Kebijakan PPN 12% dan Nasib Ekonomi Lokal

Selasa, 17 Desember 2024 | 04:12 WIB
Kebijakan PPN 12% dan Nasib Ekonomi Lokal
[ILUSTRASI. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (depan kedua kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (depan kedua kanan), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang (kanan) dan Menteri Perdagangan Budi Santoso dalam jumpa pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024). Pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi akselerasi pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada tahun 2025. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)]
Eduardo Edwin Ramda | Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perdebatan soal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 menimbulkan keresahan di masyarakat. Hal ini disebabkan adanya potensi kenaikan harga yang memperparah daya beli publik. Tak ayal, masyarakat termasuk pelaku usaha melayangkan protes keras kepada pemerintah. Pemerintah dihadapkan pada dilema: naikkan PPN dengan segala resiko yang melekat atau tidak merubah tarif walau butuh duit.

Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memiliki target pertumbuhan ekonomi 8% disertai kebutuhan pembiayaan agenda Astacita lainnya. Wajar akhirnya jika pemerintah menempuh beragam cara untuk menghimpun dana. Masalahnya, kebijakan ini ditentang masyarakat dan dunia usaha karena berpotensi menghadirkan mudharat. Secara kalkulasi, wacana ini berpotensi membunuh sektor ekonomi formal dan rentetan efek sistemik bagi ekonomi lokal. 

Kegagalan ontologis

Pemerintah selaku pengambil keputusan gagal dalam memahami karakter ontologis pajak sebagai instrumen pemerataan. Langkah gegabah menaikkan tarif PPN mencerminkan bahwa iman fiskal pemerintah hanya fokus pada sisi budgetair (menghimpun dana) semata, namun abai pada sisi regulerend (mengatur perilaku publik). Padahal, hasil yang dicapai relatif nihil.

Baca Juga: Kinerja Asuransi Umum Terhimpit Lesunya Daya Beli

Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) menunjukkan bahwa meski tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11% pada 2022, kontribusi PPN dan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) terhadap pendapatan domestik justru menurun dari 27,6% pada 2020 menjadi 26,1% pada 2022. Selain itu, potensi penerimaan PPN yang tidak terserap sebesar 42,9% pada 2023, dengan rasio penerimaan PPN hanya 57,1%, mencerminkan inefektivitas kebijakan tersebut.

Kenaikan tarif PPN pada akhirnya hanya akan "menghukum" kelompok 57,1%, menciptakan ketidakadilan yang jauh dari esensi pemerataan. Masyarakat sebagai konsumen dirugikan oleh kenaikan harga yang tak diimbangi dengan kenaikan upah, menggerus tabungan mereka dan menebar dampak buruk yang akan mengguncang ekonomi, baik dalam jangka panjang maupun segera jika terjadi guncangan tak terduga.

Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) Juli 2024 menunjukkan bahwa porsi pendapatan masyarakat yang dibelanjakan naik menjadi 73,8%, dari 68% (2019), sementara kemampuan menabung menurun dari 18% (2019) menjadi 15,5% (2024), mencerminkan melemahnya daya beli. Hal ini memicu tren frugal living di media sosial, yang menjadi ancaman bagi dunia usaha.

Baca Juga: Mengupas IPO RATU yang Bidik Dana Rp 624,46 Miliar, RAJA Ikut Divestasi Saham

Minimnya pemerataan menunjukkan penerapan model Leviathan dalam kebijakan fiskal, di mana pemerintah fokus pada memaksimalkan pajak tanpa mempertimbangkan dampaknya. Kenaikan tarif PPN justru memperburuk ketimpangan, menambah beban masyarakat dan mengabaikan prinsip keadilan yang seharusnya ada dalam kebijakan pajak. Pada akhirnya, kebijakan tersebut memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin sulit diatasi.

Nasib ekonomi lokal

Kisruh kenaikan tarif PPN pada akhirnya akan memberikan efek sistemik bagi daerah, khususnya daerah yang bergantung pada sektor manufaktur. Sebab, mayoritas objek PPN adalah produk manufaktur yang notabene adalah sektor sekunder. Rencana hilirisasi di berbagai daerah tentu akan terdampak akibat kebijakan ini. Sebab, dalam hilirisasi ada penguatan nilai tambah yang setiap prosesnya akan dikenakan PPN. Definisi PPN sendiri adalah pajak yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi.

Baca Juga: Prospek Saham Bank di Tengah Aksi Jual Investor Asing

Studi daya saing daerah berkelanjutan KPPOD (2022) menunjukkan bahwa salah satu faktor stagnasi perekonomian di sebagian besar kabupaten adalah karakter ekonomi yang bertumpu pada sektor pertanian. Di sisi lain, daerah dengan kinerja ekonomi yang progresif mayoritas bertumpu pada sektor manufaktur. 

Melemahnya daya beli masyarakat menyebabkan penurunan tingkat konsumsi, yang berakibat pada turunnya omzet pelaku usaha manufaktur, terutama produsen barang berumur pendek yang terdampak langsung pada cashflow. Gangguan cashflow ini juga menghambat kemampuan perusahaan membayar pajak daerah, meskipun kewajiban pajak tetap harus dipenuhi sesuai objeknya tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan. 

Baca Juga: Membedah Profil Kinerja dan Valuasi KSIX, Calon Emiten Milik Keluarga Grup Kalbe

Selain itu, penurunan konsumsi secara agregat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi daerah, karena konsumsi memiliki kontribusi terbesar dalam perhitungan produk domestik regional bruto (PDRB). Akibatnya, gangguan ini tidak hanya memengaruhi ekonomi daerah, tetapi juga berpotensi menggagalkan pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional. Belum lagi soal potensi implikasi terhadap inflasi yang jelas menanti di depan mata.

Peningkatan tarif PPN barang mewah oleh pemerintah dimunculkan sebagai jalan tengah, namun berisiko dianggap diskriminatif dan redundan dengan adanya PPnBM. Kebijakan ini justru menambah beban bagi konsumen barang mewah, terlebih yang menggunakannya untuk urusan non profit. Dampaknya, upaya pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan negara akan menghadapi resistensi, terutama dari mereka yang terbebani pajak tambahan.

Baca Juga: Emiten Tetap Hati-Hati Melakukan Ekspansi Tahun Depan

Alih-alih memilih langkah diskriminatif dan simetris, pemerintah bisa menerapkan klasterisasi tarif PPN yang lebih asimetris. Klasterisasi ini bisa didasarkan pada kategori barang, membedakan antara barang mewah yang membutuhkan pengendalian konsumsi dan barang mewah yang mendukung sektor strategis atau industri kreatif.

Dengan mempertimbangkan elastisitas permintaan, barang dengan permintaan elastis bisa dikenakan tarif lebih tinggi, sementara barang yang lebih penting bagi perekonomian tetap dikenakan tarif proporsional. Pendekatan ini tidak hanya lebih adil dan efisien, tetapi juga dapat menjaga daya saing industri dalam negeri dan mendukung pertumbuhan sektor-sektor ekonomi tertentu.

Baca Juga: Alarm Waspada di Pasar Keuangan Menyala Lagi

Pada akhirnya, perumusan kebijakan fiskal harus mengutamakan keadilan dan mencerminkan semangat pemerataan, agar tidak hanya mengoptimalkan pendapatan negara, tetapi juga menciptakan keseimbangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat. Kebijakan yang adil akan memastikan beban pajak terdistribusi secara merata, tanpa memberatkan kelompok tertentu, sekaligus mendukung pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Dengan demikian, kesediaan publik untuk membayar pajak akan meningkat, seiring tertampungnya pendapatan potensial yang sebelumnya tidak terkoleksi dengan baik dan kini mulai terhimpun. Jika dilakukan secara konsisten, niscaya implikasi fiskal akan lebih baik dan menjelma sebagai determinan perwujudan target pertumbuhan 8%.

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Membedah Kinerja dan Saham MPRO, Reli Diganjal Suspensi Usai Tahir Lakoni Transaksi
| Jumat, 19 September 2025 | 17:00 WIB

Membedah Kinerja dan Saham MPRO, Reli Diganjal Suspensi Usai Tahir Lakoni Transaksi

Dalam tempo sekitar dua bulan harga saham PT Maha Properti Indonesia Tbk (MPRO) terbang ratusan persen.

Siasat Jababeka (KIJA) Memacu Kawasan Industri Terintegrasi
| Jumat, 19 September 2025 | 08:25 WIB

Siasat Jababeka (KIJA) Memacu Kawasan Industri Terintegrasi

Kehadiran dry port terbukti memberikan kemudahan arus logistik dengan memangkas biaya distribusi, mempercepat proses, dan meningkatkan efisiensi.

Pemulihan Harga Komoditas di Semester Kedua Mendorong Saham Emiten Energi
| Jumat, 19 September 2025 | 08:06 WIB

Pemulihan Harga Komoditas di Semester Kedua Mendorong Saham Emiten Energi

Kenaikan harga saham emiten di sektor energi lebih merepresentasikan ekspektasi investor terhadap prospek jangka menengah-panjang,

Paperocks Indonesia (PPRI) Prediksi Kinerja Tahun Ini Tak Sesuai Target Awal
| Jumat, 19 September 2025 | 08:05 WIB

Paperocks Indonesia (PPRI) Prediksi Kinerja Tahun Ini Tak Sesuai Target Awal

Faktor utama yang menekan laju industri kemasan adalah melemahnya daya beli akibat penurunan permintaan, ditambah maraknya pemain baru.

Permintaan Masih Lesu, Pemulihan Kinerja Semen Indonesia (SMGR) Diproyeksi Lambat
| Jumat, 19 September 2025 | 08:02 WIB

Permintaan Masih Lesu, Pemulihan Kinerja Semen Indonesia (SMGR) Diproyeksi Lambat

Efek berbagai stimulus di sektor properti yang digelontorkan pemerintah tidak akan instan ke industri semen.

Aturan TKDN Baru Berpotensi Mendongkrak Investasi Motor Listrik
| Jumat, 19 September 2025 | 07:45 WIB

Aturan TKDN Baru Berpotensi Mendongkrak Investasi Motor Listrik

Regulasi ini memberikan insentif berupa tambahan nilai TKDN minimal 25% bagi perusahaan yang membenamkan investasi di dalam negeri.

Pasar Obligasi Menyambut Penurunan Suku Bunga Bank Sentral
| Jumat, 19 September 2025 | 07:43 WIB

Pasar Obligasi Menyambut Penurunan Suku Bunga Bank Sentral

Pelaku pasar fokus mencermati sejauh mana pelonggaran moneter akan mempengaruhi likuiditas dan harga obligasi dalam beberapa minggu mendatang.

The Fed Pangkas Suku Bunga, Indonesia Bukan Tujuan Prioritas Aliran Modal Asing
| Jumat, 19 September 2025 | 07:41 WIB

The Fed Pangkas Suku Bunga, Indonesia Bukan Tujuan Prioritas Aliran Modal Asing

Sejak Juli 2025 sampai pertengahan September 2025 sudah tercatat arus masuk dana asing bersih ke SBN.

Sektor Pertambangan Melicinkan Bisnis Pelumas
| Jumat, 19 September 2025 | 07:20 WIB

Sektor Pertambangan Melicinkan Bisnis Pelumas

Potensi pasar pelumas di Indonesia masih menjanjikan. Maka tak heran apabila sejumlah produsen terus melicinkan ekspansi bisnis pelumas.

Profit Taking  di Bursa Saham Berpotensi Berlanjut
| Jumat, 19 September 2025 | 07:14 WIB

Profit Taking di Bursa Saham Berpotensi Berlanjut

Pemicu pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) adalah aksi sell on news tentang pemangkasan bunga acuan The Fed. 

INDEKS BERITA

Terpopuler