KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Jasa Marga Tbk (JSMR) resmi mencatatkan instrumen investasi anyar bertajuk dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak kolektif atau istilah kerennya KIK-Dinfra, Senin (15/4). Perusahaan milik negara ini menggandeng PT Mandiri Manajemen Investasi (MMI) untuk menerbitkan produk bertajuk KIK Dinfra MJPT-001.
Ini menjadi pencatatan perdana instrumen Kik-Dinfra di Bursa Efek Indonesia (BEI). Target dana yang ditetapkan MJPT-001 sebanyak Rp 1 triliun. Hingga kini, dana yang sudah terhimpun Rp 423 miliar. Dari total dana tersebut, mayoritas atau sekitar 60% merupakan investor ritel.
Direktur Utama PT Mandiri Manajemen Investasi (MMI) Alvin Pattisahusiwa mengatakan, dana yang terkumpul akan gunakan untuk berinvestasi pada aset infrastuktur, yaitu membeli saham PT Jasamarga Pandaan Tol yang memiliki ruas jalan tol Gempol-Pandaan. Ini merupakan salah satu anak perusahaan JSMR.
Karena itu, underlying asset dari MJPT-001 ini akan terbagi dua. Yakni sekitar 51% berupa infrastruktur PT Jasamarga Pandaan Tol sedangkan sisanya di pasar uang.
Untuk perkiraan imbal hasil akan bergantung pada kinerja ruas tol tersebut. Hanya Alvi menjelaskan, internal rate of return (IRR) atas jalan tol Gempol-Pandaan mencapai 13% per tahun. "Karena ini juga diperdagangkan di bursa maka investor berpotensi mendapat keuntungan dari capital gain dari transaksi penjualan di bursa," jelas dia, kemarin.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menambahkan, IRR sebesar 13% termasuk tinggi. Meski nantinya investor tidak mendapatkan IRR bersih 13% karena ada potongan, namun imbal hasil bersih yang didapat bisa 10%.
Masih minim likuiditas
Pelaku pasar juga perlu menyadari risiko KIK-Difra yakni likuiditas yang minim. "Setipe dengan DIRE yang juga kurang likuid, investor harus siap pegang lama dan agak susah mengharapkan capital gain," ungkap dia.
Sejak keluarnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 52 tahun 2017 yang mengatur Dinfra terbit di Juli 2017, belum ada manajer investasi lain yang memasarkannya. Baru MMI yang berani menawarkan produk anyar tersebut.
Wawan bilang, MI cenderung melihat bahwa pembuatan produk ini cukup kompleks, seperti mencari proyek yang berkualitas dan mencari tender buyer. Selain itu, untuk mencari investor yang tertarik juga masih sulit. "Mencari proyek infrastruktur dengan IRR tinggi dan aman itu sulit juga," tambahnya.
Di sisi lain, produk ini juga belum populer di kalangan perusahaan yang membutuhkan pendanaan. Mereka masih memilih untuk mengeluarkan obligasi atau meminjam perbankan.
Walaupun begitu, ke depannya, perkembangan pembangunan proyek infrastruktur di Indonesia masih terbuka lebar dan berpotensi membawa prospek cerah.