KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhirnya, ada kabar baik muncul dari perekonomian kita. Konsumsi masyarakat yang sempat stagnan mulai menggeliat. Dua indikator, Mandiri Spending Index (MSI) dan Indeks Transaksi Belanja (Intrabel) BCA, membaik.
Per 12 Oktober 2025, MSI naik 2,9% secara mingguan; lebih tinggi dari pekan sebelumnya. Sementara, Intrabel menunjukkan, hingga 21 Oktober, belanja masyarakat menguat 5,9% secara tahunan. Ini lebih tinggi dari pertumbuhan per September lalu yang hanya 4,9%.
Peningkatan konsumsi ini terutama ditopang oleh animo belanja kelompok konsumen menengah ke atas. Ini tentu kabar baik karena kelompok menengah atas merupakan pembelanja yang terdidik. Jika mereka kian agresif belanja, itu artinya kepercayaan terhadap prospek perekonomian Indonesia membaik.
Tahap berikutnya, jika kian optimistis, biasanya, mereka mulai nyaman untuk berbelanja barang tahan lama (durable goods). Yang masuk kategori ini misalnya kendaraan, produk elektronik, dan furnitur.
Tentu, pemerintah tak boleh kalah. Untuk menjaga momentum animo belanja masyarakat, kementerian dan lembaga harus lebih rajin merealisasikan anggarannya. Pemerintah juga harus lebih realistis menjalankan program proritas yang menyedot alokasi dana besar tapi realisasinya lambat. Misalnya, sebagian bujet Makan Bergizi Gratis (MBG) harus dialihkan ke program stimulus yang berdampak langsung bagi kantong masyarakat.
Tak kalah penting, pemerintah juga harus menjaga kantong masyarakat, terutama kelas menengah bawah, agar tak dibobol "maling". Salah satu penggerus utama uang belanja masyarakat bawah adalah judi online (judol). Bukti judol masih marak adalah masuknya topik-topik judol dalam daftar pencarian kata kunci terpopuler Google. Kini, mahjong, toto, dan gacor menguasai daftar 25 kata kunci terpopuler.
Seiring bubarnya task force pembertasan judol, upaya memerangi judi daring ini seperti "masuk angin". Padahal, menyelesaikan persoalan judol akan menolong jutaan keluarga. Saking maraknya, PPATK memperkirakan perputaran judol mencapai Rp 1.200 triliun tahun ini.
Penjudi paling agresif adalah masyarakat kelas bawah. Masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 1 juta menghabiskan hingga 73% pendapatan untuk judol. Kalau sudah terjebak kebiasaan ini, mereka sudah pasti tidak punya duit untuk belanja. Sudah begitu, duit judol juga lari ke kantong operator yang bercokol di luar negeri.
