinya terbilang menarik.
Baca Juga: BPK sebut potensi kerugian Asabri mencapai Rp 16,7 triliun akibat salah investasi
Dilihat dari posisi price to earning ratio (PER), valuasinya jauh lebih murah dibanding rata-rata PER sektor properti dan real estate.
Indaryanto, Direktur Keuangan PT PP Properti Tbk dalam wawancaranya dengan KONTAN, Kamis (26/2) optimistis tahun ini bisa meraih laba bersih sekitar Rp 346 miliar.
Walhasil, jika menggunakan proyeksi tersebut, di harga Rp 50 per saham PER 2020 PPRO ada di level 5,61 kali.
Sementara rata-rata PER sektoral per 26 Februari 2020 ada di 53,82 kali.
Dibanding PER historikalnya sendiri dalam lima tahun terakhir, valuasi harga PPRO saat ini juga terbilang murah.
Secara rata-rata PER PPRO pada 2014-2018 ada di level 25,88 kali.
Murah tapi tidak mudah
Ditengok dari sisi price to book value (PBV), saham PPRO sebetulnya juga cukup menarik.
Per 26 Februari 2020, PBV PPRO ada di posisi 0,57 kali. Sementara rata-rata PBV sektoral mencapai 3,72 kali.
Dus, tidak aneh jika saat PPRO nyungsep ke zona gocap, transaksi saham anak usaha PT PP Tbk (PTPP) itu meningkat cukup signifikan.
Hal ini tergambar dari transaksi saham PPRO di harga Rp 50 pada 25 Februari dan 26 Februari 2020.
Rata-rata jumlah saham yang ditransaksikan di dua hari itu sekitar 109,27 juta lembar.
Sebagai perbandingan, pada 3 Februari hingga 24 Februari 2020, rata-rata volume transaksi hariannya sekitar 67,4 juta saham.
Data ini paling tidak bisa sedikit memperlihatkan, minat investor mengumpulkan PPRO di harga Rp 50 cukup besar.
Meski demikian, bukan perkara mudah untuk mengangkat harga PPRO.
Persoalan yang membelit Jiwasraya dan Asabri masih bergulir sehingga tetap menimbulkan sentimen negatif yang memengaruhi persepsi investor.
"Memang perlu waktu karena banyak investor yang takut. Kami tidak ada kaitannya dengan Benny Tjokro dan Heru Hidayat. Hanya kebetulan saham PPRO dimiliki oleh Jiwasraya dan Asabri," tandas Indaryanto, Direktur Keuangan PT PP Properti Tbk.
Baca Juga: Terseret kasus Jiwasraya dan Asabri, simak rekomendasi analis untuk saham PPRO
Di saat bersamaan, kondisi pasar saham memang tengah tertekan oleh berbagai faktor, salah satunya virus korona yang belum mereda.
Faktor lainnya, jumlah saham beredar PPRO sangat besar, sekitar 61,68 miliar lembar.
Di tangan investor publik dengan kepemilikan di bawah 5% saja, jumlahnya mencapai sekitar 13,08 miliar lembar.
Oh ya, saham PPRO menjadi sedemikian banyak usai menggelar stock split dengan rasio 1:4 dan rights issue pada 2017 silam.
Tidak ada buyback
Meski harganya saat ini menarik, PPRO rupanya tidak akan menggelar buyback sahamnya di pasar.
Agus Purbianto, Direktur Keuangan PT PP Tbk menyebut sejumlah pertimbangan terkait hal itu.
Volume free float PPRO terlalu besar, beda sama PPRE. Sayang dananya menurut saya," kata Agus.
Kondisi PPRO memang berbeda dengan anak usaha PTPP yang lain, yakni PT PP Presisi Tbk (PPRE).
PPRE sudah mengantongi restu pemegang saham untuk menggelar buyback secara bertahap sejak secara bertahap mulai 6 Februari 2020 hingga 30 Juli 2021.
Emiten itu mengalokasikan dana Rp 293 miliar untuk membeli maksimal sekitar 941 juta saham, setara 9,20% dari modal ditempatkan dan disetor penuh.
Nah, jumlah saham beredar PPRE hanya sekitar 10,23 miliar lembar, berbanding PPRO yang sebanyak 61,68 miliar lembar.
Dengan demikian, buyback yang dilakukan PPRE memang berpotensi lebih besar mengangkat kembali harga sahamnya yang anjlok 106,45% dalam setahun terakhir.
Baca Juga: PP Presisi (PPRE) kantongi restu buyback 941 juta saham
Oh ya, di PP Presisi, PTPP berstatus sebagai pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan 76,99%.
Sementara di PPRO, perusahaan pelat merah itu menguasai kepemilikan 64,96%.
Ketimbang menggelar buyback, Agus lebih memilih mengalokasikan dana untuk ekspansi dan pengembangan bisnis PPRO.
Dengan demikian kinerja anak usahanya itu bisa didorong semaksimal mungkin.
Soal harga saham, pihaknya memilih menyerahkan ke mekanisme pasar.
"Pasar akan menghargai apabila PPRO bisa mencapai kinerja yang diharapkan market dan manajemen sudah banyak berkeringat," ujarnya.
Beda dengan yang lain
Di sisi lain, tantangan yang dihadapi PPRO sendiri tidak kecil, terutama seiring penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 72.
Penerapan standar akuntansi tersebut membuat perusahaan properti baru bisa mencatatkan penjualan setelah berlangsung serah terima unit properti.
Ini berpengaruh terhadap proyek hunian jangkung (high rise) yang proses pembangunannya membutuhkan waktu lebih lama ketimbang hunian tapak (landed house).
PPRO selama ini lebih banyak membangun proyek high rise. Hanya sekitar 3% kontribusi landed house ke perusahaan properti tersebut.
Meski demikian, Indaryanto yakin kondisi perusahaannya jauh lebih baik ketimbang sebagian perusahaan properti lainnya.
Baca Juga: Dongkrak kinerja, PP Properti akan kembangkan landed house tahun ini
Optimisme itu ditopang oleh fakta, tahun ini ada 15 proyek yang akan mulai diserahkan ke pembeli.
Diantaranya Begawan Apartemen di Malang, Evencio di Depok, Ioma di Serpong dan Amartha View di Semarang.
"Saat perusahaan properti yang lain kena PSAK 72 berguguran (kinerja keuangannya) karena proyeknya belum selesai, kami tahun ini bisa menghasilkan laba," kata Indaryanto.
Oh ya, selain target laba bersih 2020 sekitar Rp 346 miliar, manajemen PPRO menargetkan nilai penjualan mencapai Rp 3,1 triliun, dan marketing sales Rp 3,8 triliun.