KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah berencana mengerek tarif pajak pertambahan nilai alias PPN. Ini nampak dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pasar 7, RUU ini menyebut, tarif PPN akan naik menjadi 12%, dari yang berlaku saat ini sebesar 10%. (Lihat tabel dan infografik). Jika revisi ini lolos, efek kenaikan PPN ini bakal memukul ekonomi yang masih bergelut pandemi. Kenaikan PPN akan memukul daya beli sekaligus memukul industri.
Hanya saja, menurut Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Amir Hidayat, kebijakan tarif PPN ini selaras dengan peningkatan konsumsi masyarakat tahun ini.
Konsumsi rumah tangga diperkirakan akan tumbuh 3,7%-4,3% secara tahunan atau year on year (yoy). Pemerintah juga optimistis, tahun depan, konsumsi rumah tangga kembali naik tinggi lagi, di kisaran 5,1%-5,3% yoy.
Dengan begitu, "Ada potensi recovery dari sisi konsumsi. Spending masyarakat naik. Indikasinya sudah terlihat sekarang sejalan pengendalian pandemi, dan aktivitas ekonomi berangsur normal," kata Amir, Jumat (4/6).
Pengamat Perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, kenaikan tarif PPN di Indonesia masih di bawah tarif global. Dengan begitu, Indonesia memiliki ruang untuk menaikkan tarif.
Bawono menyebut, berkaca dari krisis sebelumnya, pola penerimaan PPN umumnya juga lebih cepat pulih dibanding pajak lainnya. Alhasil, "Pos ini relatif lebih bisa diandalkan sebagai mesin penerimaan pasca krisis," ujar Bawono kepada KONTAN, Minggu (6/6).
Hanya, kata Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Ajib Hamdani, kenaikan PPN ini tidak bijak di tengah krisis. "Kebijakan ini mengabaikan pemulihan ekonomi yang belum normal," ujarnya. Indikator, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 minus 0,74%. Konsumsi juga minus 2,23%.
Menurutnya dia, pemerintah harus fokus memperbaiki validitas dan integrasi data Orientasinya: mengarah ekstensifikasi dan mengurangi shadow economy untuk menaikan pemasukan negara.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey juga menyebut, kenaikan PPN perlu dikaji ulang. Industri ritel bisa berguguran karena harga jual barang naik.
Ia minta, PPN barang-barang kebutuhan pokok konsumsi rumah tangga turun jadi 5%. Pungutan pajak konsumsi yang lebih rendah bisa menggairahkan konsumsi.
Apalagi, konsumsi menyumbang nyaris 57% dari struktur ekonomi Indonesia.
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.